nasional.kompas.com
Jang djadi wakilnja rajat didalam itoe raad, jaitoe: Bangsa kita jang toeroet menghamba kepada pemerintah (Pemerintah Kolonial Belanda, pen), alias orang jang tidak merdika dan tidak berani memehak kepada rajat jang soedah beratoesan tahoen menderita kesoesahan. (Marco dalam Volksraad).
Apa yang disampaikan Mas Marco dan apa yang tengah terjadi di gedung-gedung Dewan Perwakilan Rakyat kita saat ini menggambarkan situasi yang paralel.
Gaji yang tinggi plus fasilitas mewah yang diterima para anggota DPR ternyata tidak membuat mereka sadar pada peran, fungsi, dan kewajiban konstitusional selaku wakil rakyat. Dari lembaga yang menjadi simbol supremasi rakyat itu, kita malah menyaksikan sederet laku pengkhianatan berkali-kali.
Laku pengkhianatan itu terkait dengan tiadanya etos distributif yang berhubungan dengan bagaimana menjaga kehormatan. Selain itu, tiadanya etos responsif yang berarti ketidakpekaan dan kurangnya keberpihakan pada permasalahan rakyat kecil. Lebih jauh, hal itu berkausalitas dengan sistem pendelegasian mayoritas-minoritas kita. Ada cacat yang jika dibiarkan berpeluang membusukkan demokrasi.
Dengarkan suara rakyat
Hakikat demokrasi sebagai sistem politik adalah bagaimana menempatkan pemerintah di alur kehendak rakyat. Karena itu, mereka yang menjadi ”minoritas” lewat apa yang disebut Schumpeter sebagai ”satu pertarungan kompetitif untuk memenangi suara rakyat” seharusnya menjalankan kontrol politik dan sosial agar jalannya pemerintahan tidak bertabrakan dengan kehendak rakyat. Namun, di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya.
Mereka yang menjadi ”minoritas” justru mengelitekan diri, seolah dengan bangga mengamini pernyataan Hegel beberapa abad lalu bahwa people lack the wisdom and capacity to govern themselves. Alhasil, mereka pun tidak dihinggapi perasaan bersalah ketika hanya menjadi kerumunan kepentingan yang bekerja untuk melayani diri sendiri, partai, dan kelompok, bukan mayoritas yang diwakili.
Dalam kredo yang terkenal, ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, Lincoln menawarkan sistem pendelegasian mayoritas ke minoritas sebagai perangkat institusi pemberdayaan di dalam union. Pemberdayaan adalah kata kunci dalam sistem pendelegasian. Di level pemerintahan subnational, mekanisme pendelegasian idealnya berlandaskan cita-cita pemberdayaan. Ia semestinya dimaknai sebagai upaya mempromosikan demokrasi dengan sinergi antara kehendak dari bawah (bottom up) dan kehendak dari atas (top down).
Namun, mekanisme pendelegasian mayoritas ke minoritas di dalam sistem politik kita—yang diberi jempol oleh Barat karena dinilai sangat demokratis—justru tidak mengindikasikan hal itu.
Dibungkus biaya sangat mahal, mekanisme pendelegasian kita justru melahirkan demokrasi biaya tinggi tanpa kualitas. Di satu kabupaten kecil di Jawa Timur, misalnya, seorang pemuda tanggung jebolan sekolah menengah atas, bermodal uang ratusan juta rupiah, menikmati empuknya kursi anggota dewan tanpa sedikit pun tahu apa yang harus dikerjakan.
Risiko biaya tinggi
Demokrasi biaya tinggi (high cost democracy) paling tidak memiliki dua risiko yang mesti diwaspadai. Pertama, ia membuat kepentingan rakyat kecil kehilangan akses dan artikulasi. Mereka yang berada di level bawah tidak mempunyai kemampuan muncul sebagai ”pemain”, tetapi menjadi penonton. Kemungkinan mereka muncul sebagai kelompok penekan (pressure group) pun akan ditolak sebab sudah ada individu-individu dengan kekuasaan konstitusional yang lebih diyakini merepresentasikan kehendak dan kepentingan elite ini. Akibatnya, mereka tetap menjadi massa mengambang, sebagaimana massa pedesaan pada zaman Orba, hidup dalam gerutuk dengan kefrustrasian yang berpotensi meletupkan amuk.
Kedua, demokrasi biaya tinggi dapat menghambat penerapan sistem desentralisasi dengan kekuasaan yang tersebar. Distribusi kekuasaan menjadi tidak berkeadilan karena tidak didasari keberimbangan aktor-aktor sosial yang bermain, tetapi terkonsentrasi pada kelompok tertentu. Dampak lebih jauh adalah kejatuhan demokrasi dalam bejana oligarki. Inilah yang dicemaskan Aristoteles ketika dia lebih condong ke seleksi dan bukan pemilihan yang, menurut dia, dapat menjadi pintu masuk kekuatan oligarki dalam demokrasi karena bermodal kekayaan untuk membeli suara pemilih.
Sejumlah negara di Amerika Latin yang pernah terjebak dalam bejana oligarki dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita. Rezim oligarki dalam demokrasi telah membuat negara menjelma jadi satu konglomerasi dari perusahaan-perusahaan tanpa nama yang digerakkan tangan-tangan tidak terlihat (Esteva dan Prakash, 2001:157). Sementara di level bawah, seperti ditulis Eduardo Galeano dalam Open Veins of Latin America, ”Kematian akibat kemiskinan demikian mengerikan: setiap tahun, tanpa menimbulkan suara, tiga bom atom Hiroshima diledakkan?”
8 Juli 2011
AGUS HERNAWAN Peneliti Studi Advocacy di SIT-Vermont, AS. http://sastra-indonesia.com/2011/07/oligarki-dalam-demokrasi/
No comments:
Post a Comment