Tuesday, July 20, 2021

Samgita

Arie MP Tamba
jurnalnasional.com
 
Solo, pada akhir 1960-an, kemandegan estetika tari Jawa telah membuat risau sebagian masyarakat pendukungnya. Di kalangan elite pertunjukan, lelangen bedaya dan srimpi yang merupakan simbol kejayaan raja-raja Jawa masa lalu mulai memudar. Bentuk koreografi liris yang anggun itu, telah kehilangan peran dan tak lagi diminati karena lama tak dipentaskan di kraton.
 
Sementara itu, di luar kraton, pertunjukan tari yang disenangi masyarakat adalah wayang orang Sriwedari dan wayang orang RRI Surakarta, yang menampilkan cerita dengan tokoh-tokoh, kostum, rias, iringan gamelan, dan tata panggung yang mereka akrabi. Wayang orang panggung, menyajikan petikan cerita dari Ramayana dan Mahabrata dalam bentuk dramatisasi, dengan dialog prosaik dan tembang Jawa yang populer dan menghibur. Pertunjukan tari, umumnya dipahami sebagai hiburan yang mudah dimengerti dan mengajak tertawa.
 
Di tengah kondisi seperti inilah, muncul seorang Sardono W Kusumo. Dan Sardono adalah seorang pemberontak, kata Goenawan Mohamad (1980). Khususnya dalam kasus koreografinya Samgita Pancasona, yang ditampilkan sebagai upaya mencari kemungkinan baru dalam tari Jawa. Sardono dibesarkan dalam asuhan lingkungan seni-tari Jawa tradisional. Tapi, untuk mengembangkan kreativitasnya, ia telah memberontak ke dalam tradisinya itu.
 
Dalam hal ini, ekspresinya berbeda dengan pembaruan yang dilakukan oleh, misalnya, rombongan “Viatikara”, yang tak lebih dari sekadar menampilkan “Hindia molek” seni tari untuk orang asing. Sementara Sardono, menurut Goenawan, melakukan pembaruan tidak sekadar menyibukkan diri pada unsur musik, bentuk, komposisi, atau tema. Tapi Sardono justru berkreasi sebagai koreografer avant-garde, menawarkan kejutan-kejutan ke dalam gamelan, tembang dan cerita Ramayana (episode pertempuran Subali dan Sugriwa).
 
Di auditorium RRI Surakarta, pada 1969 itu, penonton Jawa boleh jadi sangat berharap menyaksikan hiburan meriah yang akrab dan sudah dikenal. Tapi, Sardono ternyata tidak memenuhi harapan itu. Samgita Pancasona memang mengambil episode cerita Subali dan Sugriwa yang sudah dikenal penonton. Namun di tangan Sardono, pertunjukan itu berlangsung dengan plot tidak jelas (Sal Murgiyanto, 2005).
 
Ada sejumlah tembang Jawa yang didendangkan para penari dengan iringan gamelan sederhana. Tapi tak ada dialog prosa yang mudah dimengerti. Kostumnya yang kelewat sederhana, dan tak jelas menggambarkan peran-peran dalam lakon, membuat penonton menduga-duga peran yang dibawakan para penari.
 
Sebab, dengan pendekatan koreografi yang berbeda, Sardono melucuti segala hiasan ornamental Jawa yang menutupi jati diri para penari (busana, karawitan, gerak, dan cerita). Sehingga, Samgita menjadi tontonan yang menampilkan gerak-gerik ragawi, instrumentasi musik, busana, dan vokal dalam bentuk sangat dasar.
 
Sardono seperti ingin menampilkan manusia Jawa yang masih hidup di dalam gua-gua, yang hidupnya masih erat dengan lingkungan alam seperti ditunjukkan tarian-tarian suku Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan. Gagasan pembaruan ini, memang tak bisa dilepaskan dari pertemuan kreatif Sardono, dengan putra seorang kepala suku Dayak Kenyah dari pedalaman Kalimantan Timur.
 
Melalui putra sang kepala suku Dayak itu, Sardono berkenalan dengan gerakan-gerakan tari eksplosif, berupa sensasi tubuh yang lahir karena guncangan emosi yang dibiarkan berlangsung intens. Sangat berbeda dengan sensasi gerak-meditatif tari Jawa. Bahkan, karena kedalaman dan kekuatan yang timbul dari pengalaman hidup yang mau diekspresikan sering begitu dahsyat – gerak tubuh eksplosif – masih disertai dengan suara keras, atau jeritan, bahkan lengkingan.
 
Ringkasnya, di dalam Samgita-nya Sardono, musik dan tarian klasik Jawa sudah didekontruksi habis-habisan sampai ke yang esensial saja. Tidak ada lagi yang gemerlap, menghibur, atau yang mengajak tertawa. Sebaliknya, pertunjukan Samgita memaksa para penonton berpikir dan bertanya-tanya. Bahkan, estetika tari Jawa (wiraga, wirama, dan wirasa) yang diakrabi masyarakat Solo ketika itu, tak dapat dipakai mencerna tarian baru Sardono. Akibatnya, telur busuk pun melayang ke atas panggung.
 
Namun, reaksi penolakan penonton di RRI Solo pada 1969 itu, tidak membuat Sardono gentar apalagi menyerah. Sardono justru semakin merentangkan cara pandang dan kekuatan kreasinya sebagai seniman tari modern. Setelah Samgita, Sardono menciptakan Kecak Rina, Dongeng dari Dirah, Hutan Plastik, dll. Karya-karya koreografi yang juga menyajikan pertemuan aspek tari klasik Jawa, dengan kekayaan tari suku lain di Indonesia, seperi Bali, dll.
 
Sebagaimana diuraikan Sal, Sardono kemudian bergerak berdasarkan kebutuhan koreografinya secara pribadi. Ia memanfaatkan teknik gerak para penarinya dan menuntut intensitas tinggi serta penghayatan mendalam dari masing-masing penari. Tak cukup lagi hapalan rangkaian gerak. Justru sangat dibutuhkan keberanian para penari untuk mendalami gerak tari seirama dengan bathinnya.
 
Kini, Sardono memang menata pertunjukan tari berdasarkan materi yang ada di hadapannya. Ia tidak lagi berorientasi pada satu jenis teknik tari tertentu. Melainkan, lebih kepada ketrampilan dan kedalaman penghayatan gerak masing-masing penari, untuk menyuarakan gagasan yang mau disampaikan. Autentic movement.
***

http://sastra-indonesia.com/2008/12/samgita/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar