Saturday, July 17, 2021

Ulat Dalam Sepatu

Arman A.Z.
lampungpost.com
 
Apa yang saya apungkan dalam esai Cek Kosong Kesenian di Lampung (Lampost, [3-1]) sebenarnya bukan ihwal baru. Sayang, esai yang dimuat tak utuh itu (mungkin karena kepanjangan), direspons beberapa pihak bahwa fokusnya hanya anggaran. Mungkin karena istilah “cek kosong” yang kupakai. Padahal, titik tekan yang kuarah adalah regulasi atau kebijakan terhadap seni budaya di Lampung. Mungkin sejalan dengan apa yang disampaikan Iswadi Pratama tentang strategi kebudayaan di Lampung tahun 2010. Ihwal anggaran dan lain-lain adalah dampak susulan, turunan, atau akibat dari regulasi itu.
 
Kalaupun tetap menafsirkan sebagai anggaran, saya bukanlah yang pertama. Seniman (bukan cuma sastrawan) daerah lain sudah lebih dulu membahasnya. Telusurilah arsip sejumlah media massa daerah (Serambi Indonesia [30-11-2008], Surya [4-2-2007], atau Lampost [27-10-2008], dll). Atau yang kebetulan berdekatan (Pikiran Rakyat, [24-1]). Kalau dibilang ganjil jika seniman “merengekkan” anggaran; 2-9-2009 sejumlah seniman dan budayawan dari berbagai kalangan menemui Hidayat Nur Wahid di ruang rapat MPR. Selain membeberkan berbagai problem seni budaya di Indonesia, dalam pertemuan itu Radhar juga menyatakan bahwa seni budaya perlu dibiayai karena memang ada alokasi anggaran untuk itu (CSR perusahaan milik pemerintah dan swasta). Yang dituntut Radhar dkk. adalah regulasi yang jelas terhadap penyaluran anggaran pengembangan kebudayaan, bagaimana kesenian harus dibiayai, bagaimana dibuat regulasinya, dibuat infrastruktur industri kreatif yang kooperatif (okezone.com, detiknews.com). Tengok juga apa yang “dijanjikan” Menbudpar (indonesia.go.id, [26-10-2009]).
 
Memang, tugas dan kewajiban seniman adalah berkarya. Tapi, seniman juga punya hak untuk mengkritisi. Setahuku, anggaran kebudayaan itu bukan milik negara, melainkan milik rakyat yang dititipkan di kantong pemerintah. Sebagai abdi rakyat, pemerintah wajib mendistribusikannya dengan adil dan merata kepada pelaku-pelaku kesenian. Mau atau tidak menggunakan hak dan miliknya, itu soal pilihan. Selama ini parpol juga dapat anggaran, tapi apa hasilnya buat rakyat? Bandingkan lagi dengan anggaran pilkada/pilpres itu, apa hasilnya buat rakyat? Begitulah tanggapanku mengenai anggaran, yang merupakan dampak dari regulasi atau sistem.
 
Jika meragukan niat yang tak tulus dan apa yang sudah dilakukan seniman Lampung, ah, nanti dibilang air laut asin sendiri. Lebih baik tanyalah pada para seniman, berapa mereka mesti bayar sewa gedung kesenian yang berada bawah naungan instansi pemerintah. Bayangkan, seniman yang hendak berkesenian (latihan, pentas, launching, pameran) masih harus bayar sewa gedung yang peruntukan dan fungsinya memang untuk kesenian.
 
Buatku, ini miris. Hendak mendedikasikan diri buat kesenian pun mereka harus bayar di “rumahnya” sendiri. Mungkin itu pula yang membuat mereka mencari alternatif tempat lain untuk berkesenian. Silakan saja gedung itu disewakan/cari profit/PAD untuk keperluan nonkesenian, tapi jangan perlakukan hal serupa terhadap aktivitas kesenian kebudayaan.
 
Contoh lain, ketika Kober hendak pentas teater di Medan dalam rangka pertunjukan keliling 3 kota November lalu. Acara yang sudah dijadwal jauh hari tiba-tiba dibatalkan panitia setempat. Dalihnya, pada tanggal bersamaan gedung mau dipakai untuk acara instansi pemerintah. Dalam waktu mepet, Kober mesti cari alternatif tempat lain. Ini fakta kuatnya (atau buruknya?) kendali pemerintah–bukan cuma Lampung–terhadap program-program kesenian. Masih banyak contoh-contoh lain.
 
Apakah dua contoh itu berkaitan dengan anggaran? Rasanya tidak. Ini dampak dari regulasi, sistem, dan cara pandang terhadap kesenian. Ini ihwal seniman sebagai pihak yang dikalahkan birokrasi. Ini contoh simpel paradigma seni budaya di Indonesia lewat kacamata pemerintah. Janganlah mempersulit seniman, yang katanya melarat itu. Duh, tak usah jadi seniman pun, di negeri ini jauh lebih banyak yang melarat, yang jadi korban atau objek; mereka mengkritisi dalam berbagai bentuk, atau memilih apatis, acuh, dan pasrah.
 
Mengenai penghargaan, saya (mungkin juga teman-teman lain) tak tertarik acara puja-puji itu, sebagaimana saya tak pernah sekalipun tertarik memubazirkan hak suaraku untuk nyoblos dalam pilkada/pilpres. Banyak seniman di Lampung yang lebih layak dapat penghargaan, semisal Ibu Masnuna yang sampai tua mendedikasikan dirinya untuk sastra lisan. Saya lebih suka menyempatkan diri menonton pertunjukan seni, menyimak diskusi para seniman, mendengar agenda dan harapan mereka terhadap kesenian; sambil ngopi lampung dan terus menyantuni negara ini lewat pajak di setiap batang rokok yang kuisap.
 
Saya kutip kembali poin penting dalam tulisanku yang luput dimuat Lampost beberapa waktu lalu. Pertama, harus ada regulasi alternatif dan implementasi konkret terhadap nasib seni budaya di Lampung yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Jadi, sekali lagi, bukan cuma soal anggaran karena itu hanya salah satu dampak. Regulasi itu harus menyentuh prinsip-prinsip keadilan hingga tak muncul nuansa diskriminasi di kalangan pelaku seni di Lampung. Ini kalau dikaitkan dengan perda-perda. Sempatkan duduk bersama, rumuskan kembali relasi dan strategi kemitraan antara pemerintah, seniman, kelompok menengah. Kalau dibilang klise, apa sudah pernah atau kapan terakhir dilakukan? Kalau dibilang mustahil, apa yang tak mungkin di dunia ini?
 
Kedua, evaluasi, kritisi, bila perlu hentikan event seni budaya yang sifatnya seremonial, berorientasi menyelesaikan proyek, lalu data statistik penuh rekor itu lapuk dalam laci arsip, tapi tak berdampak jangka panjang terhadap kesinambungan seni budaya di Lampung.
 
Begitulah tanggapan singkatku. Semoga tak ditafsirkan lain lagi. Membaca satu per satu berita di media massa daerah itu sebelum menulis esai awal Januari itu, saya teringat cerpen Ulat Dalam Sepatu karya Gus tf Sakai yang dibuat menjelang reformasi 1998. Saya mesti meluangkan waktu untuk membacanya lagi. Mungkin pembaca yang budiman juga. Seizin penulisnya pula kupinjam judul cerpennya untuk jadi judul tulisan ini.
 
Akhirnya, aku percaya seniman di tiap daerah, termasuk Lampung, akan tetap setia berkarya. Merekalah yang akan merawat dan meruwat kesenian dengan caranya sendiri.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/02/ulat-dalam-sepatu/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar