Kompas, 9 Juni 2018
Ketika Universitas Indonesia menganugerahi gelar doktor honoris causa, pada 14 Juni 1975, HB Jassin menerima dengan khawatir. Gelar kehormatan dari perguruan tinggi—lembaga dengan otoritas ilmiah itu—jelas bernilai dan bermuatan akademis. Justru itulah yang dikhawatirkan olah Jassin, kekhawatiran yang bercabang ke dua arah.
Pertama, Jassin merasa apa yang telah dia lakukan di lapangan kritik sastra di Indonesia, yang menjadi penyebab ia mendapatkan gelar, dia anggap masih sedikit sekali dan masih jauh dari apa yang disebut ilmiah. Jassin tentu saja merendah dalam hal ini. Sementara itu, seakan-akan berlawanan dengan kekhawatiran pertama, alasan untuk khawatir yang lain bagi Jassin adalah ia justru cemas jika yang ia lakukan menjadi ilmiah. Dalam arti, kata Jassin, hanya bekerja dengan otak.
“Padahal, kesusastraan adalah suara hati dan penyelidikan kesusastraan bukan hanya pekerjaan otak, tetapi terutama pekerjaan hati, yang ikut bergetar dengan obyek penyelidikan dan sebagai penyelidikan harus mengandung serta memantulkan kembali getaran-getaran itu,” katanya, dalam pidato penerimaan gelar yang kemudian diterbitkan dalam buku Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (Yayasan Idayu, Jakarta, 1981).
Hal yang kedua inilah yang saya ingin sebut sebagai “menyelidiki karya sastra seperti Jassin”, yaitu membaca dan menuliskan hasil pembacaan atas karya sastra, sebagai rangkaian penyelidikan ilmiah yang tentu saja mengandalkan kemampuan menganalisis dengan pikiran, tetapi terutama pekerjaan itu harus diimbangi dengan getaran hati, kemampuan menangkap pesona, menangkap getaran jiwa dari karya sastra. Dan hasil penyelidikan itu, dalam esai atau artikel bermuatan apresiasi dan kritik, juga harus bisa menyampaikan kembali getaran-getaran tersebut, selain mendudukkan karya tersebut dalam timbangan etika, estetika, dan logika.
Bagi Jassin, membaca karya sastra, membuat penyelidikan atas karya sastra, adalah menghayati sumber-sumber pengalaman estetis, yaitu karya sastra itu sendiri. Jassin tidak menolak pendekatan ilmiah pada karya sastra. Ujarnya, tentu saja (penyelidikan itu) tidak mengabaikan segi-segi yang obyektif faktual. Akan tetapi, baginya pendekatan yang melulu ilmiah saja akan kering dan sama sekali tidak memuaskan. Yang dirindukan oleh Jassin adalah sebuah hasil penyelidikan yang merupakan pertemuan yang akrab antara obyek yang diselidiki dan subyek yang menyelidiki. “Bagi saya, ini lebih memuaskan karena tampak di dalamnya lukisan diri pribadi juga,” ujarnya.
Apabila kita membaca esai-esai kritik Jassin, terutama yang terkumpul dalam empat jilid buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Gunung Agung, 1962), juga dalam buku-bukunya yang lain, jelas terasa “pertemuan akrab antara obyek yang diselidiki dan subyek yang menyelidiki” itu. Nama-nama dan karya-karyanya benar-benar ia timbang, dudukkan dan dedahkan dengan fakta-fakta sebagai faktor pendukung analisisnya, tetapi ia juga meneruskan getaran jiwa yang ia rasakan.
Sebuah contoh: Ambillah kertas, tuliskan segala apa yang teringat olehmu, yang nyata dan yang samar, kejadian dan khayal, niscaya akan terdapat satu lukisan dari segala pengalaman dan tanggapan. Demikian agaknya Mochar Lubis membisikkan pada dirinya tatkala menulis Tidak Ada Esok. (“Tidak Ada Esok Karangan Mochtar Lubis”, dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II). Itulah yang dirasakan Jassin, ketika membaca novel Mochar Lubis. Jassin saya kira tak melihat persis bagaimana si penulis menulis. Namun, dari karyanya ia bisa membayangkan cara itu. Itulah getaran yang ia tangkap.
Majalah Horison No 10, Tahun XXI, Oktober 1986, memuat wawancara dengan Jassin, dengan semacam kegempitaan menyambut kembalinya sang kritikus. Wawancara Yusuf Susilo Hartono itu dimuat dengan judul “Kembalinya Pedang H.B. Jassin”. Hingga wawacara itu dibuat, Jassin sudah tiga belas tahun berhenti menulis kritik karena ia menerjemahkan Max Havelaar, belajar bahasa Arab, dan kemudian menerjemahkan Al Quran. Pernyataan kembali sang kritikus pada tahun itu adalah pernyataan yang kedua kali setelah wawancara dengan Parakitri yang dimuat juga di Horison empat tahun sebelumnya (Nomor 8, Tahun XVII, 1982). Jassin berazam untuk menulis seri Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai hingga 20 jilid!
“Jadi, masing-masing pengarang yang sudah mapan dari yang permulaan sampai yang terakhir, maksud saya akan dibicarakan satu-satu seperti saya dulu membicarakan Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Nur Sutan Iskandar. Semua. Dan secara tuntas. Saya senang itu. Membicarakan seorang pengarang dengan hanya satu bukunya saya tak pernah puas,” kata Jassin.
Kita tahu Jassin tak pernah menuntaskan tekadnya itu. Saya kira adalah kewajiban kita hari ini untuk meneruskan pekerjaan itu, yaitu menyelidik karya sastra kita seperti yang dia lakukan. Baik metodenya maupun tekadnya untuk mengulas seluruh sastrawan dan karyanya yang sudah mapan.
Jika itu dilakukan, saya kira tak hanya akan ada 20 buku menyusul empat buku Jassin yang sudah kasih banyak bahan untuk memperkaya dan mempermudah pekerjaan kita membina kehidupan sastra kita sehari-hari. Pekerjaan ini penting dan mendesak agar sejarah pencapaian sastra kita terpetakan dengan lengkap dan tak perlu ada lagi orang yang membuat pendakuan-pendakuan murahan memanfaatkan kekaburan peta sastra kita untuk kepentingan yang jauh dari niat membina sastra yang sehat, agung, dan luhur.
***
*) Hasan Aspahani, Jurnalis; Penyair; Editor Haripuisi.com http://sastra-indonesia.com/2020/03/menyelidik-karya-sastra-seperti-hb-jassin/
No comments:
Post a Comment