infoanda.com/Republika
Perahu.
Saudagar.
Belayar, dari bandar ke bandar, rumah pecah beribu.
Kamar, tengah menganga, sejarah samudera berdarah luka.
Keduanya tak bisa lagi ditawar, tak bisa lagi diputar, tak pula dapat ditukar.
Perahu.
Bandar.
Bertolak belayar mencari jangkar, saudagar tak sempat lagi menghitung dinar.
Menghitung ringgit, menukar dolar.
Itulah sekelumit sajak Hasan Aspahani berjudul Saudagar, Bandar, Beras Setakar yang dibacakan pada acara Resital sastra Dari Negeri Kata-Kata di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Ahad, (29/1).
Acara yang diselenggarakan Yayasan Panggung Melayu ini diisi oleh Cakap-Cakap Rampai Sastra dan Pembacaan Puisi serta Cerpen dari budayawan dan penyair Kepulauan Riau yakni Hasan Aspahani, Hoesnizar Hood, Machzumi Dawood, Ramon Damora, Samson Rambah Pasir, Tarmizi, dan penyair Jemputan, Asrizal Nur dengan moderator sastrawan Maman S Mahayana.
Sebagai negeri kata-kata, Kepulauan Riau, sejak zaman Raja Ali Haji hingga kini tiada henti melahirkan sejumlah penyair yang berkiprah di tingkat nasional, regional, bahkan internasional. Dengan semangat itulah Yayasan Panggung Melayu dan Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau yang bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta menyemarakkan kiprah sastrawan Kepulauan Riau dalam Panggung sastra Indonesia.
”Tampilnya sastrawan-sastrawan Kepulauan Riau di TIM diharapkan dapat merangsang dan menumbuhkan kreativitas sastrawan generasi berikutnya, di samping sebagai bentuk silaturahmi dengan sastrawan-sastrawan dari berbagai daerah lainya,” ujar ketua penyelenggara, Asrizal Nur.
Pada acara yang cukup meriah dan mendapat sambutan dari masyarakat Kepulauan Riau di Jakarta dan para seniman TIM ini dibuka dengan menyuguhkan pertunjukan kolaborasi musik dan tari dari Teater Makyong, Sanggar Sanggam arahan koreografer Pepy. Pertunjukan yang cukup memukau seakan membawa penonton ke Tanah Melayu nun jauh menceritakan selintas kondisi berkebudayaan di Pulau Bintan tempat Raja Ali Haji melahirkan Gurindam 12.
Selanjutnya penampilan budayawan dan sastrawan Riau, Ramon Damora dengan pembacaan sajak yang diiringi musik berirama blues. Ramon dengan suara yang berat membacakan sajak-sajak bertajuk Surat Jalang, On: Dengan Hangtuah dan Iftitah Hujan. Setelah itu, muncul penyair Samson Rambah Pasir yang membacakan cerita pendek Jenab Makyong.
Dalam pembacaan cerita pendek itu, Samson mengungkapkan tentang kisah tragis TKI yang dianggap pendatang haram dan bahkan ada juga yang disuntik gila di Singapura. Samson tampil dramatis dan cukup membawa penonton seolah mengalami apa yang diceritakan.
Secara bergantian penyair-penyair membacakan sajaknya. Tarmidzi, penyair yang mempunyai Komunitas Rumah Hitam di Batam tampil dengan membacakan sajak berjudul Surat Rumah Hitam Musim Utara. Dalam sajak tersebut Tarmidzi ingin menyampaikan isi hati melalui surat kepada siapa saja. Ia bertanya kepada alam tentang rumah tempat kelahirannya yang indah di mana telah jadi hamparan padang kepiluan dengan pelataran bertulang besi yang gagah dan angkuh.
”Rumah panggung sepanjang kampung, kini telah jadi beton tak berupa dalam minda kita yang purba….hari lalu, kau sempat bertanya tentang air pasang dan kita sama-sama menangkap udang. Kini, bakaunya telah ditebang dan udang kita hilang. Hutan bakau itu talh jadi ladang birahi dari nafsu-nafsu liar tak terhalang…,” teriak lantang Tarmidzi saat membacakan sajaknya tentang rumah kelahirannya dari negeri seberang yang kini menjelma menjadi negeri kata-kata yakni Batam.
Sebagai sebuah kata-kata, penyair kamus Hasan Aspahani lalu tampil membacakan sajaknya bertajuk Saudagar, Bandar, Beras Setakar dengan gaya bercerita sinis tentang beras impor dan tentang betapa susahnya beras di Indonesia sebagai ukuran kesejahteraan suatu bangsa.
”…. Bendera bergambar dinar, ringgit dan dolar. Kita bukan lagi saudagar. Kita terbungkuk-bungkuk menghormat. Di bawah bendera berkibar-kibar. Kita tak punya nilai tukar. Tak paut ke jangkar. Pun tak punya bandar. Tak punya bendera dikibar. Perahu tersuruk di laut paling dasar. Ke surut paling susut. Angin kehilangan layar. Berapa harga beras setakar? Berapa? Harga…beras…setakar?” lirih Hasan sinis menutup sajaknya.
Selanjutnya tampil Maczuhmi Dawood, penyair tertua di antara penyair yang tampil. Menurut Ramon Damora, sulit memosisikan dalam penyair Riau angkatan mana Maczuhmi berada. ”Apakah angkatan penyair Ibrahim Sattah atau Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri,” katanya. Tapi, yang jelas penampilan Maczuhmi masih tampak gagah dan memang ia pun masih terus aktif dan setia pada tanah kelahirannya pulau Bintan tak kala penyair lain meninggalkan kampung halamannya.
Pertunjukan Resital Sastra Dari Negeri Kata-kata ini ditutup dengan penampilan penyair, Hoesnizar Hood yang membacakan puisi berjudul Dongeng Pasir. Dengan suaranya yang bergaung penampilan Hoesnizar terasa khidmat ketika perlahan-lahan Gurindam 12 disenandungkan. Pada saat bersamaan cahaya temaram menyirami panggung dengan diakhiri munculnya film dokumenter sejarah sastra di Kepulauan Riau.
Resital Sastra Dari Negeri Kata-Kata ini, menurut Asrizal, sengaja digarap dalam beragam versi. Dalam setiap pembacaan sajak, puisi maupun cerpen dikolaborasi dengan musik, tari, dan iringan lagu Gurindam 12 yang membuat mungkin sedikit berbeda. ”Cukup memberikan angin baru bagi perkembangan dan perbendaharaan sastra Riau khususnya dan Indonesia umumnya,” jelas dia.
***
http://sastra-indonesia.com/2010/09/resital-sastra-dari-negeri-kata-kata/
No comments:
Post a Comment