Thursday, July 15, 2021

Teater Realis (di) Surabaya

Rakhmat Giryadi
 
Menjawab ‘tantangan’ Dheny Jadmiko (Kompas, Kamis 10 April 2008), agar teater Surabaya kembali ke (genre) realis, sungguh tidak mudah. Untuk menjawab tantangan itu perlu dirumuskan pengertian antara teater realis di Surabaya dan teater realis Surabaya. Kedua rumusan ini memiliki makna yang berbeda dan konsekwensi yang berbeda pula.
 
Teater realis di Surabaya, memiliki ruang yang lebih fleksibel. Karena yang dimaksud teater realis di Surabaya (bisa) berarti peristiwa teater bergaya realis di Surabaya. Peristiwanya bisa kapan saja, dimana saja, dan tentunya tanpa merujuk pada fenomena tertentu yang terjadi di Surabaya.
 
Teater realis di Surabaya juga berarti sebuah kelompok teater sedang memainkan naskah-naskah realis misalnya dari Hendrik Ibsen, Anton P Chekov, dan Eugene O`Neill, Abu Hanifah, Armijn Pane, Usmar Ismail, Utuy Tatang Sontani, Trisno Sumardjo, Motinggo Busje, B Sularto, WS Rendra, Putu Wijaya, dll, bertempat di Surabaya.
 
Dalam hal ini sebuah kelompok teater hanya merekontruksi (peristiwa) naskah yang sudah ada dalam satu pertunjukan. Kelompok teater hanya mempresentasikan naskah dengan sedikit aktualisasi tema di dalamnya. Dalam peristiwa ini penonton hanya menyaksikan, kehebatan pemeranan, penyutradaraan, dan tentu kehebatan well made play-nya.
 
Sementara itu teater realis Surabaya, memiliki pengertian yang lebih khusus. Secara ontologis realis bisa merujuk pada pemahaman filsafat realisme atau konsep drama realis, atau juga merujuk suatu fenomena sosial. Sementara Surabaya, bisa merujuk pada pemahaman ruang sosial, dan entitas budaya. Teater realis Surabaya memiliki kekhasan dalam konsep teaternya.
 
Surabaya, bukan saja dipahami sebagai letak geografis tetapi juga sebuah medan sosial yang menjadi bagian dari proses (obyek) pertunjukan teater itu sendiri. Surabaya menjadi `laboratorium` penelitian atas pertunjuakan yang akan disajikan. Surabaya menjadi entitas budaya yang tak terpisahkan dengan pertunjukan.
 
Pada bagian yang kedua ini jelas teater tidak saja sebuah peristiwa di atas panggung belaka, tetapi telah menuklik pada pemahaman atas realitas sosial. Kerja teater tidak hanya merekontruksi naskah yang sudah tersedia, tetapi merekontruksi peristiwa sosial menjadi sebuah tema pertunjukan.
 
Seperti diketahui lahirnya teater realis di Barat dilatari semangat studi ilmu pengetahuan dan eksperimen terhadap dunia aktual. Semangat ilmu pengetahuan mendorong dramawan realis menjadi pengamat yang obyektif. Kelompok teater dituntut jujur, obyektif, teliti, rinci dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan, termasuk kebobrokan yang terjadi dan dialami pengarang maupun sebuah kelompok kerja teater. Secara sadar mereka menyajikan fakta-fakta dan mendorong penonton untuk berpikir kritis.
 
Realisme merupakan cara pengamatan yang khas terhadap apa yang tampak sebagai realitas. Titik beratnya drama ini terletak pada bahasa yang digunakan, pola gesture, situasi, dan adegan-adegan yang dapat dijumpai di dunia nyata. Menurut Kernodle, drama realis bertujuan menciptakan ilusi realitas. Di sini penonton dapat lupa, bahwa dunia nyata yang ada di atas pentas sesungguhnya hanyalah drama.
 
Sekarang pertanyaannya, apakah para pekerja teater di Surabaya memiliki tradisi seperti saya sebutkan di atas?
 
Tantangan Dheny, membawa konsekwensi yang sangat luas. Karena mau tidak mau, harus berani membongkar `tradisi` teater di Surabaya yang menurut Dheny lebih banyak mengadobsi teater eksperimennya Grotowsky. Begitu juga teater di Surabaya sendiri tidak memiliki tradisi menulis. Padahal kelahiran teater realis di Barat diiringi dengan tradisi menulis dan cara berpikir empiris.
 
Hemat saya, teater kita punya cara pandang sendiri dalam menyampaikan pandangannya terhadap masalah fenomena sosial maupun fenomena-fenomena lainnya. Cara pandang itu bisa kita lihat pada seni pertunjukan tradisi kita.
 
Kita punya seni pertunjukan, kentrung, jaranan, tayuban, wayang, ketoprak, ludruk, Srimulat yang dalam seni pertunjukan ini, realitas sosial tidak lagi menjadi teks verbal, tetapi bisa menjadi kidungan, tembang, dongeng, dan lain sebagainya yang lebih mirip dengan konsep realisme epiknya, Bertolt Brecht.
 
Puncak dari realisme adalah teater epiknya Bertolt Brecht. Dalam teater epik penonton mendapat konsep realisme yang diperluas, sehingga mereka berpikir tidak hanya satu realisme saja. Dalam epik teater yang paling menonjol adalah setting-decoration yang lebih ringkas, bahkan simbolik, dan memiliki fleksibilitas ruang yang tak terbatas.
 
Dalam pementasannya, kadang tokoh menggunakan topeng, nyanyian, pidato, berdialog dengan penonton. Tidak jarang teater epik juga memanfaatkan teknologi, seperti slide-proyektor, film, dan komputer grafis.
 
Teater epik mampu menampilkan hubungan yang lebih luas, historik, politik, dan ekonomi, berbeda dengan realisme yang konvensional. Dalam hal ini kita bisa melihat teater karya, Putu Wijaya (Mandiri), N Riantiarno (Koma), WS Rendra (Bengkel Teater), Arifin C Noer (Kecil). Sementara realisme konvensional kita bisa melihat karya-karya Teguh Karya (Populer).
 
Inti dari jawaban tantangan Dheny adalah, kita perlu kembali pada akar budaya sendiri sebagai bagian dari proses penciptaan teater. Hemat saya, tidak menariknya teater di Surabaya bukan masalah genre teater yang digunakan, tetapi masalah lemahnya ‘baca-tulis’ yang belum mentradisi pada pekerja teater di Surabaya. Disinilah, kita sering melihat pertunjukan yang tanpa rujukan yang jelas. ‘Co gito ergo sum, Rek!’
***

http://sastra-indonesia.com/2009/01/teater-realis-di-surabaya/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar