Thursday, August 12, 2021

Menyigi Sisi Humanisme Sebuah Penaklukan

Judul buku : Hari-Hari Terakhir Bangsa Inca
Penulis : Kim Mac Quarrie
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 2010
Tebal : 583 halaman
Peresensi : Sekar Sari Indah Cahyani
lampungpost.com
 
HARI itu, 24 Juli 1911. Hiram Bingham, seorang penjelajah. Usianya waktu itu tiga puluh lima tahun. Tubuhnya kurus kering. Tangannya menapaki lereng terjal Pegunungan Andes. Di sisi timur pegunungan di Amerika Latin itu, ia menyibak sebuah sejarah yang ranum dibicarakan banyak orang. Tentang kisah Kekaisaran Inca.
 
Seorang pemandu, Melchor Arteaga, di sebelah Bingham, masih bersemangat menunjukkan beberapa titik yang ditanyakan Bingham. Seorang sersan tentara Peru, Carasco namanya, ikut menemani Bingham. Lokasi reruntuhan Kekaisaran Inca masih jauh di atas. Mendekati awan. Bingham, asisten dosen sejarah dan geografi di Universitas Yale, Amerika Serikat, meraba kain tebal yang membelit lutut hingga pergelangan kakinya. Ia menuruti melakukan itu untuk mencegah gigitan vibora. Ini nama sejenis ular berbisa yang banyak melata di Andes. Bingham masih bersemangat untuk terus menjelajah. Kekuasan Inca yang mencapai lebih dari dua ribu lima ratus mil membuatnya sangat tertantang untuk menyingkap labirin soal suku di tanah Peru itu.
 
Bingham sejatinya tidak sendiri. Ia ditemani dua penjelajah lain: Harry Foote dan Willian Erving. Keduanya dari Amerika Serikat. Namun, mereka hanya menunggu di sebuah lembah yang teramat landai. Cuma Bingham yang menerabas rimba lebat Andes demi menemukan seriphan histori panjang Macchu Picchu?puncak tua sebagai perlambang khazanah peradaban Inca.
 
Bingham butuh biaya besar untuk ekspedisi adiluhung ini. Ia harus menjual sisa terakhir warisan orang tuanya untuk mencukupi dana perjalanan. Jumlahnya masih kurang. Untuk menutupinya, ia berharap pada honorarium dari Harpes’s. Ceritanya tentu saja soal ekspedisi itu.
 
Senarai sejarah yang masih disepakati sampai sekarang ialah Francisco Pizarro meluluhlantakkan konstruksi Kekaisaran Inca. Catatan dari Bartolome De Las Casas pada 15 42 dalam Kehancuran Hindia, paling tidak memberikan gambaran kekejaman “penjahat” ini. Bartolome menulis, “Kekejamannya bahkan melampaui pendahulunya, ketika ia melakukan pembunuhan dan menjarah saat memasuki wilayah itu, meratakan desa dan kota ke tanah dan membantai atau menyiksa dengan gaya paling barbar yang dapat dibayangkan oleh orang-orang yang tinggal di sana. Di seluruh kawasan itu, skala kejahatannya sedemikian tinggi sehingga tidak dapat benar-benar dipahami oleh siapa pun sampai kelak terungkap pada Hari Pembalasan.” (halaman 143)
 
Jika merujuk pada pelajaran sejarah sejak sekolah menengah pertama, kita sudah disuguhi premis bahwa penaklukan atas suatu bangsa didasari tiga hal pokok: emas, kekuasaan, dan agama. Dalam bahasa Inggris: gold, glory, and gospel. Semua penaklukan pada entitas bangsa pasti berawal dari ketiga hal itu, pun termasuk langkah Pizarro menguasai Inca. Bayangan harta yang terpendam di bawah bumi Inca melenakan seorang Pizarro. Apalagi “sepupu jauhnya”, Hernan Cortez, sudah melakukan lebih dahulu kepada suku Aztec di Meksiko. Sejak ada pembagian daerah perluasan di antara dua kekaisaran besar, Spanyol dan Portugis, aktivitas penaklukan umum dilakukan. Kita yang berada di Indonesia pun mengalami imbasnya. Studi Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah juga menegaskan bahwa faktor agama menjadi item penting dalam penaklukan bangsa besar terhadap suku di banyak benua, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
 
Catatan Hiram Bingham adalah peninggalan sejarah yang amat berguna dalam penulisan buku ini. Dari catatan inilah, Mac Quarrie berhasil merangkai secuil demi secuil informasi soal Inca. Yang menarik ialah Mac Quarrie menemukan banyak versi soal siapa yang “salah dan benar” dalam penaklukan ini. Sebab, ada pula catatan yang memosisikan Spanyol yang notabene bangsa penakluk, pada posisi yang mulia. Ini tidak heran karena bisa saja catatan ini ditulis untuk menyenangkan raja atau ratu mereka. Lagi-lagi faktor harta menjadi alasan utamanya. Barangkali sang ratu mau menghibahkan banyak harta untuk catatan yang membuat Spanyol gemilang dan merendahkan kasta Inca.
 
Buku ini mungkin tak bakal hadir jika catatan seorang Felipe Huaman Poma de Ayala tak pernah dibikin. Empat ratus tahun lalu, Poma melakukan kerja “jurnalistik” yang cerdas. Poma adalah pribumi keluarga bangsawan yang tinggal di Kekaisaran Inca. Ia menulis hampir seribu halaman manuskrip. Ia sertai dengan empat ratus ilustrasi tangan. Poma berharap catatan itu nantinya dibaca raja Spanyol dan meralat penganiayaan Spanyol di Peru setelah penaklukan. Poma mencatat dengan detail hasil wawancaranya. Di usia delapan puluh tahun, manuskrip itu kelar dibuat. Ia mengirim satu salinan dengan kapal yang berlayar jauh ke Spanyol. Sayang catatan itu tak pernah sampai. Hingga suatu saat seorang peneliti menemukan lembaran itu di perpustakaan Kopenhagen, Denmark. Dari sanalah, cerita itu bermula?
 
Buku ini sarat informasi soal Inca. Konflik di internal kekaisaran hingga datangnya orang-orang Spanyol hingga penaklukan dan penciptaan peradaban baru di kaki Andes itu. Sayang, naskah dalam buku ini banyak yang salah ketik. Namun, urutan yang berantai dari setiap bab pembahasan menjadikan kekurangan itu tidak terlalu merisaukan hingga kita membaca hari-hari terakhir bangsa Inca.

*) Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. http://sastra-indonesia.com/2010/10/menyigi-sisi-humanisme-sebuah-penaklukan/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar