Arie MP Tamba
jurnalnasional.com
Solo, pada akhir 1960-an, kemandegan estetika tari Jawa telah membuat risau
sebagian masyarakat pendukungnya. Di kalangan elite pertunjukan, lelangen
bedaya dan srimpi yang merupakan simbol kejayaan raja-raja Jawa masa lalu mulai
memudar. Bentuk koreografi liris yang anggun itu, telah kehilangan peran dan
tak lagi diminati karena lama tak dipentaskan di kraton.
Sementara itu, di luar kraton, pertunjukan tari yang disenangi masyarakat
adalah wayang orang Sriwedari dan wayang orang RRI Surakarta, yang menampilkan
cerita dengan tokoh-tokoh, kostum, rias, iringan gamelan, dan tata panggung
yang mereka akrabi. Wayang orang panggung, menyajikan petikan cerita dari
Ramayana dan Mahabrata dalam bentuk dramatisasi, dengan dialog prosaik dan
tembang Jawa yang populer dan menghibur. Pertunjukan tari, umumnya dipahami
sebagai hiburan yang mudah dimengerti dan mengajak tertawa.
Di tengah kondisi seperti inilah, muncul seorang Sardono W Kusumo. Dan
Sardono adalah seorang pemberontak, kata Goenawan Mohamad (1980). Khususnya
dalam kasus koreografinya Samgita Pancasona, yang ditampilkan sebagai upaya
mencari kemungkinan baru dalam tari Jawa. Sardono dibesarkan dalam asuhan
lingkungan seni-tari Jawa tradisional. Tapi, untuk mengembangkan
kreativitasnya, ia telah memberontak ke dalam tradisinya itu.
Dalam hal ini, ekspresinya berbeda dengan pembaruan yang dilakukan oleh,
misalnya, rombongan “Viatikara”, yang tak lebih dari sekadar menampilkan
“Hindia molek” seni tari untuk orang asing. Sementara Sardono, menurut
Goenawan, melakukan pembaruan tidak sekadar menyibukkan diri pada unsur musik,
bentuk, komposisi, atau tema. Tapi Sardono justru berkreasi sebagai koreografer
avant-garde, menawarkan kejutan-kejutan ke dalam gamelan, tembang dan cerita
Ramayana (episode pertempuran Subali dan Sugriwa).
Di auditorium RRI Surakarta, pada 1969 itu, penonton Jawa boleh jadi sangat
berharap menyaksikan hiburan meriah yang akrab dan sudah dikenal. Tapi, Sardono
ternyata tidak memenuhi harapan itu. Samgita Pancasona memang mengambil episode
cerita Subali dan Sugriwa yang sudah dikenal penonton. Namun di tangan Sardono,
pertunjukan itu berlangsung dengan plot tidak jelas (Sal Murgiyanto, 2005).
Ada sejumlah tembang Jawa yang didendangkan para penari dengan iringan
gamelan sederhana. Tapi tak ada dialog prosa yang mudah dimengerti. Kostumnya
yang kelewat sederhana, dan tak jelas menggambarkan peran-peran dalam lakon,
membuat penonton menduga-duga peran yang dibawakan para penari.
Sebab, dengan pendekatan koreografi yang berbeda, Sardono melucuti segala
hiasan ornamental Jawa yang menutupi jati diri para penari (busana, karawitan,
gerak, dan cerita). Sehingga, Samgita menjadi tontonan yang menampilkan
gerak-gerik ragawi, instrumentasi musik, busana, dan vokal dalam bentuk sangat
dasar.
Sardono seperti ingin menampilkan manusia Jawa yang masih hidup di dalam
gua-gua, yang hidupnya masih erat dengan lingkungan alam seperti ditunjukkan
tarian-tarian suku Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan. Gagasan pembaruan ini,
memang tak bisa dilepaskan dari pertemuan kreatif Sardono, dengan putra seorang
kepala suku Dayak Kenyah dari pedalaman Kalimantan Timur.
Melalui putra sang kepala suku Dayak itu, Sardono berkenalan dengan
gerakan-gerakan tari eksplosif, berupa sensasi tubuh yang lahir karena
guncangan emosi yang dibiarkan berlangsung intens. Sangat berbeda dengan
sensasi gerak-meditatif tari Jawa. Bahkan, karena kedalaman dan kekuatan yang
timbul dari pengalaman hidup yang mau diekspresikan sering begitu dahsyat –
gerak tubuh eksplosif – masih disertai dengan suara keras, atau jeritan, bahkan
lengkingan.
Ringkasnya, di dalam Samgita-nya Sardono, musik dan tarian klasik Jawa
sudah didekontruksi habis-habisan sampai ke yang esensial saja. Tidak ada lagi
yang gemerlap, menghibur, atau yang mengajak tertawa. Sebaliknya, pertunjukan
Samgita memaksa para penonton berpikir dan bertanya-tanya. Bahkan, estetika tari
Jawa (wiraga, wirama, dan wirasa) yang diakrabi masyarakat Solo ketika itu, tak
dapat dipakai mencerna tarian baru Sardono. Akibatnya, telur busuk pun melayang
ke atas panggung.
Namun, reaksi penolakan penonton di RRI Solo pada 1969 itu, tidak membuat Sardono
gentar apalagi menyerah. Sardono justru semakin merentangkan cara pandang dan
kekuatan kreasinya sebagai seniman tari modern. Setelah Samgita, Sardono
menciptakan Kecak Rina, Dongeng dari Dirah, Hutan Plastik, dll. Karya-karya
koreografi yang juga menyajikan pertemuan aspek tari klasik Jawa, dengan
kekayaan tari suku lain di Indonesia, seperi Bali, dll.
Sebagaimana diuraikan Sal, Sardono kemudian bergerak berdasarkan kebutuhan
koreografinya secara pribadi. Ia memanfaatkan teknik gerak para penarinya dan
menuntut intensitas tinggi serta penghayatan mendalam dari masing-masing
penari. Tak cukup lagi hapalan rangkaian gerak. Justru sangat dibutuhkan
keberanian para penari untuk mendalami gerak tari seirama dengan bathinnya.
Kini, Sardono memang menata pertunjukan tari berdasarkan materi yang ada di
hadapannya. Ia tidak lagi berorientasi pada satu jenis teknik tari tertentu.
Melainkan, lebih kepada ketrampilan dan kedalaman penghayatan gerak
masing-masing penari, untuk menyuarakan gagasan yang mau disampaikan. Autentic
movement.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tuesday, July 20, 2021
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment