Karya: Iwan Simatupang
ADEGAN I
SEKELOMPOK BEBEK MEMASUKI PANGGUNG
Petruk: Sejauh mata memandang, sawah luas terbentang, tapi tidak sebidang
tanah pun milikku. Padi aku yang tanam, juga aku yang ketam. Tapi tidak
segenggam milikku. Bebek tiga puluh ekor, semuanya tukang bertelor. Tapi tidak
juga sebutir adalah milikku. Badan hanya sebatang, hampir-hampir telanjang.
Hanya itu saja milikku.
ADEGAN II
BAGONG DAN PENGAWALNYA MEMASUKI PANGGUNG
Bagong: Aku orang berada, apa-apa ada. Juga buah dada, itulah beta. Sawah
berhektar-hektar, pohon berakar-akar, rumah berkamar-kamar, itulah nyatanya.
Kambing berekor-ekor, bebek bertelor-telor, celana berkolor-kolor, film
berteknik kolor. Perut buncit ada, mata melotot ada, pelayan ada, pokoknya
serba ada.
ADEGAN III
GARENG DAN EMPAT KAWANNYA MEMASUKI PANGGUNG
Gareng: Badannya langsing, matanya juling, otaknya bening. That’s me!
Tipu menipu, adu mengadu, ijazah palsu, that’s me!
Gugat menggugat, sikat menyikat, lidah bersilat, that’s me!
Profesiku pokrol bambu, siapa yang tidak tahu, that’s me!
ADEGAN IV
Semar: Saya jadi lurah sejaak awal sejarah, sudaah lama kepingin berhenti
tapi tak adaa yang mau mengganti. Sudah bosan, jemu, capek, lelah. Otot kendor,
mata kabur, mau mundur dengan teratur, mau ngaso di atas kasur.
Saya kembung bukan karena busung, mata berair bukan karena banjir, tapi
karena menjadi tong sampah. Serobotan tanah, pak lurah. Curi air sawah, pak
lurah. Beras susah, pak lurah. Semua masalah, pak lurah, tapi kalau rejeki
melimpah, pak lurah…tak usah…payah.
ADEGAN V
BAGONG DAN PENGAWALNYA MEMASUKI PANGGUNG
Bagong: Jaman ini jaman edan, tidak ikut edan tidak kebagian.
Di terminal calo berkuasa, dia tentukan penumpang naik apa.
Di dunia film broker merajalela, dia tentukan sutradara bikin apa.
Di sini, itu si Petruk sialan, datang merangkak meminta pekerjaan.
Aku suruh ngangon bebek tiga puluh ekor, tiap minggu harus antar lima puluh
ekor.
Malah dia tentukan berapa harus setor. Sungguh-sungguh kurang telor.
Sekali aku datang mengontrol, bebeknya hilang dua ekor.
Waktu ditanya, dia menjawab “dimakan burung kondor”
Di sini tak ada burung kondor. Dia yang kondor.
Dia datang melolong minta tolong, sudah ditolong, ee…dia nyolong.
Orang seperti ini harus dipukuli, sayangnya aku tak berani.
Lagipula aku tidak mau mengotori tanganku, dengan menyentuh tubuhnya yang
kotor dan bau. Aku tidak mau main hakim sendiri, apa gunanya pak lurah digaji.
ADEGAN VI
SEKELOMPOK BEBEK MEMASUKI PANGGUNG
Petruk Orang sudah melarat ditimpa cialat, telor sudah dimakan masih juga
digugat.
Padahal yang bertelor tidak peduli, apa mau dimakan atau dicuri.
Pokoknya aku tiap minggu sudah setor, sekitar lima puluh telor.
Waktu menyebrang jalan, datang motor, bebek kabur, satu ketubruk dan mati
konyol.
Sekarang aku harus menghadap pak lurah mempertanggung jawabkan apa yang
sudah aku lakukan. Menurut versi Bagong dongkolan, siapa menolongku, siapa
membantuku?
Gareng Apa masalahmu, menangis tersedu-sedu
Apa persoalan,merengek tersedan-sedan
Jangan takut, aku bukan polisi
Bukan maut, juga bukan polusi.
Petruk Begitu mulutnya dibuka, mendadak hilanglah duka
Permisi, mohon bertanya, kok mau menyapa saya?
Gareng Aku sedih melihat orang susah. Aku murka melihat orang marah.
Aku membantu orang kejepit, kena urusan berbelit-belit.
Petruk Ikan dicita, ulampun tiba. Janda dicinta sebab kaya raya.
Bapak mau menolong saya yang lagi bingung kena perkara?
Gareng Aku diturunkan ke bumi ini dengan suatu misi.
Membantu orang yang kena perkara, baik yang perdata maupun pidana
Pilih mana, bagi saya sama saja.
Petruk Anu pak, ini urusan telor dan bebek.
Gareng Ah, telor dan bebek. Bukan telor dan ayam?
Di sini telor, di sana telor, sama-sama telor
Di sini bebek, di sana ayam, bagiku sama saja.
Petruk Ya, tapi saya melarat pak.
Gareng Ya, saya juga melarat, karenanya harus bekerjasama yang erat.
Segala sesuatu dikerjakan dengan mufakat.
Misalnya saja tentang honorku, biar bagaimanapun aku ini pokrol bambu
Kamu harus hargai profesiku.
Petruk Bapak harus sadari profesi saya, yang tidak menghasilkan apa-apa.
Harta karun tidak ada, yang ada cemeti dan celana.
Ambil saja cemeti, biar nanti saya cari lagi.
Jangan ambil celana, nanti saya celaka
Menambah lagi perkara, perkara pusaka dewata.
Gareng Ini bukan perkara cemeti atau celana
Tapi urusan telor dan bebek. Jelas urusan telor dan bebek
Telor dan bebek, tor-tor, wek-wek.
Petruk Tor-tor, wek-wek? Maksudnya ha?
Gareng Ssst! Jangan keras-keras.
MEREKA SALING BERBISIK, KEMUDIAN TERTAWA TERBAHAK-BAHAK, RAHASIA,
MENGANDUNG ARTI NAKAL
ADEGAN VII
SEMAR DAN BAGONG MENUJU PETRUK DAN GARENG
Semar Sudah di pikir masak-masak?
Bagong Sudah. Malah hampir busuk.
Semar Kalau di pikir-pikir berapalah rugimu?
Bagong Ini bagi saya memang bukanlah persoalan untung rugi. Ini soal
kepercayaan saya yang di lukai. Muka saya di ludahi. Sudah di tolong masih
mencuri. Saya kurang baik apa? Masih saja orang bilang saya pelit, medit,
bakhil.
Semar Penghisap, pemeras, penggencet, penyedot, pengepres.
Bagong Ya, semua yang tidak beres.
Semar Kalau dia mengakui, apa tindakan mu?
Bagong Dia harus bayar kerugianku.
Semar Kalau dia tidak dapat?
Bagong Apa boleh buat, pecat.
Semar Lantas apa nasibnya?
Bagong Ini urusannya, urusan pak lurah.
Semar Kalau ia tidak mengaku bersalah?
Bagong Pak lurah atur supaya ia menyerah. Nanti saya atur agar padi pak
lurah bertambah.
Semar Saya sudah menjadi lurah sejak awal sejarah. Jangan omongamu membuat
saya marah.
Bagong Maaf pak lurah. Maksud saya sama sekali tidak mempengaruhi hanya si
Entong anak bapak kemarin kepingin motor.
Semar Kalau dia kepingian, tentu dia ngomong sama saya.
Bagong Dia kemarin pesan motor apa saja.
Semar Mau tutup mulut tidak? Mau aku depak?
Bagong Maksud saya….
DATANG PETRUK DAN GARENG
Gareng Eh, pak lurah. Selamat pagi, selamat ketemu lagi. Apa kabar pak
cukong? Masih suka membagong.
Bagong Pokrol busuk, awas. Jangan sembarangan ngomong.
Semar Perkara apa yang kita hadapi, hina menghina atau curi mencuri?
Bagong Maaf pak lurah. Dia yang mulai.
Semar Gareng, apakau jadi pembela?
Gareng Betul. Pembela dan kuasa penuh.
Bagong Maksudnya, kalau kalah perkara saudara masuk penjara?
Gareng Saya kira, yang akan kalah itu saudara.
Semar Baik, kita mulai. Orang mau bicara hanya dengan seijin saya.
Bagong Setuju.
Gareng Kalau maunya pak lurah begitu.
Petruk Bb-bb
Semar Bagaimana kau petruk?
Bagong Penggugat, terdakwa, tertuduh, tersangka.
Semar Kalau mau bicara harus seijin saya.
Bagong Maaf, pak lurah. Bagaimana petruk?
PETRUK DIAM SAJA.
Semar Jawab petruk.
Gareng Maaf pak lurah.
Semar Pembela?
Gareng Boleh saya bicara?
Semar Silahkan.
Gareng Sebelum saya minta maaf bagi klien dan pasien saya. Klien, karena ia
minta saya sebagai pembelanya dan kuasa usahanya. Pasien, karena ia minta saya
menjadi dokternya. Keterangan dan penjelasannya; sewaktu ia datang kepada saya
yaitu pada hari kamis legi yang lalu, tanggal 32 september 1999, getaran pada
jam 10. 30 menit, 6 detik, 7 detik, 8 detik, 9 detik ricther. Udara 240 C,
curah hujan 25 cm, naga di selatan, singa di utara, bintang venus berada di….
Bagong Pak lurah saya protes.
Semar Kenapa?
Bagong Urusan apa itu si Venus? Sebentar lagi si Wati, si Inah, si anu…
Semar Protes di terima, pembela….fakta yang langsung berhubungan dengan
fenomena dan sebaiknya yang berkaitan dengan perkara.
Gareng Walau hak saya di kurangi…. tak apalah. Saudara petruk ini datang
pada saya, di kantor saya di kaki enam depan pasar, sebelah kiri toko sepeda,
seblah kanan warung tegal, bersebrangan dengan pompa minyak goreng.
Menceritakan kepada saya musibah yang menimpa dirinya yang di sebabkan oleh
telor bebek dan bapak bagong. Dengan suara dingin bergetar kedinginan. Pak
lurah ia datang berlari langsung sawah yang kehujanan lebat dingin sekali.
Mengamankan bebek-bebek dan telor-telor yang menjadi tanggungannya, mendadak
banjir dari kali, kilat menyambar dari langit. Dua bebek di bawa banjir….
Bagong Astaga, telornya?
Gareng Sepuluh butir disambar petir, hancur berantakan.
Bagong Telor-telorku….
Semar Benar ini semua terjadi?
Petruk Ia…wek…wek…wek
Semar Jawab yang benar.
Petruk Wek…wek…wek…wek.
Semar Jangan main-main.
Gareng Wek…wek. Maaf pak lurah. Selesai dia menceritakan pengalamannya yang
mengerikan itu, ia jatuh pingsan. Badannya mengigil, keringatnya mengalir,
mukanya pucat, ia mengeluh. Wek…wek…waktu sadar, terlanjur suara yang bisa ia
keluarkan hanya wek, selain wek tak ada wok…wok. Seperti pak lurah dengar tadi.
Ia sedih sekali, saya ikut sedih dan berjanji padanya akan menyembuhkannya.
Jadi kalau ia menjawab dengan wek…wek, maafkanlah ia.
Semar Bagaimana Petruk?
Petruk Wekwek….
Bagong Pak lurah, ini saya kira satu permainan yang licik, akal-akalan si
pokrol bambu, pokrol tipu, pokrol….
Gareng Pak lurah, ini saya adukan cukong Bagong, karena telah menghina saya
di depan umum. Pak lurah mendengar sendiri dari moncong Bagong….
Bagong Pak lurah, saya adukan pokrol itu menghina saya menyebut mulut saya
dengan moncong….
Semar Saya catat, saya sudah catat. Gareng menghina Bagong, Bagong menghina
Gareng. Skor, satu lawan satu. Draw, remis. Sama kuat, selesai. Saya
peringatkan, jangan ada yang nyeleweng lagi. Kita lagi membicarakan perkara
Petruk dengan bebek dan telornya Bagong.
Gareng Saya tidak punya urusan dengan telornya bagong.
Bagong Telor saya jangan dibawa-bawa.
Gareng Memangnya kau taruh di rumah?
Semar Lama-lama hilang kesabaran saya. Tekanan darah saya naik. Kita lagi
membicarakan soal wek-wek.
Bagong Pak lurah, ini bukan perkara wekwek.
Gareng Tak ada kaitannya dengan wek-wek? Lantas mengapa Petruk sekarang
hanya bisa bilang wek-wek? Ya kenapa? Karena ia ingat ada bebek yang dibawa air
bah, karena ia cinta sama bebek asuhannya, karena ia merasa sepenuhnya
bertanggung jawab atas keselamatan bebek yang berbunyi wek-wek itu.
Karena ia saban hari saban malam mendengar hanya suara wek-wek, hingga
suara wek-wek menjadi obsesi, otaknya penuh suara Wek-wek, syarafnya diganggu
oleh wek-wek, pita suaranya tersetem pada nada wek-wek. Dia hanya akan bisa ber
wek-wek sampai akhir hayatnya. Bahkan kuburnya nanti akan berbunyi wek-wek.
Daan doa untuk arwahnya harus berbunyi wek-wek. Dan kita sekarang harus
membicarakan ini dengan bahasa wek-wek.
Bagong Saya protes, tidak bisa. Saya belum belajar bahasa wek-wek. Kenapa
harus berwek-wek, wok-wok. Wek-wek apa wok-wok.
Semar Itu terlalu ekstrem, kalau kita harus menyelesaikan perkara ini
dengan bahasa wek-wek, maka terpaksa perkara ini harus ditunda untuk waktu yang
tidak ditentukan. Sampai kita semua telah mahir ber wek-wek.
Petruk Wek…wek..wek.
Semar Apa maunya?
Gareng Kasihanilah saya. Saya tidak bersalah.
Bagong Bohong. Dia telah mencuri tiga belas telur dan tiga ekor bebek.
Petruk Wek..wekwek….
Gareng Tidak salah
Bagong Salah
Petruk Wek-wek
Gareng Tidak
Bagong Salah
Semar Wekwek…
Gareng Ya wekwek…
Bagong Apa wek-wek?
Petruk Wek…wek…wek…
Semar Wek…wek.
Bagong Wek…wek.
Gareng Wek…wek.
Semar Diam, wekwek. Sudah jadi bebek semuanya.
Petruk Wek…wek.
Gareng Kalau dulu ia tidak dipaksa harus hidup berhari-hari dengan bebek.
Dia jadi begitu
karena Bagong.
Bagong Dia datang kepada saya minta pekerjaan. Yang lowong hanya ngangon
bebek. Dia terima pekerjaan itu, saya tidak paksa.
Semar Apa keadaan yang harus dipersalahkan?Bagong, berapa ekor yang dia
harus jaga? Dan berapa telor harus dia setor?
Bagong Bebek tiga puluh ekor.
Gareng Kelaminnya
Bagong Kelamin? Jangan hina saya ya, jelas saya laki-laki.
Gareng Saya tidak tanya kelaminmu. Kelamin bebek?
Bagong Tiga puluh ekor betina semua.
Semar Berapa telor yang harus dia setor?
Bagong Lima puluh butir seminggu, bebek menelor tiga hari sekali, seminggu
dia menelor dua kali. Tiga puluh bebek bertelor selama seminggu enam puluh,
saya minta setorin lima puluh, yang sepuluh buat upah si Petruk. Kan cukup.
Sepuluh kali seribu kan sepuluh ribu seminggu?.
Semar Sepuluh ribu seminggu, bisa hidupkah dengan uang itu? Beras, bisakah
dia penuhi setoran itu?
Bagong Tidak pernah. Mula-mula Cuma empat puluh, makin lama makin
berkurang.
Petruk Wekwek…
Semar Apa maksudnya?
Gareng Tiga puluh ekor bebek, betina semua. Tidak ada jantannya. Bagaimana
bisa bertelor pak lurah? Ini jelas contoh pemaksaan kemauan dan penghisapan di
luar batas kemanusiaan dan kebinatangan,
Bagong Nyatanya, mula-mula bebek itu bertelor.
Gareng Itu karena kau beli dan serahkan. Lebih-lebih dia baru bergaul
dengan bebek jantan. Kemudian….
Bagong Nyatanya dia masih bertelor.
Gareng itu jasanya si Petruk.
Semar Hei, kau boleh menipu kami, tapi tipuan ini tidak berlaku. Masa
Petruk berhubungan dengan bebek?
Bagong Biarkan saja, asal bebek yang bertelor.
Gareng Kenapa kau tidak gauli saja sendiri bebek-bebek itu? Pak lurah,
maksud saya tidak seperti yang pak lurah bayangkan. Karena Petruk diam-diam
pinjam bebek jantan dari tukang angon lainnya. Dan mebiarkan si jantan itu
menggauli bebek betina maka masih ada telor yang bisa dipungut. Biar nafsu
kebinatangan pejantan itu luar biasa, tetapi ia tidak menggauli seluruh bebek
betina itu.
Semar Kalau begitu si Petruk berjasa besar. Berjasa terhadap bebek betina
itu dan berjasa terhadapmu Bagong.
Petruk Wekwekwek…
Semar Apa katanya?
Gareng Dasar orang tidak tahu terima kasih. Tidak tahu menghargai jasa
orang.
Semar bagaimana bagong?
Bagong Ya… bebek yang dua dimana?
Gareng Ya dibawa banjir.
Bagong Bukan itu, sebelumnya? Pasti dijual.
Gareng Menurut Petruk, yang satu disambar alap-alap. Yang lain dimakan
anjing.
Bagong Bohong. Percuma punya bebek. Hilang melulu, beri telor tidak.
Percuma punya tukang angon.
Petruk Wekwek…
Bagong Apa lagi?
Gareng Tiap kali pinjam penjantan, dia harus bayar dua telor.
Bagong Pemeras
Gareng Siapa?
Bagong Itu yang pinjamkan pejantan.
Gareng kau bisa bilang irang itu pemeras!? Lantas kau maunya pinjam gratis
gitu?
Semar Nah, perkaranya sudah jelas, Bagong nampaknya kau yang kalah. Betul
Petruk kurang dapat menepati janjinya tetapi itu karena keadaan yang kau
ciptakan sendiri. Kau tidak bisa memecat ia, dan kalau kau mau bebekmu
bertelor, belilah barang tiga pejantan. Dan kau mesti bayar dukun yang
mengobati si Petruk.
Bagong Saya tidak mau mengatakan pak lurah berat sebelah. Tapi…ongkos
dukunnya berapa?
Gareng Lima puluh ribu rupiah.
BAGONG BAYAR SELEMBAR LIMA PULUH RIBUAN
Bagong Rugi-rugi…(pergi)
Semar Gareng, cari dukun yang baik, biar Petruk lekas sembuh.
Gareng Tentu saya akan usahakan.
Petruk Wekwek…
Semar Ya, wekwek…
ADEGAN VIII
GARENG DAN PETRUK
Gareng (tertawa) hahahaha…..
Petruk (tertawa) wekwekwekwek….
Gareng Bagi uangnya. Nah kau selembar, aku selembar
Petruk Wekwek…
Gareng Nah, sekarang mana dua bebek yang dibawa banjir?
Petruk Wekwekwekwek….
Gareng Ayo, jangan main-main lagi. Sandiwaranya sudah selesai
Petruk (menunjukan tenggorokannya) wekwek….
Gareng Janjimu bagaimana? Mana imbalanku?
Petruk (menunjuk uang di tangan Gareng) wekwek… (pergi)
Gareng Wah si Petruk bodoh tapi lihay, lihay tapi bodoh. Aku pokrol bambu
kena tipu.
ADEGAN IX
SEMAR DAN PETRUK
Semar (tertawa) Saya jadi lurah sejak awal sejarah…
Petruk Hehehehe….pak lurah, amaf sudah berbohong.
Semar Bebek yang dibawa banjir dan telor yang sambar petir.
Petruk (tertawa) benar pak lurah. Saya lupa…wekwek….
Semar (mengggelengkan kepala) saya jadi lurah….
TAMAT
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment