Saturday, July 17, 2021

Ghirah Sastra Tionghoa Terus Menyala

Lan Fang *
jawapos.com
 
China adalah negara besar yang dikenal dengan timbul tenggelamnya banyak kerajaan dan dinasti. Juga karena kesengsaraan dan kemiskinan akibat perang yang berlarut-larut selama berabad-abad. Selain itu, yang penting dicatat dari China adalah kearifan yang diwariskan para filsufnya melalui berbagai macam bentuk karya sastra. Salah satunya adalah puisi.
 
Sejarah sastra dunia menahbiskan China sebagai negeri puisi. Bila hendak diteliti, selama masa Dinasti T’ang (618-906) saja sudah tercatat kira-kira 2.200 penyair yang menghasilkan lebih dari 50.000 puisi.
 
Pada waktu itu, perkembangan puisi di China mencapai puncaknya dengan kelahiran penyair-penyair besar seperti Wang Wei, Li Po, Tu Fu, dan Po Chu I. Bahkan, Po Chu I pernah menjabat ketua dewan pada 841. Karena itu, dia juga dikenal sebagai politikus sekaligus penyair yang menguasai seni kaligrafi, melukis, dan pandai bermain catur.
 
Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa China berikut keturunannya pun tersebar di seluruh dunia. Termasuk di Indonesia, sehingga terjadi proses adaptasi terhadap seni, budaya, dan bahasa setempat ke dalam seni, budaya, dan bahasa asalnya. Sudah tentu saling serap dan saling silang ini meliputi puisi sebagai salah satu budaya tulisnya.
 
Leo Suryadinata, direktur Chinese Heritage Center di Singapura, dalam buku Antalogi Puisi Resonansi Indonesia, membagi sastra Tionghoa (China) di Indonesia menjadi dua jenis.
 
Pertama, sastra Tionghoa (China) peranakan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, sastra Tionghoa (China) peranakan yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu terus berkembang menjadi cikal-bakal sastra Melayu yang kemudian melahirkan sastra Indonesia modern.
 
Kedua, sastra yang tetap ditulis dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa China. Pada awal 1960-an, karya-karya itulah yang diserap koran-koran berbahasa Tionghoa (China) yang pada umumnya dimiliki warga negara keturunan Tionghoa (China) di Indonesia. Di antaranya, majalah Xing Ho dan koran Ta Kung Siang Pao yang terbit sejak 1947-an.
 
Media-media itu mengakomodasi kebutuhan membaca dan menulis bagi orang-orang China yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Kemudian, sastra itu disebut yinhua wenxue (sastra Tionghoa Indonesia).
 
Tapi, sejalan dengan Inpres Tahun 1967 yang merupakan kelanjutan pembekuan terhadap semua kegiatan yang beraroma oriental, koran-koran dan majalah-majalah itu pun terbungkamkan. Kebijakan politik zaman Orde Baru yang meniadakan aksara China (Tionghoa) membuat perkembangan sastra yinhua wenxue mati suri. Ibarat kata pepatah: mati segan, hidup pun tak mau. Karya-karyanya tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori sastra Indonesia karena tidak ditulis dalam bahasa Indonesia.
 
Mengenai hal tersebut, Sapardi Djoko Damono, guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sekaligus penyair, berpendapat bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Seperti halnya, sastra Jepang ditulis dalam bahasa Jepang, sastra Arab ditulis dalam bahasa Arab, sastra Sunda ditulis dalam bahasa Sunda, sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa, termasuk sastra China pun ditulis dalam bahasa China.
 
Dengan demikian, eksistensi sastra yinhua wenxue pun semakin termarginalkan. Nama-nama seperti Rong Zi, Yuliana Susilo (Yan Shi), Wilson Tjandinegara (Chen Donglong) Antono (Ye Chu) , Yi Rou, dan Antonius Hadi (Hai Fung) luput dari penglihatan dan pendengaran publik serta pengamat sastra tanah air. Karya-karya mereka sulit diapresiasi oleh khalayak luas karena adanya keterbatasan penguasaan aksara China (Tionghoa).
 
Tampaknya, pembekuan penggunaan bahasa China selama lebih dari 30 tahun itu membuat sumber daya manusia di Indonesia yang menguasai bahasa tersebut menipis. Mati suri selama lebih dari 30 tahun membuat lubang menganga setidaknya untuk tiga generasi.
 
Peralihan tiga pemerintahan -Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono- belum cukup mempunyai daya kait yang kuat untuk merapatkan nganga tersebut. Karena itu, rentang jarak yang jauh dari generasi ke generasi berikutnya mengakibatkan perkembangan sastra yinhua wenxue ini semakin tersendat-sendat.
 
Suci Susianie (Zhou Su Xin), ketua Perhimpunan Sastra Tionghoa untuk Wilayah Timur Indonesia, membenarkan bahwa sejak Inpres Tahun 1967 diberlakukan, kegiatan tulis-menulis para penulis yang menguasai bahasa China sangat terbatas. Bahkan, sampai sekarang kebebasan yang diberikan era reformasi pun masih belum cukup memacu eksistensi para penulis yinhua wenxue tersebut di tanah air.
 
Sebab, para penulis yinhua wenxue itu juga menghadapi tingkat kesulitan tertentu bila harus menulis dalam bahasa Indonesia. Mereka gagap dan keteteran ketika harus berhadapan dengan struktur serta diksi perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia.
 
Kendati demikian, para penulis yinhua wenxue itu tetap setia pada dunia mereka. Sampai saat ini mereka tetap mencetak dan mendistribusikan karyanya walaupun hanya untuk kalangan internal. Mereka juga tetap menulis meski segmen pembacanya semakin terbatas. Tampaknya, kepuasan menulis adalah motivasi utama yang tidak bisa dibendung walaupun penguasa menciptakan situasi politis yang sulit saat itu.
 
Karena itu, bila setiap Mei dijadikan salah satu kilas balik refleksi agenda politis bangsa ini, rasanya tidak berlebihan bila keberadaan para penulis yinhua wenxue direspons positif sebagai rekam jejak bahwa ghiroh (semangat) mereka untuk terus berkarya tetap menyala-nyala walaupun waktu pernah ”berhenti”.
***

*) Penulis prosa dan puisi. Telah menerbitkan delapan buku prosa. Di antaranya, Perempuan Kembang Jepun (2006) dan Lelakon (2007). http://sastra-indonesia.com/2009/06/ghirah-sastra-tionghoa-terus-menyala/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar