Penulis : Kim Mac Quarrie
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 2010
Tebal : 583 halaman
Peresensi : Sekar Sari Indah Cahyani
lampungpost.com
HARI itu, 24 Juli 1911. Hiram Bingham, seorang penjelajah. Usianya waktu itu tiga puluh lima tahun. Tubuhnya kurus kering. Tangannya menapaki lereng terjal Pegunungan Andes. Di sisi timur pegunungan di Amerika Latin itu, ia menyibak sebuah sejarah yang ranum dibicarakan banyak orang. Tentang kisah Kekaisaran Inca.
Seorang pemandu, Melchor Arteaga, di sebelah Bingham, masih bersemangat menunjukkan beberapa titik yang ditanyakan Bingham. Seorang sersan tentara Peru, Carasco namanya, ikut menemani Bingham. Lokasi reruntuhan Kekaisaran Inca masih jauh di atas. Mendekati awan. Bingham, asisten dosen sejarah dan geografi di Universitas Yale, Amerika Serikat, meraba kain tebal yang membelit lutut hingga pergelangan kakinya. Ia menuruti melakukan itu untuk mencegah gigitan vibora. Ini nama sejenis ular berbisa yang banyak melata di Andes. Bingham masih bersemangat untuk terus menjelajah. Kekuasan Inca yang mencapai lebih dari dua ribu lima ratus mil membuatnya sangat tertantang untuk menyingkap labirin soal suku di tanah Peru itu.
Bingham sejatinya tidak sendiri. Ia ditemani dua penjelajah lain: Harry Foote dan Willian Erving. Keduanya dari Amerika Serikat. Namun, mereka hanya menunggu di sebuah lembah yang teramat landai. Cuma Bingham yang menerabas rimba lebat Andes demi menemukan seriphan histori panjang Macchu Picchu?puncak tua sebagai perlambang khazanah peradaban Inca.
Bingham butuh biaya besar untuk ekspedisi adiluhung ini. Ia harus menjual sisa terakhir warisan orang tuanya untuk mencukupi dana perjalanan. Jumlahnya masih kurang. Untuk menutupinya, ia berharap pada honorarium dari Harpes’s. Ceritanya tentu saja soal ekspedisi itu.
Senarai sejarah yang masih disepakati sampai sekarang ialah Francisco Pizarro meluluhlantakkan konstruksi Kekaisaran Inca. Catatan dari Bartolome De Las Casas pada 15 42 dalam Kehancuran Hindia, paling tidak memberikan gambaran kekejaman “penjahat” ini. Bartolome menulis, “Kekejamannya bahkan melampaui pendahulunya, ketika ia melakukan pembunuhan dan menjarah saat memasuki wilayah itu, meratakan desa dan kota ke tanah dan membantai atau menyiksa dengan gaya paling barbar yang dapat dibayangkan oleh orang-orang yang tinggal di sana. Di seluruh kawasan itu, skala kejahatannya sedemikian tinggi sehingga tidak dapat benar-benar dipahami oleh siapa pun sampai kelak terungkap pada Hari Pembalasan.” (halaman 143)
Jika merujuk pada pelajaran sejarah sejak sekolah menengah pertama, kita sudah disuguhi premis bahwa penaklukan atas suatu bangsa didasari tiga hal pokok: emas, kekuasaan, dan agama. Dalam bahasa Inggris: gold, glory, and gospel. Semua penaklukan pada entitas bangsa pasti berawal dari ketiga hal itu, pun termasuk langkah Pizarro menguasai Inca. Bayangan harta yang terpendam di bawah bumi Inca melenakan seorang Pizarro. Apalagi “sepupu jauhnya”, Hernan Cortez, sudah melakukan lebih dahulu kepada suku Aztec di Meksiko. Sejak ada pembagian daerah perluasan di antara dua kekaisaran besar, Spanyol dan Portugis, aktivitas penaklukan umum dilakukan. Kita yang berada di Indonesia pun mengalami imbasnya. Studi Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah juga menegaskan bahwa faktor agama menjadi item penting dalam penaklukan bangsa besar terhadap suku di banyak benua, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Catatan Hiram Bingham adalah peninggalan sejarah yang amat berguna dalam penulisan buku ini. Dari catatan inilah, Mac Quarrie berhasil merangkai secuil demi secuil informasi soal Inca. Yang menarik ialah Mac Quarrie menemukan banyak versi soal siapa yang “salah dan benar” dalam penaklukan ini. Sebab, ada pula catatan yang memosisikan Spanyol yang notabene bangsa penakluk, pada posisi yang mulia. Ini tidak heran karena bisa saja catatan ini ditulis untuk menyenangkan raja atau ratu mereka. Lagi-lagi faktor harta menjadi alasan utamanya. Barangkali sang ratu mau menghibahkan banyak harta untuk catatan yang membuat Spanyol gemilang dan merendahkan kasta Inca.
Buku ini mungkin tak bakal hadir jika catatan seorang Felipe Huaman Poma de Ayala tak pernah dibikin. Empat ratus tahun lalu, Poma melakukan kerja “jurnalistik” yang cerdas. Poma adalah pribumi keluarga bangsawan yang tinggal di Kekaisaran Inca. Ia menulis hampir seribu halaman manuskrip. Ia sertai dengan empat ratus ilustrasi tangan. Poma berharap catatan itu nantinya dibaca raja Spanyol dan meralat penganiayaan Spanyol di Peru setelah penaklukan. Poma mencatat dengan detail hasil wawancaranya. Di usia delapan puluh tahun, manuskrip itu kelar dibuat. Ia mengirim satu salinan dengan kapal yang berlayar jauh ke Spanyol. Sayang catatan itu tak pernah sampai. Hingga suatu saat seorang peneliti menemukan lembaran itu di perpustakaan Kopenhagen, Denmark. Dari sanalah, cerita itu bermula?
Buku ini sarat informasi soal Inca. Konflik di internal kekaisaran hingga datangnya orang-orang Spanyol hingga penaklukan dan penciptaan peradaban baru di kaki Andes itu. Sayang, naskah dalam buku ini banyak yang salah ketik. Namun, urutan yang berantai dari setiap bab pembahasan menjadikan kekurangan itu tidak terlalu merisaukan hingga kita membaca hari-hari terakhir bangsa Inca.
*) Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. http://sastra-indonesia.com/2010/10/menyigi-sisi-humanisme-sebuah-penaklukan/
No comments:
Post a Comment