banjarmasinpost.co.id
BALI kembali menjadi ajang pertemuan internasional, sekelas Swiss, London, New York, Tokyo dan tempat-tempat penting yang paling disukai oleh tokoh internasional. Sejak Senin (4/8), sebuah ajang ilmiah bertajuk Asian Science Camp 2008 dilaksanakan di Sanur, menghadirkan lima peraih Nobel. Acara akbar ini diharapkan mampu menginspirasi 400 siswa berbagai negara yang hadir, sekaligus mendekatkan Asia dalam upaya meraih Nobel Dunia.
Kelima pemenang Nobel Laureate itu yakni Prof Masatoshi Koshiba, peraih Nobel Fisika 2002 dari Jepang, Prof Yuan – Tseh Lee (Kimia 1986/Taiwan), Douglas Osherroff (Fisika 1996/Amerika Serikat), Richard Robert Ernst (Kimia 1991/Swiss) dan Professor David Gross (Fisika 2004/AS).
ASC berlangsung hingga 9 Agustus 2008, memberikan kesempatan kepada sekitar 400 siswa berbagai negara -sebagian besar dari Indonesia- untuk berdiskusi dengan lima peraih Nobel itu.
“Saya percaya dimanapun terdapat ilmuwan-ilmuwan muda, dan kami, para ilmuwan dunia serta peraih Nobel adalah pupuk. Kalianlah (siswa) yang harus tumbuh subur, berbunga dan berbuah,” kata penerima Nobel Kimia yang juga President of International Board ASC, Prof Yuan Tseh Lee.
Selain peraih nobel, hadir pula ilmuwan kelas dunia yakni Prof Chintamani Nagesa Ramachandra Rao, peraih Hughes Medal 2000 oleh Royal Society dari India, Prof Myriam P Sarachick (L`Oreal/Unesco Woman in Science Laureate 2005 dari AS).
Selain sesi yang terkesan serius, para peserta juga akan mengikuti perlombaan Problem of the Day, dimana mereka disuguhkan berbagai pertunjukan yang terkesan mustahil bahkan sering dianggap mistis, kemudian peserta diminta menjelaskan fenomena tersebut secara ilmiah.
“Kami mendorong mereka untuk berpikir logis, dengan menjawab fenomena mistis dengan science,” kata Chairman ASC 2008, Prof Yohanes Surya. Beberapa atraksinya antara lain pertunjukan debus, berjalan di atas bara api, hingga melayang di udara.
Sejak sepuluh tahun terakhir ini ilmuwan muda Indonesia mulai dikenal di pelbagai acara ilmiah internasional, hasilnya pun memberikan gambaran masa depan cerah. Prof. Yohanes Surya boleh dibilang sebagai pioneer yang memperkenalkan anak-anak Indonesia di kancah ilmiah internasional, bahkan kali ini sudah mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah penyelenggara ASC.
Acara semacam ini adalah kegiatan ilmiah untuk mendekatkan bangsa Indonesia –terutama generasi muda– dalam pola pikir lebih logis, lebih rasional untuk meletakkan dasar-dasar keilmuan agar bisa menggapai penghargaan Nobel.
Sejak 1901, Nobel diberikan kepada semua ilmuan. Macam-macam penghargaan Nobel terutama adalah Nobel Perdamaian, serta Penghargaan Nobel Fisika, Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran, Penghargaan Nobel dalam Kimia, Penghargaan Nobel dalam Sastra serta Penghargaan Bank Swedia dalam Ilmu Ekonomi untuk mengenang Alfred Nobel.
Penghargaan Perdamaian Nobel adalah satu dari lima Penghargaan Nobel yang diadakan atas permintaan oleh penemu dan industrialis Swedia Alfred Nobel. Penghargaan ini diberikan pada orang yang paling giat melaksanakan hubungan bersifat internasional, pendiri pergerakan perdamaian atau berusaha mengurangi atau melenyapkan peperangan.
Kebetulan dari sekitar 88 pemenang hadiah Nobel itu kebanyakan dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Swiss, Jerman, Italia, Belanda, Belgia adalah negara-negara paling maju di dunia. Tampak ada korelasi positif semakin banyak menerima Nobel, maka negara itu semakin maju dan makmur dan menjadi penguasa industri.
Prof Yohanes Surya sudah membuka jalan lebar-lebar agar Indonesia bisa menghasilkan ilmuwan sekelas peraih hadiah Nobel, tentu tujuan utamannya bukan sekadar mendapat penghargaan itu, melainkan upaya untuk menempatkan Indonesia sederajat dengan bangsa- bangsa lain yakni negara maju atau bahkan mammpu menjadi negara superpower.
*) Redaktur Pelaksana Tribun Kaltim. http://sastra-indonesia.com/2010/10/membidik-penghargaan-nobel/
No comments:
Post a Comment