Saturday, August 7, 2021

Naskah Teater, WEK WEK

Karya: Iwan Simatupang
 
ADEGAN I
SEKELOMPOK BEBEK MEMASUKI PANGGUNG
 
Petruk: Sejauh mata memandang, sawah luas terbentang, tapi tidak sebidang tanah pun milikku. Padi aku yang tanam, juga aku yang ketam. Tapi tidak segenggam milikku. Bebek tiga puluh ekor, semuanya tukang bertelor. Tapi tidak juga sebutir adalah milikku. Badan hanya sebatang, hampir-hampir telanjang. Hanya itu saja milikku.
 
ADEGAN II
BAGONG DAN PENGAWALNYA MEMASUKI PANGGUNG
 
Bagong: Aku orang berada, apa-apa ada. Juga buah dada, itulah beta. Sawah berhektar-hektar, pohon berakar-akar, rumah berkamar-kamar, itulah nyatanya. Kambing berekor-ekor, bebek bertelor-telor, celana berkolor-kolor, film berteknik kolor. Perut buncit ada, mata melotot ada, pelayan ada, pokoknya serba ada.
 
ADEGAN III
GARENG DAN EMPAT KAWANNYA MEMASUKI PANGGUNG
 
Gareng: Badannya langsing, matanya juling, otaknya bening. That’s me!
Tipu menipu, adu mengadu, ijazah palsu, that’s me!
Gugat menggugat, sikat menyikat, lidah bersilat, that’s me!
Profesiku pokrol bambu, siapa yang tidak tahu, that’s me!
 
ADEGAN IV
 
Semar: Saya jadi lurah sejaak awal sejarah, sudaah lama kepingin berhenti tapi tak adaa yang mau mengganti. Sudah bosan, jemu, capek, lelah. Otot kendor, mata kabur, mau mundur dengan teratur, mau ngaso di atas kasur.
Saya kembung bukan karena busung, mata berair bukan karena banjir, tapi karena menjadi tong sampah. Serobotan tanah, pak lurah. Curi air sawah, pak lurah. Beras susah, pak lurah. Semua masalah, pak lurah, tapi kalau rejeki melimpah, pak lurah…tak usah…payah.
 
ADEGAN V
BAGONG DAN PENGAWALNYA MEMASUKI PANGGUNG
 
Bagong: Jaman ini jaman edan, tidak ikut edan tidak kebagian.
Di terminal calo berkuasa, dia tentukan penumpang naik apa.
Di dunia film broker merajalela, dia tentukan sutradara bikin apa.
Di sini, itu si Petruk sialan, datang merangkak meminta pekerjaan.
Aku suruh ngangon bebek tiga puluh ekor, tiap minggu harus antar lima puluh ekor.
Malah dia tentukan berapa harus setor. Sungguh-sungguh kurang telor.
Sekali aku datang mengontrol, bebeknya hilang dua ekor.
Waktu ditanya, dia menjawab “dimakan burung kondor”
Di sini tak ada burung kondor. Dia yang kondor.
Dia datang melolong minta tolong, sudah ditolong, ee…dia nyolong.
Orang seperti ini harus dipukuli, sayangnya aku tak berani.
Lagipula aku tidak mau mengotori tanganku, dengan menyentuh tubuhnya yang kotor dan bau. Aku tidak mau main hakim sendiri, apa gunanya pak lurah digaji.
 
ADEGAN VI
SEKELOMPOK BEBEK MEMASUKI PANGGUNG
 
Petruk Orang sudah melarat ditimpa cialat, telor sudah dimakan masih juga digugat.
Padahal yang bertelor tidak peduli, apa mau dimakan atau dicuri.
Pokoknya aku tiap minggu sudah setor, sekitar lima puluh telor.
Waktu menyebrang jalan, datang motor, bebek kabur, satu ketubruk dan mati konyol.
Sekarang aku harus menghadap pak lurah mempertanggung jawabkan apa yang sudah aku lakukan. Menurut versi Bagong dongkolan, siapa menolongku, siapa membantuku?
 
Gareng Apa masalahmu, menangis tersedu-sedu
Apa persoalan,merengek tersedan-sedan
Jangan takut, aku bukan polisi
Bukan maut, juga bukan polusi.
 
Petruk Begitu mulutnya dibuka, mendadak hilanglah duka
Permisi, mohon bertanya, kok mau menyapa saya?
 
Gareng Aku sedih melihat orang susah. Aku murka melihat orang marah.
Aku membantu orang kejepit, kena urusan berbelit-belit.
 
Petruk Ikan dicita, ulampun tiba. Janda dicinta sebab kaya raya.
Bapak mau menolong saya yang lagi bingung kena perkara?
 
Gareng Aku diturunkan ke bumi ini dengan suatu misi.
Membantu orang yang kena perkara, baik yang perdata maupun pidana
Pilih mana, bagi saya sama saja.
 
Petruk Anu pak, ini urusan telor dan bebek.
 
Gareng Ah, telor dan bebek. Bukan telor dan ayam?
Di sini telor, di sana telor, sama-sama telor
Di sini bebek, di sana ayam, bagiku sama saja.
 
Petruk Ya, tapi saya melarat pak.
 
Gareng Ya, saya juga melarat, karenanya harus bekerjasama yang erat.
Segala sesuatu dikerjakan dengan mufakat.
Misalnya saja tentang honorku, biar bagaimanapun aku ini pokrol bambu
Kamu harus hargai profesiku.
 
Petruk Bapak harus sadari profesi saya, yang tidak menghasilkan apa-apa.
Harta karun tidak ada, yang ada cemeti dan celana.
Ambil saja cemeti, biar nanti saya cari lagi.
Jangan ambil celana, nanti saya celaka
Menambah lagi perkara, perkara pusaka dewata.
 
Gareng Ini bukan perkara cemeti atau celana
Tapi urusan telor dan bebek. Jelas urusan telor dan bebek
Telor dan bebek, tor-tor, wek-wek.
 
Petruk Tor-tor, wek-wek? Maksudnya ha?
Gareng Ssst! Jangan keras-keras.
 
MEREKA SALING BERBISIK, KEMUDIAN TERTAWA TERBAHAK-BAHAK, RAHASIA, MENGANDUNG ARTI NAKAL
 
ADEGAN VII
 
SEMAR DAN BAGONG MENUJU PETRUK DAN GARENG
 
Semar Sudah di pikir masak-masak?
Bagong Sudah. Malah hampir busuk.
Semar Kalau di pikir-pikir berapalah rugimu?
 
Bagong Ini bagi saya memang bukanlah persoalan untung rugi. Ini soal kepercayaan saya yang di lukai. Muka saya di ludahi. Sudah di tolong masih mencuri. Saya kurang baik apa? Masih saja orang bilang saya pelit, medit, bakhil.
 
Semar Penghisap, pemeras, penggencet, penyedot, pengepres.
Bagong Ya, semua yang tidak beres.
Semar Kalau dia mengakui, apa tindakan mu?
Bagong Dia harus bayar kerugianku.
Semar Kalau dia tidak dapat?
Bagong Apa boleh buat, pecat.
Semar Lantas apa nasibnya?
Bagong Ini urusannya, urusan pak lurah.
Semar Kalau ia tidak mengaku bersalah?
Bagong Pak lurah atur supaya ia menyerah. Nanti saya atur agar padi pak lurah bertambah.
Semar Saya sudah menjadi lurah sejak awal sejarah. Jangan omongamu membuat saya marah.
Bagong Maaf pak lurah. Maksud saya sama sekali tidak mempengaruhi hanya si Entong anak bapak kemarin kepingin motor.
Semar Kalau dia kepingian, tentu dia ngomong sama saya.
Bagong Dia kemarin pesan motor apa saja.
Semar Mau tutup mulut tidak? Mau aku depak?
Bagong Maksud saya….
 
DATANG PETRUK DAN GARENG
 
Gareng Eh, pak lurah. Selamat pagi, selamat ketemu lagi. Apa kabar pak cukong? Masih suka membagong.
Bagong Pokrol busuk, awas. Jangan sembarangan ngomong.
Semar Perkara apa yang kita hadapi, hina menghina atau curi mencuri?
Bagong Maaf pak lurah. Dia yang mulai.
Semar Gareng, apakau jadi pembela?
Gareng Betul. Pembela dan kuasa penuh.
Bagong Maksudnya, kalau kalah perkara saudara masuk penjara?
Gareng Saya kira, yang akan kalah itu saudara.
Semar Baik, kita mulai. Orang mau bicara hanya dengan seijin saya.
Bagong Setuju.
Gareng Kalau maunya pak lurah begitu.
Petruk Bb-bb
Semar Bagaimana kau petruk?
Bagong Penggugat, terdakwa, tertuduh, tersangka.
Semar Kalau mau bicara harus seijin saya.
Bagong Maaf, pak lurah. Bagaimana petruk?
 
PETRUK DIAM SAJA.
 
Semar Jawab petruk.
Gareng Maaf pak lurah.
Semar Pembela?
Gareng Boleh saya bicara?
Semar Silahkan.
 
Gareng Sebelum saya minta maaf bagi klien dan pasien saya. Klien, karena ia minta saya sebagai pembelanya dan kuasa usahanya. Pasien, karena ia minta saya menjadi dokternya. Keterangan dan penjelasannya; sewaktu ia datang kepada saya yaitu pada hari kamis legi yang lalu, tanggal 32 september 1999, getaran pada jam 10. 30 menit, 6 detik, 7 detik, 8 detik, 9 detik ricther. Udara 240 C, curah hujan 25 cm, naga di selatan, singa di utara, bintang venus berada di….
 
Bagong Pak lurah saya protes.
Semar Kenapa?
Bagong Urusan apa itu si Venus? Sebentar lagi si Wati, si Inah, si anu…
Semar Protes di terima, pembela….fakta yang langsung berhubungan dengan fenomena dan sebaiknya yang berkaitan dengan perkara.
 
Gareng Walau hak saya di kurangi…. tak apalah. Saudara petruk ini datang pada saya, di kantor saya di kaki enam depan pasar, sebelah kiri toko sepeda, seblah kanan warung tegal, bersebrangan dengan pompa minyak goreng. Menceritakan kepada saya musibah yang menimpa dirinya yang di sebabkan oleh telor bebek dan bapak bagong. Dengan suara dingin bergetar kedinginan. Pak lurah ia datang berlari langsung sawah yang kehujanan lebat dingin sekali. Mengamankan bebek-bebek dan telor-telor yang menjadi tanggungannya, mendadak banjir dari kali, kilat menyambar dari langit. Dua bebek di bawa banjir….
 
Bagong Astaga, telornya?
Gareng Sepuluh butir disambar petir, hancur berantakan.
Bagong Telor-telorku….
Semar Benar ini semua terjadi?
Petruk Ia…wek…wek…wek
Semar Jawab yang benar.
Petruk Wek…wek…wek…wek.
Semar Jangan main-main.
 
Gareng Wek…wek. Maaf pak lurah. Selesai dia menceritakan pengalamannya yang mengerikan itu, ia jatuh pingsan. Badannya mengigil, keringatnya mengalir, mukanya pucat, ia mengeluh. Wek…wek…waktu sadar, terlanjur suara yang bisa ia keluarkan hanya wek, selain wek tak ada wok…wok. Seperti pak lurah dengar tadi. Ia sedih sekali, saya ikut sedih dan berjanji padanya akan menyembuhkannya. Jadi kalau ia menjawab dengan wek…wek, maafkanlah ia.
 
Semar Bagaimana Petruk?
Petruk Wekwek….
Bagong Pak lurah, ini saya kira satu permainan yang licik, akal-akalan si pokrol bambu, pokrol tipu, pokrol….
 
Gareng Pak lurah, ini saya adukan cukong Bagong, karena telah menghina saya di depan umum. Pak lurah mendengar sendiri dari moncong Bagong….
Bagong Pak lurah, saya adukan pokrol itu menghina saya menyebut mulut saya dengan moncong….
 
Semar Saya catat, saya sudah catat. Gareng menghina Bagong, Bagong menghina Gareng. Skor, satu lawan satu. Draw, remis. Sama kuat, selesai. Saya peringatkan, jangan ada yang nyeleweng lagi. Kita lagi membicarakan perkara Petruk dengan bebek dan telornya Bagong.
 
Gareng Saya tidak punya urusan dengan telornya bagong.
Bagong Telor saya jangan dibawa-bawa.
Gareng Memangnya kau taruh di rumah?
Semar Lama-lama hilang kesabaran saya. Tekanan darah saya naik. Kita lagi membicarakan soal wek-wek.
Bagong Pak lurah, ini bukan perkara wekwek.
 
Gareng Tak ada kaitannya dengan wek-wek? Lantas mengapa Petruk sekarang hanya bisa bilang wek-wek? Ya kenapa? Karena ia ingat ada bebek yang dibawa air bah, karena ia cinta sama bebek asuhannya, karena ia merasa sepenuhnya bertanggung jawab atas keselamatan bebek yang berbunyi wek-wek itu.
 
Karena ia saban hari saban malam mendengar hanya suara wek-wek, hingga suara wek-wek menjadi obsesi, otaknya penuh suara Wek-wek, syarafnya diganggu oleh wek-wek, pita suaranya tersetem pada nada wek-wek. Dia hanya akan bisa ber wek-wek sampai akhir hayatnya. Bahkan kuburnya nanti akan berbunyi wek-wek. Daan doa untuk arwahnya harus berbunyi wek-wek. Dan kita sekarang harus membicarakan ini dengan bahasa wek-wek.
 
Bagong Saya protes, tidak bisa. Saya belum belajar bahasa wek-wek. Kenapa harus berwek-wek, wok-wok. Wek-wek apa wok-wok.
 
Semar Itu terlalu ekstrem, kalau kita harus menyelesaikan perkara ini dengan bahasa wek-wek, maka terpaksa perkara ini harus ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Sampai kita semua telah mahir ber wek-wek.
 
Petruk Wek…wek..wek.
Semar Apa maunya?
Gareng Kasihanilah saya. Saya tidak bersalah.
Bagong Bohong. Dia telah mencuri tiga belas telur dan tiga ekor bebek.
Petruk Wek..wekwek….
Gareng Tidak salah
Bagong Salah
Petruk Wek-wek
Gareng Tidak
Bagong Salah
Semar Wekwek…
Gareng Ya wekwek…
Bagong Apa wek-wek?
Petruk Wek…wek…wek…
Semar Wek…wek.
Bagong Wek…wek.
Gareng Wek…wek.
Semar Diam, wekwek. Sudah jadi bebek semuanya.
Petruk Wek…wek.
 
Gareng Kalau dulu ia tidak dipaksa harus hidup berhari-hari dengan bebek. Dia jadi begitu
karena Bagong.
 
Bagong Dia datang kepada saya minta pekerjaan. Yang lowong hanya ngangon bebek. Dia terima pekerjaan itu, saya tidak paksa.
 
Semar Apa keadaan yang harus dipersalahkan?Bagong, berapa ekor yang dia harus jaga? Dan berapa telor harus dia setor?
 
Bagong Bebek tiga puluh ekor.
Gareng Kelaminnya
Bagong Kelamin? Jangan hina saya ya, jelas saya laki-laki.
Gareng Saya tidak tanya kelaminmu. Kelamin bebek?
Bagong Tiga puluh ekor betina semua.
Semar Berapa telor yang harus dia setor?
 
Bagong Lima puluh butir seminggu, bebek menelor tiga hari sekali, seminggu dia menelor dua kali. Tiga puluh bebek bertelor selama seminggu enam puluh, saya minta setorin lima puluh, yang sepuluh buat upah si Petruk. Kan cukup. Sepuluh kali seribu kan sepuluh ribu seminggu?.
 
Semar Sepuluh ribu seminggu, bisa hidupkah dengan uang itu? Beras, bisakah dia penuhi setoran itu?
Bagong Tidak pernah. Mula-mula Cuma empat puluh, makin lama makin berkurang.
Petruk Wekwek…
 
Semar Apa maksudnya?
Gareng Tiga puluh ekor bebek, betina semua. Tidak ada jantannya. Bagaimana bisa bertelor pak lurah? Ini jelas contoh pemaksaan kemauan dan penghisapan di luar batas kemanusiaan dan kebinatangan,
 
Bagong Nyatanya, mula-mula bebek itu bertelor.
Gareng Itu karena kau beli dan serahkan. Lebih-lebih dia baru bergaul dengan bebek jantan. Kemudian….
 
Bagong Nyatanya dia masih bertelor.
Gareng itu jasanya si Petruk.
Semar Hei, kau boleh menipu kami, tapi tipuan ini tidak berlaku. Masa Petruk berhubungan dengan bebek?
Bagong Biarkan saja, asal bebek yang bertelor.
 
Gareng Kenapa kau tidak gauli saja sendiri bebek-bebek itu? Pak lurah, maksud saya tidak seperti yang pak lurah bayangkan. Karena Petruk diam-diam pinjam bebek jantan dari tukang angon lainnya. Dan mebiarkan si jantan itu menggauli bebek betina maka masih ada telor yang bisa dipungut. Biar nafsu kebinatangan pejantan itu luar biasa, tetapi ia tidak menggauli seluruh bebek betina itu.
 
Semar Kalau begitu si Petruk berjasa besar. Berjasa terhadap bebek betina itu dan berjasa terhadapmu Bagong.
 
Petruk Wekwekwek…
Semar Apa katanya?
Gareng Dasar orang tidak tahu terima kasih. Tidak tahu menghargai jasa orang.
Semar bagaimana bagong?
Bagong Ya… bebek yang dua dimana?
Gareng Ya dibawa banjir.
Bagong Bukan itu, sebelumnya? Pasti dijual.
Gareng Menurut Petruk, yang satu disambar alap-alap. Yang lain dimakan anjing.
Bagong Bohong. Percuma punya bebek. Hilang melulu, beri telor tidak. Percuma punya tukang angon.
Petruk Wekwek…
Bagong Apa lagi?
Gareng Tiap kali pinjam penjantan, dia harus bayar dua telor.
Bagong Pemeras
Gareng Siapa?
Bagong Itu yang pinjamkan pejantan.
Gareng kau bisa bilang irang itu pemeras!? Lantas kau maunya pinjam gratis gitu?
 
Semar Nah, perkaranya sudah jelas, Bagong nampaknya kau yang kalah. Betul Petruk kurang dapat menepati janjinya tetapi itu karena keadaan yang kau ciptakan sendiri. Kau tidak bisa memecat ia, dan kalau kau mau bebekmu bertelor, belilah barang tiga pejantan. Dan kau mesti bayar dukun yang mengobati si Petruk.
 
Bagong Saya tidak mau mengatakan pak lurah berat sebelah. Tapi…ongkos dukunnya berapa?
Gareng Lima puluh ribu rupiah.
 
BAGONG BAYAR SELEMBAR LIMA PULUH RIBUAN
 
Bagong Rugi-rugi…(pergi)
Semar Gareng, cari dukun yang baik, biar Petruk lekas sembuh.
Gareng Tentu saya akan usahakan.
Petruk Wekwek…
Semar Ya, wekwek…
 
ADEGAN VIII
GARENG DAN PETRUK
 
Gareng (tertawa) hahahaha…..
Petruk (tertawa) wekwekwekwek….
Gareng Bagi uangnya. Nah kau selembar, aku selembar
Petruk Wekwek…
Gareng Nah, sekarang mana dua bebek yang dibawa banjir?
Petruk Wekwekwekwek….
Gareng Ayo, jangan main-main lagi. Sandiwaranya sudah selesai
Petruk (menunjukan tenggorokannya) wekwek….
Gareng Janjimu bagaimana? Mana imbalanku?
Petruk (menunjuk uang di tangan Gareng) wekwek… (pergi)
Gareng Wah si Petruk bodoh tapi lihay, lihay tapi bodoh. Aku pokrol bambu kena tipu.
 
ADEGAN IX
SEMAR DAN PETRUK
 
Semar (tertawa) Saya jadi lurah sejak awal sejarah…
Petruk Hehehehe….pak lurah, amaf sudah berbohong.
Semar Bebek yang dibawa banjir dan telor yang sambar petir.
Petruk (tertawa) benar pak lurah. Saya lupa…wekwek….
Semar (mengggelengkan kepala) saya jadi lurah….
 
TAMAT

http://sastra-indonesia.com/2021/08/naskah-teater-wek-wek/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar