Thursday, August 12, 2021

Balada “Penyair Karosta” di Negeri Korup

Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co.id
 
Bulan April, 38 tahun silam, di Ketanggungan Wetan NJ VI No 165 Yogyakarta, para aktor Bengkel Teater sedang berkumpul, mengelilingi seorang seniman muda. Si seniman kelahiran Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935, itu pun berbaring menerawang. Kawan-kawannya berkumpul di sekelilingnya, berusaha menulis apa yang dia dikte dan ucapkan.
 
Uniknya, setiap pemain mendapatkan dialognya dari cara diktean si seniman itu. Dialog satu bersambung dengan dialog lain. Tiap orang menulis tiap tokohnya. Dialog didikte untuk setiap aktor. Nantinya, seluruh naskah itu akan dikumpulkan, lalu disusun secara bersamaan.
 
Inilah peristiwa unik menjelang pementasan “Mastodon dan Burung Kondor” pada Desember 1973 di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Edi Haryono, salah satu aktor di Bengkel Teater yang juga karib Rendra, mengisahkan cerita tersebut kepada SH, baru-baru ini.
 
“Inilah penulisan yang berbeda dari naskah Mas Willy (panggilan akrab Rendra-ed) yang lain. Waktu itu rumah itu tak ada halaman, jadi kami memakai halaman rumah tetangga,” ungkap Edi.
 
Namun pementasan gagal karena larangan pihak rektorat Universitas Gajah Mada. Edi berkisah, naskah “Mastodon dan Burung Kondor” memang bisa dibaca dalam konteks situasi sosial politik Indonesia tahun 1970-an, di mana partai politik dikerdilkan dan militer mengawasi segala tempat.
 
Rendra dalam naskah tersebut memunculkan seorang tokoh bernama Jose Karosta. Ia adalah tokoh yang mengingatkan pada sosok Ernesto Che Guevara di Amerika Latin.
 
Di tahun 1973, popularitas Che Guevara, sosok yang mendampingi Fidel Castro dalam penggulingan diktator Kuba Fulgencio Batista, memang tengah menanjak dan menjadi idola para pemuda dunia yang menginginkan perubahan. Di naskah Mastodon, Rendra menempatkan kepenyairannya lewat tokoh Jose Carosta, peran penyair di tengah berbagai struktur sosial masyarakat.
 
Politik dan Kebudayaan
 
“Mastodon dan Burung Kondor” mengungkapkan secara implisit suasana hiruk-pikuk politik di sebuah negeri. Karena itu, inisiatif istri Rendra, Ken Zuraida, lewat Ken Zuraida Project untuk mengangkat kembali “Mastodon dan Burung Kondor” ke panggung, tetap aktual.
 
Intelektual muda Anies Baswedan menyebut, pementasan kembali naskah ini menunjukkan bahwa pikiran dan keteladanan Rendra masih diperlukan sebagai inspirasi untuk bangsa ini.
 
Bagi aktivis politik Malari, Hariman Siregar, Rendra adalah penyair yang tak kalah dengan penyair dunia lainnya karena dia menolak kapitalisme dan materialisme.
 
Dia tak suka partai politik semata-mata karena dia tak suka pada formalitas politik. Karyanya di tahun 1970-an adalah karya yang memprotes keadaan negara. “Bagi Mas Willy, nation tak akan jadi nation kalau tak bisa menerima perbedaan,” ungkap Hariman.
 
Sementara bagi budayawan Putu Wijaya, Rendra adalah salah satu keajaiban di dalam hidupnya. Dia mencatat tiga kelebihan pada seorang Rendra, yaitu keberanian untuk melawan, pantang menyerah, mementingkan tradisi, melihat segalanya dari sudut pandang yang lain dan berbeda, juga kegagahan di dalam kemiskinan.
 
Selain itu, papar Putu, energi seorang Rendra justru terletak pada kebudayaannya. Sebagai seniman, memang sebaiknya tak jauh dari tubuh dan jiwa bangsa dan negerinya sendiri.
 
Rendra, dengan karyanya, tak jauh dari jiwa dan tubuhnya. Bila Putu kerap berbicara sebagai orang Indonesia dengan jati diri urban Balinya, Rendra identik dengan kultural Jawanya sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara.
 
Jalan Bisu
 
Sabtu (6/8) lalu, orang-orang berkumpul di areal Bengkel Teater di Citayam. Esok harinya, mereka mengayun langkah kaki Citayam-Cikini, untuk mengenang jalan jauh yang dilakukan Rendra ketika dia masih berada di Yogyakarta, termasuk Ritual Jalan Bisu, dengan rute Cipayung, Depok, ke Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini untuk mengenang mendiang pada 7-8 Agustus 2011.
 
Beberapa aktor seperti Awan Sarwani, Totenk Mahdasi Tatang, Maryam Supraba, dan Cahyo Harimurti pun ikut mendukung pentas yang disutradarai Ken Zuraida tersebut.
 
Dulu, semasa Rendra dan Bengkel Teater aktif di Jogja, “Jalan Bisu” mulai diperkenalkan kepada masyarakat sebagai ungkapan protes atas situasi yang membekap kesegaran hidup bersama. Para anggota Bengkel Teater berjalan kaki dari Ketanggungan ke Jalan Malioboro, dan berkumpul di Alun-alun Utara.
 
Cara protes seperti ini memang ditujukan pada yang berkuasa, namun dengan membisu, yang terjadi justru instropeksi, dialog dengan diri sendiri, dan menahan diri tidak menyiram bensin pada orang-orang sekitar yang memendam bara ketidakpuasan dan kekecewaan.
 
Rendra tak hanya hadir dalam karya biografi penyair Yogyakarta, karya Panembahan Reso-nya yang berbincang tentang Jawa atau Mataram. Tetapi, dia juga mengomentari kekuatan kebudayaan di setiap wilayah Nusantara sebagai bagian dari sistem sosial dan politik kebangsaan.
 
Di awal 2000-an, kepada SH- bersama wartawan senior Peter Rohi- Rendra pernah mengulas sejarah Kerajaan Makassar, dan penentangan wilayah ini terhadap kolonial. Dia menyebut nama Raja Kajao Lali’do, dengan sistem pemerintahannya yang ideal, untuk bahan referensi dalam sistem sosial dan politik di Nusantara.
 
Pendeknya, Rendra ingin berkata bahwa setiap daerah patut digali kekuatan dan pikiran kebudayaannya untuk kehidupan keindonesiaan di masa kini dan mendatang. Melihat Indonesia dari cara pandang setiap provinsi, juga melihat Indonesia dari cara pandang setiap daerah.

10.08.2011  http://sastra-indonesia.com/2011/08/balada-penyair-karosta-di-negeri-korup/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar