Tuesday, July 20, 2021

Teater Miskin dan Grotowski

Marhalim Zaini *
riaupos.com
 
KATA “miskin” dalam dunia seni teater (di Indonesia), bukanlah sesuatu yang baru, sebagaimana juga kata “miskin” untuk Indonesia sebagai sebuah bangsa. Ia seolah bersebati, tak hendak pergi.
 
Seolah telah menjadi sebuah identitas. Meski telah sejak lama pula ihwal kemiskinan dalam teater ini dirisaukan, dibincangkan, dicari cara pengentasannya, tetap saja, hingga kini pada kenyataannya teater masih miskin: miskin aktor, miskin sutradara, miskin kritikus, miskin penulis naskah, miskin penata artistik, miskin sarana-prasarana, miskin wacana, miskin gagasan-gagasan baru, dan sekaligus para pekerja teaternya pun miskin secara ekonomis.
 
Memang, kita tak serta merta dapat menutup mata bahwa ada pasang-surut dalam proses perjalanan sejarah teater (modern) Indonesia. Ada ketika demikian bergairah individu-individu pekerja teaternya, baik dalam penciptaan naskah lakon maupun dalam menggali potensi keaktoran (juga penyutradaraan) dengan memainkan naskah-naskah realisme (Barat). Kemunculan naskah berbahasa Melayu, “Lelakon Raden Beij Soerio Retno” yang ditulis F. Wiggers di awal abad IX misalnya -yang juga dapat menandai sejarah awal “realisme” masuk ke Indonesia- dapat memulai pencatatan tersebut. Nama-nama seperti Sanusi Pane, juga setelahnya Usmar Ismail dan Asrul Sani yang mendirikan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), tak dapat dilepas dari bagaimana proses generasi-generasi berikutnya lahir di antaranya Teguh Karya dan Wahyu Sihombing. Di Bandung, ada Suyatna Anirun dan Jim Adhilimas dengan kelompok STB-nya.
 
Pada priode berikutnya (tahun 1970-an) mungkin bolehlah kita bersepakat dengan Jakob Sumardjo yang menyebutnya sebagai “Zaman Emas Kedua Teater Indonesia.” Ada beberapa alasan yang mendasari Jakob. Di antaranya suasana berkreasi lebih bebas dari tekanan dan ketakutan politik, lalu iklim kondusif Taman Ismail Marzuki yang difokuskan sebagai Center of Excellence kesenian, selain peran pemerintah (khususnya DKI Jakarta yang waktu itu Gubernurnya Ali Sadikin) yang menyantuni kesenian dengan prinsip patronse. Hemat saya, alasannya mungkin bisa ditambah, karena di masa itu juga penulisan naskah drama demikian bergairah.
 
Proses pasang-naik semacam itu, bisa jadi juga terkait dengan euforia pekerja teaternya sendiri dalam merespon perkembangan awal teater modern di Indonesia. Meski kemudian, pada priode-priode setelahnya teater Indonesia memang mencatat sejumlah nama dan kelompok teater yang menonjol, dan cukup memberi pengaruh terhadap perkembangan teater berikutnya. Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Nano Riantiarno, Rahman Sabur, Dindon, adalah beberapa nama yang ikut menancapkan tonggak-tonggak itu. Saya kira, juga tidak terlalu benar, jika kita hanya melihat sejarah dari satu sisi saja, dari satu titik arah pergerakan saja. Saya cukup percaya, selain Jakarta, kota-kota lain turut memberi sumbangan bagi berjalannya dinamika konstelasi perteateran di Indonesia. Hanya saja, ruang ekspose mereka terbatas, sehingga kadang, kesan yang kerap timbul hanya Jakarta-lah sebagai pusat sejarah. Terlepas dari pertanyaan, “peristiwa (teater) yang seperti apakah yang layak masuk dalam buku sejarah?”
 
Ya, itu realitas sejarah singkat. Bukan berarti kemudian, masa-masa “kejayaan” semacam itu membuat infra-struktur teater kita menjadi kokoh, dan kemiskinan hilang di muka bumi. Justru, hemat saya, karena lemahnya infra-struktur itulah yang membuat teater Indonesia berjalan dalam kegamangan-kegamangan. Banyak persoalan yang terbengkalai begitu saja, baik dalam tataran wacana maupun realitas praksis. Selain tentu, cukup banyak faktor eksternal yang tak kunjung kondusif untuk membantu memberi ruang bagi tumbuh-kembangnya teater sebagai salah satu “kekuatan” yang menopang ?rumah-rumah? kebudayaan kita.
 
Di Riau, saya tak terlalu berani untuk menakar seperti apa pergerakan teater modernnya di masa lalu. Meski secara lamat-lamat, masih sempat sampai ke generasi kini gaung nama Idrus Tintin misalnya, atau saya sempat menyaksikan pertunjukan garapan alm. Dasry Al Mubary di Yogyakarta dan Pekanbaru, serta beberapa sedikit nama dari yang lain. Saya kira, infra-strukur teater kita di Riau memang belum terbangun. Kalau pun pernah ada tonggak-tonggak itu, agaknya masih rumpang. Ketiadaan kritikus teater (atau lebih sederhana: juru bicara) sebagai salah satu pilar infra-struktur itu, adalah satu soal yang menyebabkan akses informasi ihwal pertumbuhan dan perkembangan teater (di) Riau tak dapat dengan mudah terdeteksi di masa kini. Maka kemiskinan itu menjadi niscaya. Belum lagi, pilar-pilar lain seperti pekerja teaternya sendiri, yang masih belum tangguh berhadapan dengan berbagai godaan (juga cibiran). Atau para apresian (penonton teater) yang masih harus terus dikelola untuk bisa menghadirkan rasa rindu dan dengan setia menyaksikan pertunjukan teater. Atau, pilar lain, gedung yang semegah Anjung Seni Idrus Tintin itu, kini kita hanya bisa melihatnya dengan rasa miris, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
 
Gagah dalam Kemiskinan dan Grotowski
 
Tapi, baiklah. Itu bentangan problemnya. Tak kemudian optimisme menjadi letoi. Tak membuat pilihan berkesenian di panggung teater menjadi surut. Ada banyak kreativitas muncul justru ketika problem (kemiskinan) itu tak kunjung sirna. Saya jadi teringat petuah WS Rendra, yang sejak lama mencambuk para pekerja teater dengan lecutan, “kita harus gagah dalam kemiskinan.” Atau teringat pula saya bagaimana Putu Wijaya menggariskan konsep proses kreatif berteaternya dengan “berangkat dari apa yang ada.” Artinya, penyikapan terhadap kondisi teater yang miskin itu, adalah dengan melakukan berbagai penggalian konsep dan metode untuk dapat membangun kekuatan-kekuatan kreatif yang baru. Saya kira, di sini letaknya tantangan itu. Dan di sinilah pula saatnya si seniman menunjukkan ketangguhan dalam berkomitmen.
 
Lecutan Rendra dan konsep Putu Wijaya di atas, sesungguhnya sejalan dengan konsep “Teater Miskin” (Poor Theatre) yang diusung oleh seorang tokoh teater terkemuka dunia, Jerzy Grotowski. Jika Rendra “gagah dalam kemiskinan” dalam konteks proses kerja berteater secara mendasar yang terkait dalam berbagai infra-struktur, dan Putu lebih mengarah kepada proses kerja-kreatif seorang sutradara dan aktor, sementara Grotowski lebih mengembalikan “segalanya” pada kekuatan seorang aktor. Bersama kelompok Theatre Laboratory, Grotowski melakukan kerja-kerja eksperimental di bidang metode pelatihan aktor atau teknik akting.
 
Kerisauan Grotowski muncul terlebih ketika di saat itu kehadiran teknologi lewat media film dan televisi yang kemudian juga merambah ke dalam dunia teater, terutama melalui penataan cahaya, penataan musik, juga tata setting, justru menciptakan “kemegahan-kemegahan” artistik yang “berlebihan.” Sehingga, penyatuan antara aktor dan penonton dalam sebuah peristiwa teater-yang diyakininya sebagai “jantung teater” -tidak terjadi secara alami. Nah, Grotowski secara lantang menyebut, “inilah awal keruntuhan dunia teater.”
 
Maka melalui kerja-kerja riset artistik yang mendalam ia hendak merevitalisasi kaidah-kaidah dasar teater melalui kekuatan seorang aktor. Bahwa baginya, apa yang paling penting dalam sebuah peristiwa teater, dan yang membuat ia berbeda dengan menonton televisi, adalah “pertemuan” langsung antara aktor dan penonton. Ketika pertemuan ini terjadi, seorang aktor melalui media otot-otot wajah dan tubuhnya harus mampu menunjukkan ekspresi kemanusiaannya yang paling dalam. Artinya, bagi Grotowski, mestinya tak ada batas antara aktor sebagai individu dengan penonton yang kolektif. Maka di sanalah proses “pembentukan diri” keduanya terjadi. Penonton dapat menyerap “pesan” aktor dengan baik, dan aktor adalah cermin untuk dapat melihat dirinya sendiri.
 
Saya kira, kata “miskin” dalam konsep Gorotwski jika dimaknai secara lebih luas dan kontekstual, adalah counter terhadap berbagai “kemanjaan” pekerja teater kita. Jika soal dana yang kerap dikeluhkan (karena teater seolah membutuhkan berbagai perangkat yang mahal) maka konsep “Teater Miskin” dapat menjawabnya dengan sangat bijak. Tentu, sebelumnya, harus tertanam sebuah pemahaman, sebagaimana yang diungkapkan oleh Grotowski, “Teater Miskin tidak menjanjikan kepada para aktor kemungkinan sukses dalam satu malam. Teater ini menolak konsepsi borjuis tentang suatu standar hidup. Tetapi mengusulkan penggantian kekayaan material menjadi kekayaan moral sebagai tujuan utama hidup ini.”
***
 
*) Sastrawan, tinggal di Pekanbaru. http://sastra-indonesia.com/2010/09/teater-miskin-dan-grotowski/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar