lampungpost.com
Betapa riuh pembicaraan bahwa masyarakat Indonesia hari ini adalah bangsa tanpa karakter. Bangsa besar yang tak mampu menentukan jalan nasibnya sendiri. Bangsa yang kaya dengan sejarah adiluhung tapi telah kehilangan karakter. Lalu, kita membincangkan strategi tepat untuk menciptakan generasi berkarakter.
DARI sinilah esai ini berangkat. Awal Desember 2011 saya mendapat pesan singkat dari Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung (UKMBS Unila). Isinya, undangan pementasan teater untuk mengisi acara Hajatan Teater Lampung (HTL) yang digelar rutin UKMBS Unila. Dalam pesan singkat itu telah ditentukan waktu pementasan adalah 24 Desember 2011 pukul 19.30, tetapi kemudian diubah menjadi 23 Desember 2011.
Mendapat pesan singkat ini, saya langsung menghubungi teman-teman di Sanggar Teater Komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abung Semuli, Lampung Utara, sanggar tempat saya dan kawan-kawan pelajar belajar bersama, berproses untuk mencipta. Undangan tersebut disambut dengan gembira dan bersemangat.
Agaknya, UKMBS telah menjadi magnet yang memiliki daya tarik teramat dahsyat. UKMBS Unila merupakan ruang sekaligus jalan setapak yang kini banyak dipilih para penggiat teater di seantero Lampung untuk menyajikan hasil sebuah proses, tempat berdiskusi dan berbagi kisah dalam proses penciptaan, meskipun tempat dan fasilitas yang ada hanya sederhana. Namun bukankah hal-hal besar selalu lahir dari ruang-ruang yang sederhana?
Akan halnya Sanggar Teater Komunitas Akasia, meskipun berada di daerah yang cukup jauh dari pusat kota, terpencil di antara kebun karet dan kebun singkong yang tumbuh subur, ternyata punya keinginan yang kuat untuk memperlihatkan mereka terus berproses.
Pementasan teater bukanlah olimpiade Fisika yang harus diikuti, bukan pula olimpiade Matematika yang wah atau lomba karya ilmiah yang selalu dinantikan. Bahkan, pementasan teater tidaklah sebanding dengan lomba cerdas cermat tingkat kecamatan sekalipun. Begitulah pemikiran yang tertanam di benak nyaris semua pemangku kebijakan, termasuk para birokrat di sekolah. Oleh sebab itu, mengeluarkan dana yang besar untuk sebuah pementasan teater bukanlah langkah cerdas dan membanggakan. Tapi, untunglah restu sekolah keluar juga.
***
Singkat cerita, Sanggar Akasia pentas di Unila, Jumat, 23 Desember 2011 malam. Para undangan telah hadir, kebanyakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Lampung. Ada juga penyair, sastrawan, teaterwan seperti Ari Pahala Hutabarat, Edi Samudera Kertagama, Iskandar G.B., Yulizar Fadli, dan Oky Sanjaya.
Begitulah naskah Labirin karya Djuhardi Basri yang dibawakan Sangar Akasia terus bergerak menuju akhir. Sekitar satu jam kemudian, pementasan pun usai yang dilanjutkan dengan acara diskusi dan evaluasi pementasan. Saya tidak hendak membahas pementasan ini.
***
Saya tidak terlalu memusingkan segala masukan dan kritikan yang disampaikan, tetapi paling penting bagi saya adalah bagaimana siswa-siswa SMA yang datang dari tempat yang jauh, daerah yang dikelilingi kebun karet dan suburnya tanaman singkong, ternyata mampu menunjukkan hasil proses dengan caranya sendiri. Mereka begitu percaya diri.
Paling tidak, menjadi bukti teater dan sastra mampu membentuk seorang manusia menjadi lebih berkualitas baik jika dibimbing dan diarahkan dengan proses yang tepat. Usai acara malam itu saya melihat begitu banyak senyum di wajah mereka. Mungkinkah mereka telah menemukan dan mendapatkan? Atau ada perasaan lain yang tak mampu saya maknai.
Namun yang jelas, sejak malam itu tergambar rasa percaya diri yang tinggi di wajah mereka untuk mengarungi hari-hari ke depan. Bahkan, mereka berjanji untuk menjadi siswa yang berprestasi. Melihat senyum di wajah-wajah belia itu seusai pementasan, seakan menjadi sebuah perigi, oase tempat saya bisa membasuh segala kepenatan. Sebab belakangan, koran dan televisi begitu banyak mewartakan tentang kekerasan, pencurian, dan berbagai bentuk kriminal lain di negeri ini.
***
Indonesia hari ini, seakan Hanafi dalam roman Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, yang yang malu mengakui takdirnya sebagai pribumi saat jatuh cinta dengan Corrie, putri seorang Belanda, dan akhirnya mati memanggung beban berat: cintanya kandas, dicampakkan dari tanah leluhur, tidak diakui sebagai orang Belanda meskipun ia telah mengubah kewarganegaraannya. Mengenaskan.
Ketika semua tersadar—mungkin karena tidak membaca novel Salah Asuhan—para penguasa pun membuat kebijakan bahwa bangsa ini harus mengembangkan pendidikan karakter melalui sekolah. Celakanya, tak banyak yang paham (terutama pendidik dan instansi pendidikan) apa dan bagaimana sesungguhnya memberikan pendidikan karakter itu. Akibatnya, tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai—kalau tak ingin dikatakan gagal. Lalu apa yang salah dan siapa yang patut disalahkan?
Jika boleh jujur, saat ini kita seperti kehilangan jalan pulang karena gandrung pada sesuatu yang instan danberaroma asing, yang seungguhnya semu. Sekolah-sekolah lebih menghargai siswa-siswi yang mampu meraih nilai tinggi tanpa mempertimbangkan bagaimana ia mendapatkannya. Etika dan norma kearifan lokal telah dilupakan. Adakah hal ini terkait langsung dengan kebiasaan kita yang malas membaca, kemampuan menghargai karya sastra yang rendah (termasuk para guru), dan pemahaman teater yang dangkal?
***
Ah, kita tak mau belajar dari sejarah. Betapa tokoh besar berkarakter negeri ini, Sukarno—mungkin tidak banyak yang tahu—adalah seorang dramawan. Ia juga penulis yang produktif. Termasuk, menulis naskah drama sebagai bagian dari perjuangan. Naskah yang menggambarkan perjuangan dalam rangka merebut kemerdekaan ditulisnya dalam masa pembuangan di Ende dan Bengkulu. Bung Karno bahkan mementaskan drama yang ia buat sebagai pertunjukan teater yang dulu lebih dikenal dengan istilah tonil.
Sebagai pejuang kemerdekaan yang berkali-kali ditangkap dan dibuang, Soekarno telah menulis sebuah pleidoi yang sangat brilian, Indonesia Menggugat (1930) dan risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933). Bukunya yang lainnya yang dahsyat, Sarinah dan Di Bawah Bendera Revolusi. Pidato-pidatonya di berbagai kesempatan telah sanggup melalui bergam ujian zaman. Ia pejuang sejati yang menginspirasi pembebasan, kebebasan, dan kemerdekaan Negara-negara di dunia ketiga; Asia-Afrika-Amerika Latin.
Soekarno memang telah tiada. Ia meninggal dalam sepi dan sunyi. Tapi begitulah pejuang sejati, sanggup menjalani perih luka demi kesejahteraan rakyatnya. Jejaknya di dunia sastra masih bisa dilihat dalam drama-dramanya yang sebagian sudah diterbitkan. Ini membuktikan betapa besar pengaruh sastra dan teater dalam membentuk karakter.
Sebab itu, sudah saatnya sastra dan teater mendapat tempat penting di negeri ini agar bangsa ini kembali bermartabat dan disegani. Alih-alih menciptakan manusia Indonesia yang berkarakter, cara mendidik yang saat ini digunakan ternyata malah melahirkan banyak koruptor yang terus menghisap hak-hak rakyat.
Dengan teater kita bentuk karakter, lewat sastra kita buka cakrawala.
***
*) Anton Kurniawan, pekerja teater lahir di Sinarjaya, Way Tebu, Lampung Barat. Berderma di Sanggar Teater Komunitas Akasia SMAN 1 Abungsemuli, Lampung Utara. /08 January 2012 http://sastra-indonesia.com/2012/01/membentuk-karakter-membuka-cakrawala/
No comments:
Post a Comment