Friday, July 16, 2021

SEHELAI PUISI DI JALAN INI

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Suatu ketika, sebuah kendi di dalam dadamu meneteskan air. Tepat ketika dengan dahaga menyambut duka yang tiba. Tapi pada gerimis kecil dalam puisi ini, tiada henti yang dinanti.
 
Suatu ketika, lampu-lampu dalam mimpi kotamu dipadamkan. Tepat ketika matahari mengirimkan debu waktu. Ada selembar surat yang melayang tanpa alamat, tergeletak di tepi jalan itu. Entah berapa saat sudah, musim-musim menghuni abad, dan gemuruh selalu berderu terus berderu dalam dadamu.
 
Suatu ketika, segala kehilangan hanya sebuah kemungkinan. Dan segala kemungkinan menjelma pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah meminta jawaban. Tepat ketika malam membawakan sebuntal mimpi, lelah dan gelisah istirah dalam desah yang entah hingga pukul berapa.
 
Dan segala yang telah kau persembahkan, suatu ketika menjelma sekuntum bunga. Padang-padang kerinduan. Mata air-mata air pencerahan.
 
Tepat ketika kita bercerita perihal sejarah, kenangan berhujan, dan mata yang selalu menyimpan awan. Bagai kembali ke dalam waktu: meja-meja kerja, jendela berdebu, dan yang membiru di dalam rindu.
Musim-musim mengabadikan yang hilang, melewati tikungan jalan di dalam ingatan samar yang gemetar.
 
Percayalah, bisik seseorang. Suatu ketika, segala luka-derita menjelma bunga sepatu yang merahnya semerah senja. Duka hanya selintas, berkelebat di jalan itu, tapi menyisakan ingatan yang tak pernah terselesaikan. Gunung kehendak. Sungai usia. Batu-batu tenggelam di situ, seangkuh rinduku.
 
Surat-surat tanpa alamat, foto-foto, catatan-catatan, sepatu, buku-buku, rak-rak berdebu, menceritakan kita yang dikunyah ketidakpahaman-ketidakpahaman dalam waktu. Ada yang menghuni di balik jendela yang selalu terbuka ketika senja, berdiam dalam kekal duka. Tak dapat diterka sebelum kata-kata.
 
Di petang yang basah, kau kembali kutemui dalam tak ada. Halaman pohon mangga. Ruang tamu yang berdebu. Kesadaran menjelma ke balik selambu. Laksana hujan yang luruh di jantung lagu jalanan penjelang malam yang diperdengarkan entah oleh siapa.
 
Dari sisi mana lagi aku mesti kembali? Sebab di segala sudut segala, cuma kamu belaka.
 
Kita memahami sunyi yang menciptakan puisi dari kata yang kadang tak dimengerti. Kita kembara, mencari apa yang tak pernah ada. Atau menemukan kembali segala yang pergi di tengah ladang musim hujan. Menemukan yang mendesah sebelum kata, yang tegak sebelum kehendak.
 
Harapan sederhana. Sayap camar, pohon-pohon cemara. Pelabuhan ikan yang seringkali sendiri, seperti nelayan. Bahunya dibakar matahari. Menjaring waktu yang berwarna ungu pada pintu yang tak selalu gaduh.
 
Pada petang yang gelisah. Kau selalu kuhikmati, bagai menanam jeruk di kesuburan ladang rindumu. Jambu biji dan daun-daun sirih. Jambu air dan musim hujan berkisah tentang kembara-kembara, kemudian menghapusnya kembali di muka bumi dengan muskil gerimis yang manis. Bunga-bunga turi, suara-suara yang baka.
 
Kita perlakukan derita jadi bunga. Mengaduk secangkir air mata menjadi kopi. Untuk mengerti cara mendiami sunyi dengan rasa terima kasih dan seiris roti.
***
 
Berangkat senja. Orang-orang berlalu. Warna waktu. Langit-langit jiwa. Segala kelana meniru rindu. Menjelma luruh. Dingin dari angin, perih dari sunyi, derita tanpa air mata, duka tak bisa berkata-kata.
 
Dan berangkatlah senja. Desah yang mengasing, mendatangi lagi ruang hati dengan ketabahan bumi. Percakapan-percakapan bagai dihentikan. Kembara laksana segaris waktu di pipi usia. Bahagia tanpa tertawa.
 
Harum bumi dan daunan sehabis hujan. Rahang dari lautan. Perjalanan.
 
Berangkat senja, renung telah menggunung, semesta tubuh terurai dari bisu, menggelantung murung. Berangkat pun senja, mau pulang pada malam yang menebal. Detak sepi merias diri, ada yang menjelma dan terus melintas. Sepotong bayangan, diam mencuri gagasan. Dan jaman terus berkebutan meninggalkan tiap-tiap kecemasan. Kita memberikan penawaran terhadap tiap penderitaan. Seperti kesabaran.
 
Alangkah jauh perjalanan ini. Angin, kabut jalan. Mata yang berawan. Jarum arloji jatuh di gelung cemas dan gundah-gulana. Gerimis. Malam memandangku dengan lampu-lampu kekuningan. Wajah-wajah pucat dan tangan-tangan yang lembayung.
 
Sebentar lagi kita berganti tempat dan warna, merubah singgah dan menyertakan kenangan, meninggalkannya jauh dan lengang. Juni meleleh dalam hujan. Harapan-harapan yang jauh dan berkarat dalam kesunyian. Aku ingin bermimpi menulis puisi di tepi danau senja hari. Masih mungkin lagikah kita kembali mengganti jalan pulang, membungkus baju-baju, mengemasi ingatan, menata perabot-perabot, dan menciptakan kembali kenangan-kenangan?
 
Tapi bulan telah meleleh ke balik mendung, menjelma pertanyaan. Kita akan mendiami kerinduan, lalu memaketkan pertanyaan-pertanyaan panjang tanpa alamat dan tujuan. Harapan memfosil dalam puisi, bunga yang putih, dan sunyi menempel di jarum-jarum arloji.
 
Ada desah yang agung, kekasihku. Pandanganmu yang dalam, bagai pandangan seekor lembu. Tatapan berhujan. Dan mata air yang mengalir, menciptakan sehelai sungai yang mungil di situ.
 
Hujan tiba. Menegur kesah. Sebab luka ke tiap kata. Adakah ia yang kau namakan derita, membawa cerita tak kunjung pada.
 
Lewati musim bunga, sungai-sungai usia. Angin menggoda waktu, menyentuh ujung hidungmu.
 
Kota-kota berderai gerimis. Jendela-jendela angin yang tipis. Januari demi Januari menguntumkan bunga dalam dadamu. Rindu kandas di alis pintu. Tapi di sana kegaduhan pun ditidurkan, seperti kelelahan yang tak terjelaskan.
 
Karang laut yang tegar, gelombang bergetar. Menculik hatimu ke palung waktu. Bersembunyi di balik rindu. Mendesah dalam keagungan yang tak pernah selesai dikenangkan.
 
Rahang pertanyaan dan badai pergantian. Derita dan jenaka. Bermuara dalam kata, bercerita desah manusia dari segenap sua. Dari segala kembara. Dari segala dera, dari segala yang tak kunjung ditemukan batasnya.
 
Sebab bunga. Berlayar kembara. Menyindir petaka. Dalam hujan malam-malam, dan di lubuk sajak ini, yang tiada senantiasa menjelma.
 
Akhir bulan. Dan kunang-kunang yang beterbangan di dalam gelap. Pada mimpi. Hari-hari yang tak dimengerti. Perih di jarum arloji.
 
Tapi lampu-lampu kota. Bagai menyepuh segala keluh, mengekalkan ingatan. Mereka yang pernah memandang hujan dalam desah penantian. Percintaan kita, kesunyian dan duka-lara kita. Sejarah dan segala kepalsuan kita. Batu-batu. Kepergian demi kepergian. Malam terbenam di antara dinding-dinding asing. Dingin. Dan berdebu selalu.
 
Bangku-bangku itu. Juga rindu. Tetapi dalam kota, orang-orang terjebak jalan raya. Kerja dan makan. Suara-suara teriak. Juga ramai di dalam dada. Persenggamaan purba. Kita mengais sisa dari nestapa. Dari yang hilang dengan sangat tiba-tiba.
 
Orang-orang beranak-pinak bagai ternak. Akal-pikiran diproduksi dalam mesin uang dan wabah , tagihan bulanan, politik menjelma gir dan mesin senso.
 
Namun dalam hujan. Kau kuimpikan, wahai mata yang teduh. Mata yang dalam, yang menyimpan pandangan mata seekor lembu. Dan rindu. Bagai membawa serta ransel dan kopor tua dari dalam peta masa kecil manusia. Dalam desahmu yang agung, malam pun terus dibenamkan ke dalam jantungku.
 
Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/07/sehelai-puisi-di-jalan-ini/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar