Djoko Saryono *
/1/
Di Indonesia, dua puluh tahun lalu rezim (yang menamakan diri) Orde Baru atau pemerintahan Soeharto tumbang oleh (yang menamakan diri) gerakan reformasi. Seketika optimisme dan harapan di berbagai bidang kehidupan merebak atau mekar di tengah luka-luka, keperihan, dan korban perjuangan reformasi. Kerja reformasi dimulai dan digerakkan oleh berbagai unsur bangsa. Politik harapan disemaikan dan ditumbuhkan tunasnya di hati warga bangsa Indonesia. Musim semi demokrasi yang dicita-citakan pun dimulai. Desentaralisasi kekuasaan dan kepengaturan (govermantality) pemerintahan dilaksanakan. Keran kebebasan dan keterbukaan di berbagai bidang kehidupan dibuka lebar. Kemudian konsolidasi demokrasi dikerjakan dengan penuh suka cita harapan. Bahkan perubahan sistem politik dan ekonomi dikerjakan dengan penuh gegap gempita.
Apakah hal tersebut, dengan demikian, juga berarti musim semi bagi kebudayaan khususnya kesusastraan Indonesia? Apakah juga berarti masa kebebasan dan keterbukaan bagi kesusastraan Indonesia? Tidak ada hubungan paralel dan simbiose mutualisme selamanya antara bidang sosial politik dan kesastraan Indonesia. Hubungan bidang sastra Indonesia dengan bidang sosial politik tidak lurus dan selalu seiring sehingga reformasi sosial politik tidak serta-merta berarti reformasi sastra Indonesia. Hubungan sastra Indonesia dengan bidang sosial politik Indonesia lebih merupakan hubungan benci tapi rindu, hubungan antara memeluk-erat dan melepaskan diri masing-masing – seperti hubungan sepasang kekasih yang sekian lama saling mendekap, kemudian saling melepaskan dekapan masing-masing.
Memang, dalam batas tertentu reformasi sosial politik membuka keran kebebasan dan keterbukaan iklim kesusastraan Indonesia baik iklim konsumsi, distribusi, dan produksi maupun kreativitas. Sesaat setelah kebebasan dan keterbukaan serta konsolidasi demokrasi bekerja pada awal tahun 2000-an, iklim dan lingkungan kesusastraan Indonesia juga sedikit berubah lebih bebas dan terbuka. Misalnya, secara umum buku-buku sastra karya Pramoedya Anantra Toer, Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan karya-karya sastra Peranakan Tionghoa, serta karya-karya sastra yang dicap kekiri-kirian yang selama Orde Baru dilarang dikoleksi dan diterbitkan, setelah tahun 2000-an dapat terbit dan beredar secara bebas dan terbuka. Secara leluasa pembaca sastra Indonesia mendadak dapat memiliki dan membaca novel Hikayat Kadiroen, Sair Rempah-rempah, Mata Gelap, Student Hidjo, Bunga Roes dari Tjikembang, Sang Pemula, tetralogi Bumi Manusia, cerpen-cerpen dan puisi-puisi sastrawan LEKRA, dan lain-lain.
Demikian juga pengarang Indonesia – yang berjaya dan berkarya sejak tahun 2000-an – dapat menjelajahi ruang-ruang tematis dan dimensi persoalan lebih luas dan lebar lagi, yang pada masa Orde Baru terlarang secara lisan dan sensitif untuk diungkapkan dalam karya sastra Indonesia. Bahkan pengarang Indonesia tampak bebas mengangkat dan mengungkapkan persoalan pertikaian politik tahun 1964, penembakan misterius, ketimpangan sosial ekonomi, tragedi pembangunan(isme), konflik-konflik komunal, kerusakan ekologi dan lingkungan, dan pergantian kekuasaan tahun 1998. Sebenarnya sejak Orde Baru persoalan tersebut sudah diangkat oleh pengarang Indonesia sehingga terepresentasi dalam karya sastra Indonesia meskipun samar-samar dan tersembunyi penggarapannya oleh para pengarang – sesudah tahun 2000-an penggarapan tematis dan estetis jauh lebih terbuka, bebas, dan lugas.
Pada masa-masa selanjutnya penjelajahan tematis, estetis, dan isi sastra Indonesia semakin luas dan lebar meskipun menempuh jalan terjal dan pejal karena kompleksnya faktor pertalian dunia sastra dengan di luar dunia sastra pada satu sisi dan pada sisi lain kompleksnya pertalian di antara berbagai unsur internal dalam sistem dunia sastra Indonesia. Selain mata politik, sosial, dan agama yang berasal dari dunia luar sastra yang terus memeloti penciptaan dan penerbitan karya sastra, juga terdapat berbagai mata kelompok pengarang yang terkesan sering bersiponggang (arogan) dan saling bersaing kurang sehat bagi iklim kreativitas karya sastra Indonesia. Memasuki tahun 2000-an dunia sastra Indonesia bagaikan berada dalam berbagai perangkap eksternal sekaligus internal sehingga sastrawan dan/atau kelompok sastrawan Indonesia harus pandai-pandai berkelit dari berbagai perangkap itu agar mampu menciptakan dan menyiarkan karya-karya mereka sesuai dengan agenda kepengarangan masing-masing.
/2/
Musim semi demokrasi, kebebasan, dan keterbukaan multidimensional dan multisektoral yang dibawa oleh gerakan reformasi – untuk mengantarkan bangsa Indonesia memasuki Abad XXI – ternyata seperti cuaca hari yang setiap hari disaksikan dan dijalani oleh manusia di mana pun berada. Tak selamanya matahari bersinar cerah, adakalanya awan mendung menyaput langit tanpa bisa diterka – tidak selamanya cahaya kebebasan dan keterbukaan serta konsolidasi demokrasi Indonesia menampakkan kecerahan dan memberikan harapan indah, adakalanya melintas rintangan atau tantangan yang dapat meredupkan agenda dan harapan ideal reformasi.
Salah satu rintangan atau tantangan yang melintasi tersebut adalah kekonservatifan atau konservatisme. Meskipun tunas-tunasnya mulai tumbuh pada dasawarsa pertama reformasi, kekonservatifan mulai tampak nyata dan terbuka sesudah tahun 2010-an. Memasuki tahun 2010-an sampai sekarang bangsa Indonesia menghadapi tiga macam kekonservatifan, yaitu (demi mudahnya saya sebut) kekonservatifan politik-kekuasaan, agama, dan sosial budaya. Pada saat Indonesia mengalami liberalisasi dan keterbukaan ekonomi-bisnis dan komodifikasi kebudayaan secara luar biasa, bangsa Indonesia malah menghadapi gejala-gejala konservatisme politik, agama, dan sosial. Negara dan/atau non-negara, bahkan persekutuan negara dengan non-negara dapat agen dan aktor perancang dan penggerak ketiga macam kekonservatifan tersebut. Ini mungkin dapat disebut titik-balik kekonservatifan (conservative turn) Indonesia.
Sudah barang tentu, dalam kadar tertentu tiga macam kekonservatifan tersebut berdampak pada ekosistem dan iklim penciptaan dan penikmatan sastra Indonesia. Bahkan liberalisasi (tepatnya merebaknya neoliberalisme) ekonomi-bisnis dan komodifikasi unsur kebudayaan tertentu (budaya pop, budaya wisata, ritual, dan sejenisnya) ikut memberi dampak pada dunia kehidupan sastra Indonesia. Publikasi sastra Indonesia yang tetap bergantung pada media massa cetak terimbas oleh merosotnya tiras dan persebaran media massa cetak, misalnya Kompas, Tempo, Media Indonesia, dan Jawa Pos. Demikian juga migrasi media massa cetak tersebut menjadi media digital belum sanggup menampung dan menyediakan ruang lebih luas dan lebar bagi publikasi sastra Indonesia baik puisi maupun fiksi. Tidak sedikit ruang media massa cetak yang beralih ke media digital kemudian mengurangi, malah meniadakan ruang publikasi sastra Indonesia.
Majalah dan jurnal cetak sastra 20 tahun, lebih-lebih 10 tahun terakhir sudah banyak yang gulung tikar, tutup, dan pingsan. Majalah legenderis Horison yang berjaya sejak awal Orde Baru sudah menghentikan edisi cetaknya, sementara edisi digitalnya kembang-kempis, hidup segan mati tak mau. Demikian pula Jurnal Kalam, Jurnal Sajak, Jurnal Prosa, Jurnal Kritik, dan Jurnal Susastra serta Majalah Majas yang gegap gempita pada awalnya – awal reformasi – sekarang sudah raib – mati dan mati suri berkepanjangan. Media sosial yang sekarang dominan menguasai dan merantai kehidupan sosial orang Indonesia masih menjadi media sekunder, bahkan tersiur bagi sastra Indonesia. Media sosial belum menjadi pilihan utama publikasi sastra Indonesia. Laman dan platform digital juga belum banyak dimanfaatkan potensinya untuk komunikasi dan publikasi sastra Indonesia.
Merebaknya kembali tiga macam kekonservatifan tersebut kadang-kadang juga mengakibatkan munculnya sensor dan razia karya sastra Indonesia (yang dianggap berbahaya) yang beredar dan dijual bebas di masyarakat Indonesia. Demikian juga menimbulkan somasi, gugatan, dan tuntutan dari berbagai pihak atas terbitnya berbagai karya sastra yang dipandang sensitif oleh agen-agen konservatisme. Hal tersebut tentu saja mengganggu iklim dan ekosistem kepengarangan. Tidak sedikit pengarang Indonesia yang enggan menjelajahi dan eksperimentasi dengan pokok persoalan, tema-tema, estetika, dan isi yang mungkin penting secara literer dan antropologis, namun riskan secara sosial politik dan sosial budaya. Misalnya, pokok persoalan dan tema keagamaan dan kekuasaan terkini, bahkan konflik komunal dan kesenjangan ekonomi tak banyak dielaborasi dan digarap oleh pengarang Indonesia. Bilamana mengangkat tema tersebut, pengarang Indonesia menggunakan dan menciptakan siasat estetis dan literer tertentu.
Walaupun demikian sastrawan Indonesia tidak menyerah terutama pengarang yang mulai tampil dan berkarya sesudah tahun 2000-an dan menerbitkan karya sastra yang matang pada kurun 2010-an sampai sekarang. Seolah menolak kekonservatifan yang tampak mulai bangkit kembali di berbagai bidang kehidupan sosial politik dan sosial budaya, sepuluh tahun terakhir sastra Indonesia justru terus berusaha menyuguhkan dan merayakan kebebasan dan keterbukaan tematis dan estetis, bahkan kemerdekaan literer dalam arti luas. Secara tak langsung sastra Indonesia tak hanya berusaha membendung gejala kokonservatifan, tetapi juga membuka dan melebarkan ruang-ruang artistik, estetis, dan geografis secara mengagumkan. Tempat-tempat dan pusat-pusat baru kreativitas dan aktivitas sastra tumbuh pesat di berbagai wilayah Indonesia. Penciptaan dan penerbitan berbagai kategori, bentuk, dan genre karya sastra terus berlangsung di berbagai tempat dan ruang. Demikian juga hadir atau muncul para pengarang dengan mengusung berbagai tema, estetika, dan imajinasi yang beragam.
Tanpa harus mengulas karya mereka masing-masing, saya ingin menyebut di sini beberapa sastrawan Indonesia yang tergolong dalam kelompok yang saya maksud: Andina Dwifatma, Feby Indirani, Ni Komang Mariani, Ratih Dwi Ramadhani, Muna Masyari, Royyan Yulian, Stebby Yulionatan, Felix K Nessi, Mario F Lawi, Dicky Senda, Goody Usnaat, Sasti Gotama, Hans Gagas, Adimas Emannuel, Alfian Dipahatang, Faisal Oddang, Inggit Putria Marga, Erni Aladjai, Eko Poceratu, Raymon Ramosol, Pratiwie Juliani, Mahfud Ikhwan, Sunlie Alexander, Nidu Paras Erlang, Henny Trismaedekanan, Arafat Nur, dan Rio Johan. Linda Christanty, Leila S. Chudori, Laksmi Pamuntjak, Dewi Lestari, Jenar Mahesa Ayu, Gus Tf Sakai, dan Joni Ariadinata yang sudah muncul sebelumnya juga terus berkarya dengan melawan secara simbolis-literer terhadap bentuk dan aspek tertentu konservatisme di luar sastra dan di dalam sastra Indonesia. Mereka merupakan sebagian generasi sastrawan Indonesia terkini yang berkarya tanpa memedulikan rintangan konservatisme politik, sosial, dan agama. Mereka juga berasal dari berbagai tempat dan/atau komunitas sastra di Indonesia serta aktif di berbagai jaringan sastra. Walhasil sepuluh tahun terakhir sastra Indonesia bagaikan merayakan keberagaman literer secara dinamis , yang seakan-akan melawan keseragaman dan ketunggalan yang melingkupinya.
***
** Bahan presentasi dalam konferensi yang dihelat oleh Walailak University Thailand dengan Universitas Negeri Malang Indonesia.
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional. http://sastra-indonesia.com/2021/08/berkelit-dari-perangkap/
No comments:
Post a Comment