Monday, August 9, 2021

Menyelidik Karya Sastra seperti HB Jassin

Hasan Aspahani *
Kompas, 9 Juni 2018
 
Ketika Universitas Indonesia menganugerahi gelar doktor honoris causa, pada 14 Juni 1975, HB Jassin menerima dengan khawatir. Gelar kehormatan dari perguruan tinggi—lembaga dengan otoritas ilmiah itu—jelas bernilai dan bermuatan akademis. Justru itulah yang dikhawatirkan olah Jassin, kekhawatiran yang bercabang ke dua arah.
 
Pertama, Jassin merasa apa yang telah dia lakukan di lapangan kritik sastra di Indonesia, yang menjadi penyebab ia mendapatkan gelar, dia anggap masih sedikit sekali dan masih jauh dari apa yang disebut ilmiah. Jassin tentu saja merendah dalam hal ini. Sementara itu, seakan-akan berlawanan dengan kekhawatiran pertama, alasan untuk khawatir yang lain bagi Jassin adalah ia justru cemas jika yang ia lakukan menjadi ilmiah. Dalam arti, kata Jassin, hanya bekerja dengan otak.
 
“Padahal, kesusastraan adalah suara hati dan penyelidikan kesusastraan bukan hanya pekerjaan otak, tetapi terutama pekerjaan hati, yang ikut bergetar dengan obyek penyelidikan dan sebagai penyelidikan harus mengandung serta memantulkan kembali getaran-getaran itu,” katanya, dalam pidato penerimaan gelar yang kemudian diterbitkan dalam buku Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (Yayasan Idayu, Jakarta, 1981).
 
Hal yang kedua inilah yang saya ingin sebut sebagai “menyelidiki karya sastra seperti Jassin”, yaitu membaca dan menuliskan hasil pembacaan atas karya sastra, sebagai rangkaian penyelidikan ilmiah yang tentu saja mengandalkan kemampuan menganalisis dengan pikiran, tetapi terutama pekerjaan itu harus diimbangi dengan getaran hati, kemampuan menangkap pesona, menangkap getaran jiwa dari karya sastra. Dan hasil penyelidikan itu, dalam esai atau artikel bermuatan apresiasi dan kritik, juga harus bisa menyampaikan kembali getaran-getaran tersebut, selain mendudukkan karya tersebut dalam timbangan etika, estetika, dan logika.
 
Bagi Jassin, membaca karya sastra, membuat penyelidikan atas karya sastra, adalah menghayati sumber-sumber pengalaman estetis, yaitu karya sastra itu sendiri. Jassin tidak menolak pendekatan ilmiah pada karya sastra. Ujarnya, tentu saja (penyelidikan itu) tidak mengabaikan segi-segi yang obyektif faktual. Akan tetapi, baginya pendekatan yang melulu ilmiah saja akan kering dan sama sekali tidak memuaskan. Yang dirindukan oleh Jassin adalah sebuah hasil penyelidikan yang merupakan pertemuan yang akrab antara obyek yang diselidiki dan subyek yang menyelidiki. “Bagi saya, ini lebih memuaskan karena tampak di dalamnya lukisan diri pribadi juga,” ujarnya.
 
Apabila kita membaca esai-esai kritik Jassin, terutama yang terkumpul dalam empat jilid buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei (Gunung Agung, 1962), juga dalam buku-bukunya yang lain, jelas terasa “pertemuan akrab antara obyek yang diselidiki dan subyek yang menyelidiki” itu. Nama-nama dan karya-karyanya benar-benar ia timbang, dudukkan dan dedahkan dengan fakta-fakta sebagai faktor pendukung analisisnya, tetapi ia juga meneruskan getaran jiwa yang ia rasakan.
 
Sebuah contoh: Ambillah kertas, tuliskan segala apa yang teringat olehmu, yang nyata dan yang samar, kejadian dan khayal, niscaya akan terdapat satu lukisan dari segala pengalaman dan tanggapan. Demikian agaknya Mochar Lubis membisikkan pada dirinya tatkala menulis Tidak Ada Esok. (“Tidak Ada Esok Karangan Mochtar Lubis”, dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II). Itulah yang dirasakan Jassin, ketika membaca novel Mochar Lubis. Jassin saya kira tak melihat persis bagaimana si penulis menulis. Namun, dari karyanya ia bisa membayangkan cara itu. Itulah getaran yang ia tangkap.
 
Majalah Horison No 10, Tahun XXI, Oktober 1986, memuat wawancara dengan Jassin, dengan semacam kegempitaan menyambut kembalinya sang kritikus. Wawancara Yusuf Susilo Hartono itu dimuat dengan judul “Kembalinya Pedang H.B. Jassin”. Hingga wawacara itu dibuat, Jassin sudah tiga belas tahun berhenti menulis kritik karena ia menerjemahkan Max Havelaar, belajar bahasa Arab, dan kemudian menerjemahkan Al Quran. Pernyataan kembali sang kritikus pada tahun itu adalah pernyataan yang kedua kali setelah wawancara dengan Parakitri yang dimuat juga di Horison empat tahun sebelumnya (Nomor 8, Tahun XVII, 1982). Jassin berazam untuk menulis seri Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai hingga 20 jilid!
 
“Jadi, masing-masing pengarang yang sudah mapan dari yang permulaan sampai yang terakhir, maksud saya akan dibicarakan satu-satu seperti saya dulu membicarakan Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Nur Sutan Iskandar. Semua. Dan secara tuntas. Saya senang itu. Membicarakan seorang pengarang dengan hanya satu bukunya saya tak pernah puas,” kata Jassin.
 
Kita tahu Jassin tak pernah menuntaskan tekadnya itu. Saya kira adalah kewajiban kita hari ini untuk meneruskan pekerjaan itu, yaitu menyelidik karya sastra kita seperti yang dia lakukan. Baik metodenya maupun tekadnya untuk mengulas seluruh sastrawan dan karyanya yang sudah mapan.
 
Jika itu dilakukan, saya kira tak hanya akan ada 20 buku menyusul empat buku Jassin yang sudah kasih banyak bahan untuk memperkaya dan mempermudah pekerjaan kita membina kehidupan sastra kita sehari-hari. Pekerjaan ini penting dan mendesak agar sejarah pencapaian sastra kita terpetakan dengan lengkap dan tak perlu ada lagi orang yang membuat pendakuan-pendakuan murahan memanfaatkan kekaburan peta sastra kita untuk kepentingan yang jauh dari niat membina sastra yang sehat, agung, dan luhur.
***

*) Hasan Aspahani, Jurnalis; Penyair; Editor Haripuisi.com http://sastra-indonesia.com/2020/03/menyelidik-karya-sastra-seperti-hb-jassin/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar