blog.harian-aceh.com
Penulis Aceh membutuhkan akses agar karyanya dikenal. Bisa jadi ada penulis sastra kelas Nobel yang lahir dan hidup di Aceh, tapi karena tidak memiliki akses, karyanya tidak dikenal orang.
Tahun ini, Festival Penulis dan Pembaca Ubud (Ubud Writers and Readers Festival) memasuki tahun penyelenggaraan yang ke-tujuh. Festival yang diambil dari nama sebuah daerah kelurahan di kabupaten Gianyar, Bali, yang pernah dinobatkan sebagai salah satu Kota Terbaik di Asia di tahun 2009.
Ubud juga menjadi terkenal, setelah film yang diperankan oleh Julia Roberts yang berjudul “Eat, Pray, and Love” mengambil Ubud sebagai salah satu tempat pengambilan gambar.
Festival ini digagas oleh Janet De Neefe, seorang warga Australia yang sekarang sudah menjadi WNI. Pertama kali diselenggarakan pada bulan Oktober 2004. Ide awal festival ini salah satunya karena dampak bom Bali pada Oktober 2002. Hati Janet terpanggil untuk melakukan sesuatu untuk bertindak. Janet berpikir bahwa untuk penyembuhan trauma, dampak psikologis bom Bali dapat disembuhkan dengan kata-kata yang positif.
Pada tahun pertama, festival ini dinamakan Ubud Writers Festival. Kemudian mengalami beberapa kali pergantian nama, menjadi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), dan tahun 2010 ini, menjadi Citibank-Ubud Writers and Readers Festival. Para penulis yang hadir di festival yang akan diselenggarakan pada tanggal 6 hingga 10 Oktober 2010 ini terdiri dari penulis Indonesia dan penulis asing.
Tahun 2010 ini, ada sekitar 18 sastrawan Indonesia yang akan menghadiri festival ini. Diantaranya, Sitor Situmorang, Hermawan Aksan, Dewi Lestari, Benny Arnas, Sutardji Calzoum Bahri, Iwan Darmawan, Kurnia Effendi, Petty Elliot, Lily Yulianti Farid, Reda Gaudiamo, W. Hariyanto, Yudhi Herwibowo, Noor huda Ismail, Nusya Kaswatin, Sosiawan Leak, Medy Lukito, M. Aan Mansyur, Imam Muhtarom, Wa Ode Wulan Ratna, Ni Made Purnamasari, Cok Sawitri, Sarojini, Basuki KS Sunaryono, Wendoko, Debra Yatim, Maghriza Novita Syahti, Harry B Kori?un, Arif Rizki, Andha S, Zelveni Wimra.
Penulis Indonesia dipilih berdasarkan pertimbangan dari Dewan Kurator. Tahun in, Dewan Kurator dari Indonesia yaitu M Aan Mansyur, Cok Sawitri, Triyanto Triwikromo. Tahun 2009 lalu, salah satu penulis dari Aceh, Azhari, menjadi salah satu anggota Dewan Kurator.
Selain itu, sejumlah penulis dunia yang mewakili berbagai negara juga dipastikan hadir, yaitu penulis dari China, Malta, Djibouti, Israel, India, Sri Lanka, Vietnam, Singapura, Perancis, Bosnia, Turki, Afrika Selatan, Australia, Irlandia, Amerika Serikat, dan Kanada.
Puluhan penulis terkenal yang juga telah meraih penghargaan sastra tingkat dunia, dari luar Indonesia telah mengikuti festival ini. Pada tahun 2009 lalu, Wole Soyinka, peraih Nobel Kesusastraan Pertama dari Afrika pada tahun 1986 juga menghadiri festival ini.
Tak salah jika salah satu majalah asing, Harper?s Bazaar UK, menobatkan festival ini sebagai salah satu dari enam festival sastra terbaik di dunia (One of the six best literary festivals in the world).
Festival ini terdiri dari berbagai rangkaian acara, di antaranya yaitu : diskusi panel; acara gratis (free event) yaitu malam penghormatan (tribute night), malam pertunjukan (performance night), peluncuran buku, pembacaan puisi dan cerpen, debat sastra, dan membaca dan pesta jalanan (reading and street party); acara spesial (special event), yaitu makan siang sastra dengan penulis dunia (literary lunch), pesta minuman (cocktails party), dan makan malam sastra (literary dinner); pelatihan (workshop); Program anak dan remaja; Pembacaan karya; dan ajang tukar pengalaman dan informasi antara penulis yang berasal dari budaya yang berbeda.
Festival Sastra Ubud dan Aceh
Aceh merupakan salah satu wilayah yang penulisnya dapat dikatakan hampir selalu hadir di UWRF setiap tahunnya. Sejak tahun pertama penyelenggaraan (2004), penulis Aceh yang pernah menghadiri festival ini yaitu: Azhari (2004), Azhari, Rosni Idham, D. Keumalawati, Sulaiman Tripa (2005), Reza Idria dan Fozan Santa (2006), Wiratmadinata (2007), Azhari dan Dino Umahuk (2008), dan Doel CP Allisah (2009) adalah penulis yang pernah menghadiri festival ini.
Hampir semua penulis yang hadir merupakan penulis asli Aceh, kecuali Dino Umahuk. Dino adalah seorang penulis asal Ternate dan pekerja LSM yang pada tahun 2008 lalu sempat bekerja di Aceh, dan Dino mewakili Aceh di festival ini di tahun 2008. Tetapi, pada tahun 2010 ini, tidak ada satu orang pun penulis dari Aceh yang menghadiri festival ini. Miris!
Pada tahun 2009 lalu, Aceh mendapatkan beberapa keistimewaan dalam penyelenggaraan festival ini, yaitu adanya penulis dari Aceh yang menjadi anggota Dewan Kurator yang menyeleksi karya, memilih tema, dan memilih penulis Indonesia yang akan diundang ke festival ini yaitu Azhari; menjadi daerah pertama tempat peluncuran buku “Reasons for Harmony”, buku yang memuat karya-karya dari 14 sastrawan Indonesia sebagai partisipan di UWRF 2008; dan Aceh menjadi salah satu daerah dari lima daerah tempat diselenggarakannya festival satelit (satelite event) UWRF.
Dalam acara festival satelit UWRF di Aceh, pada 16 Oktober 2009, penulis dari Australia, Antony Loewenstein, datang dan menjadi pembicara di talkshow radio, mengunjungi media (koran Harian Aceh), serta diskusi sastra dan diskusi tentang menulis yang diselenggarakan di salah satu warung kopi yang terkenal di kalangan anak muda Aceh.
Di acara diskusi sastra, Antony didampingi oleh beberapa penulis yang berasal dari beberapa komunitas penulis di Aceh, di antaranya Nuril Annissa (Forum Lingkar Pena Aceh), Twk. Muda Bentara (Aceh Blogger Community), Audi Nugraha (Anak Muda Kreatif), Raisa Kamila (Sekolah Menulis Dokarim), Edi Miswar (Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia), Junaidi Mulieng (Aceh Feature Services), dan Fathurrahman (Lapena Aceh).
Antusiasme yang tampak dari hampir seratus peserta dan penulis lokal yang hadir di diskusi itu, menyiratkan akan adanya harapan tentang suatu masa depan perkembangan dunia sastra Aceh yang gemilang. Tesis ini merupakan kontra dari suatu tesis yang kemudian hari pernah dilontarkan oleh Thayeb Loh Angen, yang pernah menuliskan bahwa ?Sastra di Aceh Sedang Sakit? (Harian Aceh, Minggu, 25 Oktober 2009).
Menulis, khususnya menulis sastra, saat ini dapat saja dipelajari secara otodidak, dan dapat diperoleh sejak sekolah di tingkat dasar hingga perguruan tinggi, maupun di sekolah informal atau kursus atau pelatihan menulis yang semakin marak sejak adanya BRR di Aceh. Ya, menulis juga dianggap sebagai salah satu metode penyembuhan trauma bagi masyarakat Aceh yang pada akhir 2004 lalu dilanda tsunami.
Hampir tiap bulan ada peluncuran buku baru di Aceh, dan hampir tiap minggu ada nama penulis baru yang karyanya dimuat di media massa yang terbit di Aceh. Perlombaan menulis karya juga semakin sering dilaksanakan, untuk berbagai jenis karya tulisan, dan beragam topik yang diperlombakan. Organisasi dan komunitas menulis juga makin banyak tumbuh dan berkembang, yang semakin memperkaya warna dunia kepenulisan dan sastra di Aceh. Sesuatu yang sangat membanggakan!
Menulis dan Akses
Pertanyaan mengapa tidak ada satu orang pun penulis dari Aceh yang hadir di festival Citibank-Ubud Writers and Readers Festival tahun 2010 ini mengemuka saat diskusi dengan beberapa teman tempo hari. Tahun 2009 dan 2010 ini adalah tahun gemilangnya dunia kepenulisan dan sastra Aceh, yang ditandai dengan munculnya generasi penulis baru yang berusia relatif muda.
Hampir setengah dari penulis yang meraih anugerah sastra dari Balai Bahasa Aceh di tahun 2009 adalah penulis muda Aceh, seperti Nuril Annissa, Alimuddin, Ferhat, Hendra Kasmi, dan Herman RN. Nuril Annissa juga meraih juara Terbaik I kategori penulisan cerita pendek di Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional tahun 2010 ini. Alimuddin, Ferhat, Hendra Kasmi, Herman RN adalah penulis yang karyanya juga telah pernah dimuat di media massa terbitan nasional. Dan kita juga bangga memiliki Fathurrahman yang masih pelajar di tingkat menengah dan karyanya telah pernah dimuat di koran Kompas dan menerbitkan buku.
Apakah penulis Aceh tidak lagi memiliki karya untuk dikirimkan dan dipilih oleh Dewan Kurator untuk menghadiri festival ini? Atau apakah penulis Aceh sudah tidak lagi memiliki keberanian untuk mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional?
Sekolah Menulis Dokarim -sebagai partner UWRF di Aceh- dan Aliansi Sastrawan Aceh, telah berupaya untuk mempublikasikan secara luas melalui beberapa media baik online maupun cetak dan melalui beberapa acara sosialisasi agar banyak penulis Aceh yang dapat mengirimkan karyanya dan dapat dipilih menjadi salah satu penulis Indonesia yang hadir di festival ini.
Dalam kajian post-modernisme, prinsip lokalitas menjadi semakin abstrak. Jika saat ini (mungkin) di benak kalangan penulis Aceh dilanda rasa kurang percaya diri terhadap karyanya, dan malu jika bertemu dengan penulis lain baik dari Indonesia maupun Dunia, maka ini akan membuat karya sastra dan penulis Aceh hanya hidup di daerahnya sendiri!
Saat ini, tidak ada lagi istilah untuk menyebut sastra pinggiran, sastra perkotaan, sastra pusat, sastra daerah, dan sebagainya. Batas ruang menjadi semakin imajiner. Contohnya di festival ini, Ubud yang luasnya tidak lebih luas dari Ulee Kareng, menjadi salah satu pusat dari sastra dunia.
Azhari mengatakan saat diskusi peluncuran buku “Reasons for Harmony” di tahun 2009 lalu, bahwa “Penulis Aceh membutuhkan akses agar karyanya dikenal tidak hanya di Aceh. Bisa jadi ada penulis sastra kelas Nobel yang lahir dan hidup di pinggiran sungai Krueng Aceh, tapi karena tidak memiliki akses, karyanya tidak dikenal orang”.
Akses untuk karya dari proses menulis di antaranya adalah dengan mengirimkan karya kita ke media massa; menulis dan menerbitkan buku; menulis di blog; menulis, menerbitkan, dan mempublikasan karya dalam bahasa Internasional; dan menghadiri pertemuan dengan sastrawan dunia, seperti di UWRF ini, atau Utan Kayu Literary Biennale.
Fozan Santa -Rektor Sekolah Menulis Dokarim- mengatakan bahwa “Sangat membanggakan saat kita berdiskusi dengan penulis asing tentang perkembangan dunia kepenulisan dan kesusastraan dunia serta melihat karya kita dapat dinikmati dan dilihat tidak hanya oleh orang Indonesia, tapi juga oleh masyarakat internasional”.
Saat sesi diskusi panel, penulis Indonesia akan berkompilasi dan berkolaborasi dengan penulis dari luar Indonesia untuk membicarakan suatu tema atau gagasan tertentu, dan disaksikan oleh peserta dari Indonesia dan luar Indonesia juga tentunya. Beberapa penulis juga membuat peluncuran karyanya dalam rangkaian paket acara festival ini.
Beberapa penulis Aceh memang telah menulis dan mempublikasikan karyanya dalam beberapa bahasa seperti D. Keumalawati dengan karyanya “Surat dari Negeri Tak Bertuan” (Letter from a No-Man’s Land), Azhari dengan kumpulan cerita pendeknya “Perempuan Pala” (Nutmeg Woman), dan beberapa puisi dan esainya yang juga telah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Perancis, Jepang, dsb.
Tahun 2010 ini, Aceh telah “dikalahkan” oleh banyaknya kehadiran penulis dari Sumatera Barat yang mengirimkan lima orang penulisnya ke festival sastra bergengsi ini. Semoga tahun 2011 nanti akan ada penulis Aceh yang dapat menghadiri festival ini!
***
*) Panitia di Ubud Writers and Readers Festival, Bali, 2009. http://sastra-indonesia.com/2010/10/tahun-sepi-sastrawan-aceh/
No comments:
Post a Comment