Thursday, August 12, 2021

Oligarki dalam Demokrasi

Agus Hernawan
nasional.kompas.com
 
Jang djadi wakilnja rajat didalam itoe raad, jaitoe: Bangsa kita jang toeroet menghamba kepada pemerintah (Pemerintah Kolonial Belanda, pen), alias orang jang tidak merdika dan tidak berani memehak kepada rajat jang soedah beratoesan tahoen menderita kesoesahan. (Marco dalam Volksraad).
 
Apa yang disampaikan Mas Marco dan apa yang tengah terjadi di gedung-gedung Dewan Perwakilan Rakyat kita saat ini menggambarkan situasi yang paralel.
 
Gaji yang tinggi plus fasilitas mewah yang diterima para anggota DPR ternyata tidak membuat mereka sadar pada peran, fungsi, dan kewajiban konstitusional selaku wakil rakyat. Dari lembaga yang menjadi simbol supremasi rakyat itu, kita malah menyaksikan sederet laku pengkhianatan berkali-kali.
 
Laku pengkhianatan itu terkait dengan tiadanya etos distributif yang berhubungan dengan bagaimana menjaga kehormatan. Selain itu, tiadanya etos responsif yang berarti ketidakpekaan dan kurangnya keberpihakan pada permasalahan rakyat kecil. Lebih jauh, hal itu berkausalitas dengan sistem pendelegasian mayoritas-minoritas kita. Ada cacat yang jika dibiarkan berpeluang membusukkan demokrasi.
 
Dengarkan suara rakyat
 
Hakikat demokrasi sebagai sistem politik adalah bagaimana menempatkan pemerintah di alur kehendak rakyat. Karena itu, mereka yang menjadi ”minoritas” lewat apa yang disebut Schumpeter sebagai ”satu pertarungan kompetitif untuk memenangi suara rakyat” seharusnya menjalankan kontrol politik dan sosial agar jalannya pemerintahan tidak bertabrakan dengan kehendak rakyat. Namun, di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya.
 
Mereka yang menjadi ”minoritas” justru mengelitekan diri, seolah dengan bangga mengamini pernyataan Hegel beberapa abad lalu bahwa people lack the wisdom and capacity to govern themselves. Alhasil, mereka pun tidak dihinggapi perasaan bersalah ketika hanya menjadi kerumunan kepentingan yang bekerja untuk melayani diri sendiri, partai, dan kelompok, bukan mayoritas yang diwakili.
 
Dalam kredo yang terkenal, ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, Lincoln menawarkan sistem pendelegasian mayoritas ke minoritas sebagai perangkat institusi pemberdayaan di dalam union. Pemberdayaan adalah kata kunci dalam sistem pendelegasian. Di level pemerintahan subnational, mekanisme pendelegasian idealnya berlandaskan cita-cita pemberdayaan. Ia semestinya dimaknai sebagai upaya mempromosikan demokrasi dengan sinergi antara kehendak dari bawah (bottom up) dan kehendak dari atas (top down).
 
Namun, mekanisme pendelegasian mayoritas ke minoritas di dalam sistem politik kita—yang diberi jempol oleh Barat karena dinilai sangat demokratis—justru tidak mengindikasikan hal itu.
 
Dibungkus biaya sangat mahal, mekanisme pendelegasian kita justru melahirkan demokrasi biaya tinggi tanpa kualitas. Di satu kabupaten kecil di Jawa Timur, misalnya, seorang pemuda tanggung jebolan sekolah menengah atas, bermodal uang ratusan juta rupiah, menikmati empuknya kursi anggota dewan tanpa sedikit pun tahu apa yang harus dikerjakan.
 
Risiko biaya tinggi
 
Demokrasi biaya tinggi (high cost democracy) paling tidak memiliki dua risiko yang mesti diwaspadai. Pertama, ia membuat kepentingan rakyat kecil kehilangan akses dan artikulasi. Mereka yang berada di level bawah tidak mempunyai kemampuan muncul sebagai ”pemain”, tetapi menjadi penonton. Kemungkinan mereka muncul sebagai kelompok penekan (pressure group) pun akan ditolak sebab sudah ada individu-individu dengan kekuasaan konstitusional yang lebih diyakini merepresentasikan kehendak dan kepentingan elite ini. Akibatnya, mereka tetap menjadi massa mengambang, sebagaimana massa pedesaan pada zaman Orba, hidup dalam gerutuk dengan kefrustrasian yang berpotensi meletupkan amuk.
 
Kedua, demokrasi biaya tinggi dapat menghambat penerapan sistem desentralisasi dengan kekuasaan yang tersebar. Distribusi kekuasaan menjadi tidak berkeadilan karena tidak didasari keberimbangan aktor-aktor sosial yang bermain, tetapi terkonsentrasi pada kelompok tertentu. Dampak lebih jauh adalah kejatuhan demokrasi dalam bejana oligarki. Inilah yang dicemaskan Aristoteles ketika dia lebih condong ke seleksi dan bukan pemilihan yang, menurut dia, dapat menjadi pintu masuk kekuatan oligarki dalam demokrasi karena bermodal kekayaan untuk membeli suara pemilih.
 
Sejumlah negara di Amerika Latin yang pernah terjebak dalam bejana oligarki dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita. Rezim oligarki dalam demokrasi telah membuat negara menjelma jadi satu konglomerasi dari perusahaan-perusahaan tanpa nama yang digerakkan tangan-tangan tidak terlihat (Esteva dan Prakash, 2001:157). Sementara di level bawah, seperti ditulis Eduardo Galeano dalam Open Veins of Latin America, ”Kematian akibat kemiskinan demikian mengerikan: setiap tahun, tanpa menimbulkan suara, tiga bom atom Hiroshima diledakkan?”
 
8 Juli 2011

AGUS HERNAWAN Peneliti Studi Advocacy di SIT-Vermont, AS. http://sastra-indonesia.com/2011/07/oligarki-dalam-demokrasi/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar