Thursday, August 12, 2021

Negara Tanpa Bangsa

Fadly Rahman [1]
 
Bangsa. Kata ini bagi negara sebesar dan semajemuk Indonesia sungguh merupa beban berat jika mengingat kembali pada masa awal kebangsaan itu dicita dan diciptakan.
 
Dibilang berat, sebab jika kembali merefleksi ikhtiar para penggagas kebangsaan –sebagaimana tiap tahun diperingati sebagai Kebangkitan Nasional, kini sering dipertanyakan: sudah terawatkah benar keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa?
 
Indonesia sendiri pada mulanya dibangun oleh pemikiran-pemikiran yang berandil memupus kolonialisme. Namun, tidak demikian dengan feodalisme dan fanatisme (kesukuan, agama, dan kelompok) sebagai mental kolektif yang mendarah daging dan kapan saja bisa mengancam integrasi kebangsaan.
 
Sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20 tatkala kolonialisme berintim dengan budaya politik feodal, menggejalalah penindasan terhadap rakyat. Baron van Hoevell (1847) dan Douwes Dekker (1856) mewartakan betapa penindasan kolonialisme yang berkawin dengan feodalisme penguasa pribumi begitu menderitakan rakyat. Dalam kesaksian Dekker yang dikisahkan dalam Max Havelaar, terpapar tindakan pemerasan, korupsi, dan penindasan kemanusiaan terhadap rakyat oleh bupati Lebak sebagai agen pemerintah kolonial Belanda. Melalui karya Dekker yang mengguncang pemerintah jajahan, pada awal abad ke-20 mata hati dan pikiran para tokoh pergerakan bumiputra terbukakan. Mereka menjadikan cerita dari Lebak itu sebagai salah satu bukti untuk membersihkan borok-borok kolonialisme dan feodalisme yang menindas nilai-nilai kemanusiaan di tanah airnya. Untuk bisa merdeka, dicita-citakanlah sebuah: bangsa.
 
Baik yang berhaluan liberal, islam, maupun komunis tergelayuti berbagai pemikiran yang sama berjaras pada asas kebangsaan. Dari ruang-ruang pendidikan dan bacaanlah mereka menyerap, lalu dijajaki secara nyata dalam gerakan kebangsaan. Meski pada awal abad ke-20 tidak semua tokoh pergerakan bumiputra mengenyam pendidikan tinggi, namun, dari segelintir kaum cendekia mengalir semangat baru yang menjadi tatanan membangun Indonesia. Semangat itu adalah asa berintegrasi. Namun harapan persatuan saat itu pun masih dibayang-bayangi oleh ancaman disintegrasi akibat masih jumudnya pemaknaan atas kemajemukan antaretnis dan golongan, sebagaimana hal itu tampak dari ragam paguyuban kesukuan yang tumbuh subur pada awal abad ke-20.
 
Berkaca pada realitas tersebut, sungguh, bangsa adalah sebuah proses yang belum menjadi dan harus selalu diikhtiarkan keutuhannya. Ikhtiar itu misalnya terbuktikan pada sumpah para pemuda (1928) yang menyatukan utuh: nusa, bangsa, dan bahasa. Tiga unsur ini sebenarnya genial sebagai fundamen membangun kebangsaan, terlebih untuk ukuran Indonesia yang pluralistik. Gagasan yang sebenarnya sudah dirintis tiga tahun sebelumnya dalam manifesto para pelajar di Belanda, di antaranya oleh pemuda Hatta, Achmad Soebardjo, Nazir Pamoentjak, dan Soekiman Wirjosandjojo. Manifesto 1925 itulah yang –seperti dikatakan Sartono Kartodirdjo– memantik ketiga unsur (tanah air, bangsa, dan bahasa) sebagaimana kemudian diikrarkan pada 1928 itu. Ketiga unsur yang diikrarkan itu pun ditubuhkan sebagai konsepsi: berbangsa Indonesia.
 
Tapi, mestilah disadari, bahwa di balik riuhnya gagasan nasionalisme, identitas etnik sudah lebih dahulu ditubuhkan melalui rekayasa pengetahuan para etnolog kolonial sebagaimana terbaca dalam De Volken van Nederlandsch Indië (1920) karya etnograf J.C. van Eerde. Dalam dua jilid buku monografi van Eerde yang mendeskripsikan segala etnik di Nusantara itu terbaca bagaimana pencitraan dibangun lalu ditubuhkan dalam identitas etnik-etnik di Nusantara. Dan hal itu tidak disadari –hingga kini– berandil memecah belah hasrat integrasi. Pada awal abad ke-20 tanda-tanda itu sudah menggejala dengan bermunculannya paguyuban etnik semisal Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Menado, dan Ambon. Cukuplah bukti apa yang oleh Anthony D. Smith dalam The Ethnic Origins of Nations (1986) dikatakan bahwa beberapa konsep bangsa modern (modern nations) bersumberkan pada nilai-nilai etnisitas. Lacakan Smith membuktikan bahwa ethnic core mengisi raga beberapa konsep berbangsa di belahan dunia, sebagaimana bukti itu didapati benar dalam bingkai nasionalisme Indonesia.
 
Apa yang dikatakan Smith mengiang-ngiangi realitas kebangsaan Indonesia yang tetap penuh dipejali spirit etno-nasionalisme yang tidak mudah menjinak, malah berpotensi makin meliar dan meliat menjadi seteru. Malah, kefanatikkan disertai kekerasan bukan semata hanya dalam ranah etnik, namun menjalar pula dalam kehidupan partai politik hingga beragama; sebagaimana bukti itu saat-saat ini acapkali kita saksikan. Betapa merumitnya masalah kebangsaan kita.
 
Maka nyata, kebangsaan adalah unsur-unsur yang saling menjejalin, tidak tunggal. Tugas terberatnya: menjalinnya menjadi satu kesatuan. Pada masa awal kebangkitan nasional (1900 – 1942) tersiratkan bahwa kesatuan itu sejatinya bermodalkan pada nilai-nilai kecendekiaan para tokoh pergerakan yang menginsyafi: bagaimana memahami arti sebuah bangsa dan hidup berbangsa? Soal ini, Sutan Takdir Alisjahbana dalam Kongres Pendidikan di Solo tahun 1930-an dengan bersungut-sungut, berkata: “berilah kami intelek sebanyak-banyaknya.” Takdir benar. Sebab, dari kecendekiaan sosok Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Yamin, dan Natsir-lah, Indonesia kita dipikirkan sebagai sebuah bangsa.
 
Betapa rakyat bahagia bila para pengurus Indonesia dalam seabad lebih Kebangkitan Nasional ini memikirkan perjalanan bangsa sebagaimana tercermin dari pribadi founding fathers yang sederhana, jujur, berhati-nurani, dan mau mendengar suara rakyat. Bukan justru membiarkan negara ini hidup tanpa bangsa.
 
[1] Sejarawan Universitas Padjadjaran.

Biografi Singkat Fadly Rahman: Penikmat buku. Kadang menulis di Kompas dan Republika. Juga peminat sejarah makanan. Pernah menjadi kontributor The Oxford Companion to Southeast Asian Food. Buku hasil riset saya mengenai sejarah rijsttafel telah diterbitkan Gramedia (Juli 2011). http://sastra-indonesia.com/2011/10/negara-tanpa-bangsa/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar