sinarharapan.co.id
Salah satu wilayah di Sumatera yang dikenal dalam perkembangan pustaka sastra dan bahasa Melayu adalah Kepulauan Riau. Enam sastrawan dari wilayah ini akan muncul di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (29/1).
Para penyair itu antara lain Hasan Aspahani, Hoesnizar Hood, Machzumi Dawood, Ramon Damora, Samson Rambah Pasir dan Tarmizi. Tajuknya pun unik, “Resital Sastra dari Negeri Kata-kata”.
Penyair yang akan berekspresi, Hoesnizar Hood yang menjabat Ketua Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau itu mengatakan bahwa idiom itu setidaknya digunakan sebagai identitas terutama soal “negeri kata-kata”.
Sebelum pembacaan puisi, akan digelar juga diskusi dengan tajuk idiom Melayu khas “Cakap-cakap Rampai Sastra” menghadirkan pembicara Al-Azhar dan Tommy F Awuy. Acara yang diadakan atas kerja sama Yayasan Panggung Melayu dan Dewan Kesenian Kepulauan Riau bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta ini, merupakan agenda dari para penyair di wilayah Riau.
Selain pembacaan karya-karya dari lima penyair dan satu cerpenis, disuguhkan juga seni Teater Makyong, Grup Musik Adam dan Pameran Foto Seni Budaya Kepulauan Riau oleh Yatna Yuana. Rencananya, karya-karya dari enam sastrawan ini juga akan dicetak dalam bentuk buku.
Menurut Hoesnizar Hood, bila wilayah ini belakangan dinilai ada kemunduran, momen-momen penampilan bersama ini bisa dilihat sebagai kebangkitan dan dinamika. “Biasanya, penyair (Kepulauan Riau) melawat ke beberapa kota dengan terpisah-pisah. Jarang yang satu panggung,” papar Hoesnizar yang pembacaan puisinya akan diiring dengan ilustrasi Gurindam-12, naskah bersejarah karya Raja Ali Haji.
Dinamis
Dalam sejarah, kekuatan Kepulauan Riau seperti juga beberapa daerah di sekitar yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu, adalah kesusastraannya. Dari gurindam, talibun, seloka, dalam untaian syair, tipografi dan rima yang berbeda.
Karakter penyair ini pun beragam dan variatif dan jelas telah menjadi “malin kundang” soal pola tradisi sajak Melayu. Tarmizi, misalnya, penyair berdarah Minang yang dalam separuh hidupnya gemar menggunakan idiom “hitam” di dalam puisi, Ramon Damora yang terasa lebih keras dalam metafor puitiknya semisal “taring” dan “pisau”. Kesemuanya terasa lebih terkemas dalam bentuk puisi modern.
Menurut Hasan, karya para penyair pun dibebaskan dalam bahasa dan tema. Tak ada keterikatan karena fenomena individu tetap ada. Baginya, ibu budaya tiap penyair berbeda, seperti ibu budaya yang dimilikinya jelas bukan Melayu.
Kendati demikian, ungkap Hasan, di antara beberapa puisi yang lahir di dalam buku itu pasti tak berbentuk seperti sekarang kalau mereka tidak berada di geografis Kepulauan Riau. “Itu tetap terasa dalam beberapa puisi saya, entah dalam bahasa atau tema.”
Hasan juga mengatakan, bahwa penampilan mereka di “negeri seberang”, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, memperlihatkan kedinamisan kehidupan bersastra di Kepulauan Riau. “Kita terus berkarya, tak boleh mati. Ini memperlihatkan juga bahwa di kawasan Kepri sastra masih bergetar,” ujar Hasan Aspahani, dengan nada heroik.
Hasan Aspahani yang puisinya juga muncul di internet sekaligus menjabat wakil pemimpin redaksi di sebuah media harian wilayah itu, mengatakan bahwa masing-masing penyair – kecuali Samson Rambah Pasir yang direncanakan membaca cerpen – akan memperlihatkan kemampuan penciptaan dan pembacaan puisinya. Apalagi di dalam soal pembacaan puisi, lima penyair dan seorang cerpenis ini siap dipertanyakan kekuatan dan kekhasan ekspresinya.
***
http://sastra-indonesia.com/2009/03/resital-sastra-dari-tanah-melayu/
No comments:
Post a Comment