Friday, July 16, 2021

Siapa Bilang VOC Bukan Penjajah?

Muhammad Subarkah
Republika, 11 Juli 2011
 
TAK cukup menjarah dengan VOC, Pemerintah Belanda juga meminta uang sebesar 1.130.000.000 dolar AS sebagai pengganti pengakuan kedaulatan atas Indonesia.
 
Pada suatu siang di sekitar tahun 1918 beberapa orang tengah makan di ruang tengah Ketua Syarikat Islam, Umar Said Cokroaminoto, yang terletak di Peneleh Gang 7, Surabaya, sambil menyantap hidangan sekaligus meresapkan pembicaraan politik. Soekarno yang saat itu remaja duduk bersama mereka. Saat itu, Alimin dan Muso juga ikut makan bersama.
 
“Saat itu aku sempat bertanya dengan nada pelan. Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?” kata Soekarno dalam buku biografinya yang ditulis Cindy Adams. Suasana sesaat hening. Pak Cokro sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya bersuara menjawab pertanyaan. “Anak ini selalu ingin tahu,” kata Pak Cokro sembari kemudian meneruskan pembicaraannya.
 
“De Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perkumpulan Dagang India Hindia Timur, mengeruk-atau mencuri-kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahun untuk memberi makan Den Haag,” tegas Pak Cokro.
 
“Apa yang tersisa dari negeri kita,” tanya Soekarno, dengan nada lebih keras. Alimin kemudian menjawab, “Rakyat tani kita yang bekerja mandi keringat mati kelaparan karena hanya mendapat penghasilan sebenggol sehari.”
 
“Kita menjadi bangsa kuli di antara bangsa-bangsa,” Muso kemudian ikut menyela pembicaraan. Pak Cokro kemudian menerangkan panjang lebar mengenai arti penjajahan. Menurut dia, syariat Islam tidak membenci bangsa Belanda karena yang dibenci sistem pemerintah kolonialnya.”
 
Percakapan para tokoh bangsa itu kiranya kini perlu diceritakan kembali. Mungkin dahulu tak terbayangkan bahwa Indonesia bisa lepas dari pemerintah kolonial Belanda. Tapi faktanya, seratus tahun kemudian banyak yang lupa dengan sosok VOC tersebut. Bahkan, belakangan kini ada anggapan bahwa VOC hanya sekadar kongsi dagang. VOC bukan penjajah!
 
Persoalan sosok VOC itu pada awal Mei silam sempat diseminarkan secara serius. Pemicunya adanya pidato mantan presiden BJ Habibie dan sebagian kalangan lainnya yang menyatakan kondisi Indonesia saat itu mirip dengan suasana kolonialisme era VOC.
 
“Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus membeli jam kerja bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu ‘VOC dengan baju baru,'” kata Habibie dalam pidato memperingati hari Pancasila di Gedung Parlemen (1/6).
 
Menyambut pidato itu, bara soal sosok penjajahan baru kini semakin tersingkap ke publik. Beberapa peminat sejarah kemudian mendiskusikannya di perpustakaan pribadi Fadli Zon yang berada di kawasan Pejompongan, Jakarta. Saat itu, terjadi diskusi yang serus. Dan, benar saja ada sebagian pihak yang menyatakan VOC yang berdiri pada 20 Maret 1600 adalah hanya sekadar kongsi dagang.
 
Peneliti sejarah Batara R Hutagalung mengakui, bagi sebagian besar rakyat Indonesia tidak dapat dibedakan apakah yang menjajah adalah VOC ataukah penerusnya, yaitu Pemerintah India (banyak orang menyebut Hindia Belanda atau Nederlandas Indie. VOC yang biasa disebut Kumpeni, jelas dipandang sebagai penjajah. Namun, ada sejarawan Indonesia yang mendukung pendapat konsevatif Belanda yang mengatakan bahwa VOC adalah perusahaan dagang biasa atau bukan penjajah.
 
“Apalagi di Belanda di sana banyak orang yang menilai zaman VOC sebagai zaman keemasan (de gouden eeuw). Bahkan, di website Kementerian Luar Negeri Belanda, di bagian sejarah VOC juga dinyatakan sebagai zaman keemasan,” kata Batara.
 
Menurut Batara, memang pada awalnya orang-orang Belanda datang ke nusantara dengan maksud berdagang, terutama membeli rempah-rempah dan kemudian menjualnya ke Eropa. Pada waktu itu, rempah-rempah sangat mahal harganya di Eropa. Bahkan, di Jerman, julukan orang kaya pada saat itu disebut sebagai seorang si-Pfeffersack (kantong merica).
 
“Nah, para pedagang itulah kemudian mendirikan perusahaan dagang VOC. Yang luar biasa dalam pemberian kewenangan itu, Pemerintah Belanda pada 1602 memberikan kewenangan yang sangat besar layaknya suatu negara (mendapat hak oktroi). VOC mendapat hal memiliki uang sendiri, tentara, dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Salah satu buktinya adalah penyerangan VOC terhadap Jayakarta pada 30 Mei 1619. Ini jelas suatu bentuk penjajahan,” tegasnya.
 
Selain menyulut peperangan dan membuat aksi pembantaian penduduk di banyak wilayah, lanjut Batara, bukti VOC penjajah adalah perilaku kongsi Belanda ini sebagai agen pemasok budak. Pada 1642, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia), VOC meresmikan adanya perbudakan. Dan, semenjak itulah hingga lebih dari 200 tahun kemudian, Belanda menjadi pedagang budak terbesar di dunia. Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun mereka didatangkan dari luar Jawa sebagai tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda. “Para budak itu, misalnya, berasal dari pulau Banda.
 
Pada 1621, tercatat ada 883 orang (176 tewas dalam perjalanan) ketika dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak. Bahkan, antara tahun 1670-1699, lebih dari separuh penduduk Batavia adalah budak!”
 
Sementara itu, sejarawan DR Harto Juwono menyatakan hal senada. Menurut dia, adanya pemberian hak oktroi dari penguasa Belanda kepada VOC, pada saat itulah sebenarnya VOC telah meninggalkan fungsi utamanya sebagai kongsi dagang. Landasan legalitas ini kemudian mendorong badan usaha ini ke arah suatu bentuk lembaga kekuasaan yang lebih menggunakan dominasi politik daripada kekuatan modalnya. Bahkan, sosok VOC sebagai penjajah sudah terlihat semenjak 40 tahun setelah pendiriannya.
 
“Hak oktroi menjadi sumber legalitas pelimpahan kewenangan politik. Ini karena VOC siap memasuki ranah pertarungan politik dan militer daripada kompetisi ekonomi yang selalu bisa dipatahkan dengan kekuatan militer dan diplomatiknya,” kata Harto.
 
Peninggalan buruk dari VOC, selain mewariskan sistem perbudakan dan aksi kekerasan, kongsi dagang ini juga meninggalkan jejak kelam sebagai cikal bakal perilaku korup birokrasi Indonesia saat ini. Menurut Harto, pada waktu VOC berkuasa, saat itu kongsi dagang ini berhasil menciptakan oknum-oknum pejabat yang secara fisik, namun secara idealisme adalah sebagai entrepreneur. Pemikiran mencari untung sebagai pedagang di kalangan pegawai VOC dengan memanfaatkan sistem hubungan kekuasaan yang dibangun ini, menjadi cikal bakal utama tindak pelanggaran korupsi, pemungutan liar, penyelundupan, dan sebagainya.
 
“Situasi ini terjadi bersamaan dengan melemahnya sarana kontrol yang memiliki badan usaha ini. Penyimpangan itu semakin tumbuh subur dan mengakibatkan salah satu faktor yang mendukung kebangkrutannya, dan kelak akan terus berlangsung di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda,” jelas Harto. VOC kemudian bubar pada 31 Desember 1799. Setelah itu, kekuasaan kolonial langsung diambil alih oleh Pemerintah Belanda.
 
Namun, meski kekayaan nusantara sudah dirampok habis-habisan, sifat rakus pemerintah kolonial terus berlangsung. Soekarno ketika menjabat sebagai presiden pada penghujung 1949 kembali merasakannya secara konkret. Pemerintah Belanda meminta uang sebesar 1.130.000.000 dolar AS sebagai pengganti pengakuan kedaulatan atas Indonesia. Uang ini adalah utang Pemerintah Hindia Belanda. Uang sebesar ‘gunung’ itu nantinya digunakan sebagai dana rehabilitasi negeri Belanda yang remuk redam akibat dirajam amuk Perang Dunia II.
 
Saat itu, Soekarno pun merasa geram, tapi tak bisa berbuat apa-apa. “Kami setuju membayar utang Pemerintah Hindia Belanda itu. Sungguh tak jujur tuntutan Belanda, membebani suatu negeri bekas jajahannya yang terbelakang dengan jumlah yang demikian besar!” tegas Soekarno. Nah, masihkah ada yang tak percaya VOC bukan penjajah?
***

http://sastra-indonesia.com/2011/07/siapa-bilang-voc-bukan-penjajah/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar