Wednesday, July 14, 2021

Melestarikan Folklor, Mempromosikan Bahasa Lokal

Djoko Pitono *
 
ilang jenenge kawula,
sirna datan ana keri,
pan ilang wujudira,
tegese hyang widi,
ilang wujude iku,
anenggih perlambangipun,
lir lintang karainan,
kasorotan ngilang ing rudita.
 
[Sunan Drajat, dalam Sinom]
 
Lembaga Kebudayaan Lamongan (LKD) bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan menggelar acara seminar tentang folklor Lamongan, rembug budaya, dan juga bedah novel Pendekar Sendang Drajat (PSD) karya sastrawan dan budayawan terkenal Viddy AD Daery.
 
Apresiasi yang tinggi layak diberikan kepada para pemrakarsa dan pendukung acara ini. Bukan basa-basi kalau saya sampaikan hal ini. Di tengah maraknya gempuran beragam produk asing, termasuk karya sastra dan budaya, muncul perhatian untuk tidak sekedar mengingat folklor tetapi juga melestarikan dan mempromosikannya. Sudah sepantasnyalah bila Pemkab Lamongan mendukung acara ini, karena dalam beberapa tahun ini laporan dan berita “keajaiban” daerah ini umumnya menyangkut perkembangan ekonomi dan perdagangan. Tak ada yang membantah bahwa Lamongan memang maju pesat, terutama sejak daerah ini dipimpin oleh Bupati Masfuk.
 
Tetapi bagaimana kondisi kehidupan seni dan budaya di daerah ini, itulah yang bakal didiskusikan dalam acara hari ini. Kita sekarang berbicara tentang folklor. Makhluk apakah ini? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, folklor didefinisikan sebagai adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan. Atau, ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.
 
Menurut Prudentia MPSS, staf pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), folklor dibagi dalam dua jenis, yaitu tulisan (keberaksaraan) dan lisan. Folklor tulisan di antaranya meliputi arsitektur rakyat, kerajinan tangan, tenun tradisional, dan musik tradisional. Folklor lisan di antaranya berupa cerita rakyat, legenda, mite, dongeng, hukum tak tertulis, dan mantra-mantra pengobatan.
 
Mungkin ada yang bertanya, boleh jadi dengan nada sinis, untuk apa di tengah globalisasi seperti sekarang ini kita membicarakan produk-produk kuno seperti itu? Zaman gini masih bicara folklor? Adalah hak seseorang untuk bicara seperti itu. Tetapi jelas, folklor bukanlah cerita omong kosong. Prudentia menegaskan, folklor adalah budaya yang mampu digunakan sebagai jendela atau alat untuk memahami masyarakat atau komunitas yang menciptakannya, termasuk kecenderungan- kecenderungan penguasa.
 
Terkait dengan ini, Lamongan adalah daerah yang kaya dengan folklor. Cerita-cerita rakyat yang terkait dengan Sunan Drajat saja amat banyak. Apa yang telah dirintis oleh Saudara Viddy adalah upaya menggali dan mempromosikan warisan budaya masyarakat Lamongan. Novel Pendekar Sendang Drajat (PSD) memang kisah fiktif, tetapi Viddy mampu mengemasnya sedemikian rupa dengan warna sejarah di seputar Sunan Drajat. Sudah lama masyarakat kita tidak menikmati cerita-cerita silat berlatarbelakang sejarah Jawa, seperti Bende Mataram dan Api di Bukit Menoreh. Novel PSD akan mengisi kekosongan tersebut.
 
Siapa yang akan menyusul Saudara Viddy? Saya pribadi yakin, daerah ini memiliki bibit-bibit pengarang dan intelektual yang bagus. Kepedulian para cerdik pandai di daerah ini, juga Pemkab Lamongan, akan memacu semangat generasi muda untuk berkarya. Tetapi yang jelas, untuk menggali khasanah folklor di Lamongan dan mempromosikannya tentu memperlukan ketrampilan dan pemahaman hal-hal yang terkait dengan itu. Salah satunya adalah ketrampilan dan permahaman bahasa daerah atau lokal.
 
Untaian kata-kata yang indah dalam tembang Sinom yang diwariskan Sunan Drajat seperti ditulis di awal tulisan ini adalah sekedar contoh. Seberapa banyak anak-anak sekolah kita yang memahami makna tembang tersebut?
 
Pentingnya Bahasa Lokal
 
Di tengah iklim globalisasi sekarang ini, bahasa lokal terasa makin tersingkir. Apa yang sering dibicarakan adalah peranan bahasa Inggris yang makin kuat. Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak digunakan di internet. Di banyak negara, para pembela bahasa mengeluh karena bahasa Inggris “merusak” bahasa-bahasa lokal. Di Prancis, Rusia, Italia , Indonesia hingga Brasil di Amerika Selatan, penggunaan bahasa Inggris menyeruak di mana-mana.
 
Papan-papan reklame dan iklan sering menggunakan bahasa Inggris. Di seminar-seminar, sebagian pembicara sering menggunakan bahasa Inggris, juga menggunakan kutipan-kutipan dalam bahasa itu. Mengapa bahasa Inggris tak terbendung?
 
Pentingnya bahasa Inggris sekarang adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Bahasa itu berkembang pesat karena besarnya pengaruh ekonomi, politik, budaya hingga militer Inggris, yang kemudian digantikan Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia II. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk Internet juga banyak dimotori Amerika sehingga kekuatan bahasa Inggris pun makin kokoh. Bahasa Inggris memang telah menggantikan kedudukan bahasa Jerman di bidang iptek dan bahasa Prancis di bidang diplomasi.
 
Tetapi di tengah gencarnya penyebaran bahasa Inggris, sebenarnya juga sedang berkembang kesadaran baru tentang pentingnya peran bahasa-bahasa lokal dan bahasa-bahasa etnis. Berkembang pula upaya secara “diam-diam” untuk menyelamatkan bahasa-bahasa yang hampir punah. Di negeri ini, misalnya, para pakar bahasa telah memperingatkan bahaya punahnya bahasa-bahasa daerah. Termasuk bahasa Jawa, meskipun penuturnya cukup besar.
 
Kecenderungan menyangkut bahasa-bahasa yang tersingkir itu sebenarnya memberikan banyak pelajaran berharga. Orang boleh jadi akan diketuk hatinya untuk kembali ke fitrahnya semula, sebagai manusia yang tak bisa dilepaskan dari bahasa ibu (native tongue). Selain itu, mungkin juga tumbuhnya kesadaran betapa pentingnya penghormatan pada setiap bahasa yang ada untuk memelihara harmoni di masyarakat. Bukan tak mungkin pula akan tumbuh minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa-bahasa nenek moyang, suatu cara untuk memahami budaya masyarakat tertentu secara utuh.
 
Setiap Bahasa Indah
 
Kesadaran untuk menyelamatkan bahasa lokal juga muncul di masyarakat Indian di Santa Fe , New Mexico , Amerika Serikat. Dalam acara Native Youth Language Fair, para siswa SMU keturunan Indian menyanyikan lagu-lagu dalam beragam bahasa Indian. Tak kurang 13 bahasa yang digunakan, mulai dari bahasa Indian Cherokee dan Comanche hingga Oneida, Navajo dan Apache.
 
Ada pernyataan yang memedihkan sekaligus membesarkan hati dari acara tersebut. Direktur Institut Bahasa Pribumi, Inee Yang Slaughter, mengatakan, meskipun tempat-tempat perlindungan masyarakat Indian di seluruh Amerika makin meningkat, banyak suku Indian memandang bahasa-bahasa mereka sudah punah. Dari 300 bahasa Indian atau lebih, hanya 175 bahasa yang masih hidup.
 
Dari bahasa-bahasa itu, hanya 20 bahasa yang dipandang sebagai sebagai Kelas A, artinya digunakan oleh semua usia; 30 bahasa masuk Kelas B, yang hanya dipakai orang dewasa; 70 bahasa masuk Kelas C, yang hanya dipakai kakek dan nenek; dan 55 bahasa termasuk Kelas D, yang hanya digunakan orang-orang Indian berusia di atas 70 tahun.
 
Lenyapnya bahasa-bahasa itu tak dipisahkan dari sejarah kelam hubungan ras di Amerika di masa lalu. Sejarah mencatat bagaimana upaya asimilasi pada abad ke-19 menorehkan kesengsaraan pada masyarakat Indian. Banyak anak Indian dipisahkan secara paksa dari keluarganya dan dimasukkan asrama-asrama sekolah. Mereka dipaksa menghilangkan semua identitasnya sebagai orang Indian. Kadang-kadang mereka dipukuli karena berbicara bahasa ibunya.
 
Selain menyangkut kebijakan, perselisihan antara kelompok masyarakat dengan kelompok lain atau suatu negara dengan negara lain sering pula berakar dari ketidakpahaman bahasa dan budaya.
 
Satu poin penting di sini adalah tidak ada bahasa yang lebih unggul atau lebih indah. Setiap bahasa indah dan punya keunggulan sendiri. Hanya orang yang congkak –atau sebaliknya rendah diri — yang percaya satu bahasa tertentu lebih indah, lebih merdu atau lebih rasional dari bahasa lainnya. Terlepas dari kekuatan perannya, setiap bahasa tentu punya keindahan. Kata “jujur” sama derajat dan sama merdunya dengan honest, sama dengan eerlijk, juga tak beda dengan honnete.
 
Demikian juga kalimat bahasa Jawa Panjenengan pidalem wonten ing pundi? Kalimat ini tidak lebih rendah tingkatnya, juga tidak kurang merdunya dibanding kalimat dalam bahasa lain: Di mana anda tinggal?, atau Where do yo live?, atau Waar woont u?, dan juga Ou demeurez-vous?
 
Penghormatan pada eksistensi bahasa-bahasa lokal dewasa ini memang tuntutan. Kita memang harus semakin sadar bahwa dalam galaksi bahasa, setiap bahasa seseorang adalah bintang.
 
Persoalannya, ketika kita bicara tentang folklor di negeri ini, termasuk di Lamongan, apakah senjata kita seperti bahasa daerah (dan kuno) sudah memadai?
***
 
*) Djoko Pitono adalah Jurnalis, Pengarang, dan Editor Buku.

–kiriman Viddy AD Daery melalui milis. http://sastra-indonesia.com/2011/09/melestarikan-folklor-mempromosikan-bahasa-lokal/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar