Tuesday, August 10, 2021

SENSIBILITAS BERTRIWIKRAMA TUHAN DALAM SAJAK IBERAMSYAH BARBARY

Hudan Nur *
 
SAYA percaya dengan Iyut Fitra bahwa semakin banyak menulis puisi maka akan terasa semakin sulit. Timbul ketakutan terjadinya pengulangan-pengulangan, entah itu diksi, gaya dan tema. Sehingga semakin tinggi usia penyair maka puisinya akan semakin sedikit, tidak sebanyak  di awal-awal kepenyairan yang masih cair dan mencari. Akibatnya produktifitas menjadi terhambat. Karenanya, boleh jadi Iberamsyah Barbary (IB) yang sebelumnya membukukan sajak-sajak situasinya yang privat ke dalam Serumpun Ayat-Ayat Tuhan juga mengalami keterbatasan produksi, di samping kesempatan untuk memuja kata-kata yang minus.
   
Dalam Asmaul Husna, buku sajak kedua IB ini ada semacam perayaan batiniah yang sepi, menyibak ke jurang kontemplasi diri. Sehingga ada jarak yang mengurai antara Manusia dan Tuhannya. IB berusaha untuk menggapai lebih dalam jurang yang selama ini ia temukan untuk menggali dan terus menggali kejauhan pemaknaan akan dirinya dan Tuhannya lewat sifat yang ternyata sama-sama seimbang.
    
IB relatif berhasil menguak makna nama-nama Tuhan dalam agamanya, yakni Islam menjadi pembuktian atas keseimbangan yang tak hanya ada di alam semesta dan pelakunya tetapi persamaan secara balance dengan penciptanya. Ada warning dalam sajaknya antara lain; ketika Tuhan Maha Merendahkan (Al Khafid) tetapi pembaca diingatkan bahwa Ia juga Maha Meninggikan (Ar Rafi’), kadang Tuhan bisa Memuliakan (Al Muiz) tetapi jangan lupa Ia juga bisa Menghinakan (Al Mudzill). Yang lebih mengerikan adalah bahwa Tuhan itu Maha Penghukum (Al Muntaqim) tetapi Ia juga Maha Pengampun (Al ‘Afuw).
 
    Bisa dilihat dalam penggalan sajaknya, Asmaul Husna halaman 22
    …  
    …
    Terpuruklah dalam, kehinaan membelam
    Jiwa sesak menyimpan malu
    Cermin pecah terserak tajam, menusuk dalam
    Martabat, runtuh silsilah yang dibanggakan selalu
    Hilanglah mahkota di tangan yang tergenggam
    …
    Kalau sudah terpuruk jiwa memudar
    Panjatlah tiang, iman yang telah ditancapkan didataran tinggi
    Teriak keras-keras, didengar orang sekitar
    Sampai hina melebur, menyentuh kaki
    Yakinlah akan keberadaan Kasih Sayang-Nya
    Mengangkat tinggi teriak yang sumbang
    Ketengah pertarungan kembali
   
Jelas sekali dalam sajak Yang Merendahkan ini IB menyampaikan gugu dan duka sungkawa bagi manusia yang hina akan dihinakan, sehina-hinanya tak hanya oleh alam tapi juga Tuhannya. Akan tetapi di epilog sajaknya IB juga menyatakan kalau Tuhan juga akan meninggikannya. Seakan dalam sajak-sajaknya ini IB mengajak kita untuk sama-sama masuk ke jurang kontemplasi yang ia jalani, setidaknya memberitahu kepada pembaca bahwa ketika ada malam ada siang, sisi baik dan buruk, bagian kiri dan kanan, atas dan bawah begitu juga Tuhan dengan nama-namaNya. Begitu juga dengan sajaknya Yang Maha Menghukum halaman 81:
    …
    …
    …
    Jangan sampai kita terhukum
    Ditinggalkan cinta yang bertabura rindu dendam
    Jaga rumah dengan hamparan permadani hijau yang ranum
    Terangi lorong-lorong, kalbu selalu benderang dengan nyala
    Nyanyikan dengan suasana, dengan lagu-lagu rindu yang memelas
    Nyala hukum-Nya sangat tegas
    Gelora cinta-Nya sangat luas
    Pengampunan tidak mengenal batas
    Karena Dia Maha Pengampun  
   
Di setiap ending sajaknya sebagian besar yang berpasangan secara sifat keseimbangan IB menjelaskan makna nama Tuhan selanjutnya. Maka antar satu sajak dengan yang lainnya kalau dipadukan akan menyatu menjadi irama lalu berubah lagu, seperti kesatuan tubuh yang utuh. Dan benar saja, bila analogi Asmaul Husna adalah manusia maka mesti ada tangan kanan dan tangan kiri, sepasang mata, setangkup bibir, dan seluruhnya adalah pasangan untuk menyeimbangkan begitu pula dengan kumpulan sajak IB ini.
   
Hanya saja belum ditemukan perbedaan sajak-sajak IB secara substansi dari kurun waktu puluhan tahun silam baik di kumpulan sajak Serumpun Ayat-Ayat Tuhan dan Asmaul Husna. Ketika sajak menjadi penanda dan pemisah sejarah maka genre menjadi tempat sensibilitas yang murni, dalam artian tidak terpengaruh secara sosial. Sensibilitas ini bisa berubah menjadi transedental sesuatu triwikrama. Ada tiga triwikrama kategori sajak di dunia ini dalam garisan besar yakni; sajak kritik yang memaki-maki, sajak cinta (universal) yang terelukan dan sajak religi yang mendayu-dayu.
   
Sangat disayangkan secara ambivalensi simbolik Kumpulan Sajak Asmaul Husna ini belum ketat menyuguhkan struktur organisasi sajak yang kuat. Bahkan ketika prolog sajaknya di putar ke tengah, atau epilognya di bawa ke tengah paragrap, atau menggabungkan epilog dan prolog di penghujung sajak, niscaya sekali bisa dilakukan. Dan nampaknya tidak merubah pemaknaan sama sekali.
   
Barangkali sajak-sajak IB tersebut adalah hasil pengaruh historis dari epigon penyairnya pada era tahun 70-an. Maka ini akan sah-sah saja. Saya jadi ingat puisi-puisi cinta Pablo Neruda yang katanya “Kita mesti saling cinta ketika yang lain hancur,  berantakan semua.” Nerudalah si penyair subur yang merambah aneka bentuk dan tema. Ia menerima Hadiah Nobel untuk puisi dan hadiah perdamaian Stalin. Ia komunis yang istiqomah dan romantis. Suatu hari, Junta militer Chili, Jendral Pinochet, menjarah rumahnya. “carilah – hanya ada satu benda berbahaya untuk kalian di sini – puisi.” Dan kelak seperti Neruda, IB juga wariskan petitihnya lewat sajak-sajak bertriwikrama Tuhannya, yang tentu saja bertendensi warning!
   
Sekali lagi saya juga percaya dengan Binhad Nurrohmat dan Adin bahwa perpuisian di Indonesia hari ini makin dilegitimasi oleh sesama Penyair melalui antologi, festival, maupun forum. Sehingga kritikus dan pembaca tak lagi ambil bagian. Realitas ini membuat perkoncoan antar penyair menjadi “seni” tersendiri di luar lisensia puitika. Banyak sekali perayaan di era ini, selebrasi sastra dari tahun ke tahun terakhir semakin menjamur. Sesungguhnya selebrasi tanpa tindak lanjut akan menjadi hal yang hambar, karena dunia sastra tidaklah sesederhana karya dimuat atau tidak dimuat, dianggap penyair atau tidak, dianggap sastrawan atau bukan.
   
Sastra Indonesia hari ini mempunyai problematika yang rumit, gawat, dan memprihatinkan. Celakanya tidak semua orang tahu dan ingin tahu. Sangat dinantikan kehadiran penyair-penyair yang tidak hanya memikirkan dirinya sebagai penyair,  namun juga mampu membuka mata dan bersikap terhadap persoalan dunia kesusastraan di Indonesia. Mudah-mudahan dengan kehadiran buku Asmaul Husna, yang bermandikan peringatan-peringatan religi ini dapat berarti untuk resepsi masyarakat, tidak hanya masyarakat sastra. []

*) Pustakawan Rumah Buku Zeusagi. http://sastra-indonesia.com/2021/08/sensibilitas-bertriwikrama-tuhan-dalam-sajak-iberamsyah-barbary/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar