Tuesday, July 20, 2021

Tahun Sepi Sastrawan Aceh

Rizki Alfi Syahril
blog.harian-aceh.com
 
Penulis Aceh membutuhkan akses agar karyanya dikenal. Bisa jadi ada penulis sastra kelas Nobel yang lahir dan hidup di Aceh, tapi karena tidak memiliki akses, karyanya tidak dikenal orang.
 
Tahun ini, Festival Penulis dan Pembaca Ubud (Ubud Writers and Readers Festival) memasuki tahun penyelenggaraan yang ke-tujuh. Festival yang diambil dari nama sebuah daerah kelurahan di kabupaten Gianyar, Bali, yang pernah dinobatkan sebagai salah satu Kota Terbaik di Asia di tahun 2009.
 
Ubud juga menjadi terkenal, setelah film yang diperankan oleh Julia Roberts yang berjudul “Eat, Pray, and Love” mengambil Ubud sebagai salah satu tempat pengambilan gambar.
 
Festival ini digagas oleh Janet De Neefe, seorang warga Australia yang sekarang sudah menjadi WNI. Pertama kali diselenggarakan pada bulan Oktober 2004. Ide awal festival ini salah satunya karena dampak bom Bali pada Oktober 2002. Hati Janet terpanggil untuk melakukan sesuatu untuk bertindak. Janet berpikir bahwa untuk penyembuhan trauma, dampak psikologis bom Bali dapat disembuhkan dengan kata-kata yang positif.
 
Pada tahun pertama, festival ini dinamakan Ubud Writers Festival. Kemudian mengalami beberapa kali pergantian nama, menjadi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), dan tahun 2010 ini, menjadi Citibank-Ubud Writers and Readers Festival. Para penulis yang hadir di festival yang akan diselenggarakan pada tanggal 6 hingga 10 Oktober 2010 ini terdiri dari penulis Indonesia dan penulis asing.
 
Tahun 2010 ini, ada sekitar 18 sastrawan Indonesia yang akan menghadiri festival ini. Diantaranya, Sitor Situmorang, Hermawan Aksan, Dewi Lestari, Benny Arnas, Sutardji Calzoum Bahri, Iwan Darmawan, Kurnia Effendi, Petty Elliot, Lily Yulianti Farid, Reda Gaudiamo, W. Hariyanto, Yudhi Herwibowo, Noor huda Ismail, Nusya Kaswatin, Sosiawan Leak, Medy Lukito, M. Aan Mansyur, Imam Muhtarom, Wa Ode Wulan Ratna, Ni Made Purnamasari, Cok Sawitri, Sarojini, Basuki KS Sunaryono, Wendoko, Debra Yatim, Maghriza Novita Syahti, Harry B Kori?un, Arif Rizki, Andha S, Zelveni Wimra.
 
Penulis Indonesia dipilih berdasarkan pertimbangan dari Dewan Kurator. Tahun in, Dewan Kurator dari Indonesia yaitu M Aan Mansyur, Cok Sawitri, Triyanto Triwikromo. Tahun 2009 lalu, salah satu penulis dari Aceh, Azhari, menjadi salah satu anggota Dewan Kurator.
 
Selain itu, sejumlah penulis dunia yang mewakili berbagai negara juga dipastikan hadir, yaitu penulis dari China, Malta, Djibouti, Israel, India, Sri Lanka, Vietnam, Singapura, Perancis, Bosnia, Turki, Afrika Selatan, Australia, Irlandia, Amerika Serikat, dan Kanada.
 
Puluhan penulis terkenal yang juga telah meraih penghargaan sastra tingkat dunia, dari luar Indonesia telah mengikuti festival ini. Pada tahun 2009 lalu, Wole Soyinka, peraih Nobel Kesusastraan Pertama dari Afrika pada tahun 1986 juga menghadiri festival ini.
 
Tak salah jika salah satu majalah asing, Harper?s Bazaar UK, menobatkan festival ini sebagai salah satu dari enam festival sastra terbaik di dunia (One of the six best literary festivals in the world).
 
Festival ini terdiri dari berbagai rangkaian acara, di antaranya yaitu : diskusi panel; acara gratis (free event) yaitu malam penghormatan (tribute night), malam pertunjukan (performance night), peluncuran buku, pembacaan puisi dan cerpen, debat sastra, dan membaca dan pesta jalanan (reading and street party); acara spesial (special event), yaitu makan siang sastra dengan penulis dunia (literary lunch), pesta minuman (cocktails party), dan makan malam sastra (literary dinner); pelatihan (workshop); Program anak dan remaja; Pembacaan karya; dan ajang tukar pengalaman dan informasi antara penulis yang berasal dari budaya yang berbeda.
 
Festival Sastra Ubud dan Aceh
 
Aceh merupakan salah satu wilayah yang penulisnya dapat dikatakan hampir selalu hadir di UWRF setiap tahunnya. Sejak tahun pertama penyelenggaraan (2004), penulis Aceh yang pernah menghadiri festival ini yaitu: Azhari (2004), Azhari, Rosni Idham, D. Keumalawati, Sulaiman Tripa (2005), Reza Idria dan Fozan Santa (2006), Wiratmadinata (2007), Azhari dan Dino Umahuk (2008), dan Doel CP Allisah (2009) adalah penulis yang pernah menghadiri festival ini.
 
Hampir semua penulis yang hadir merupakan penulis asli Aceh, kecuali Dino Umahuk. Dino adalah seorang penulis asal Ternate dan pekerja LSM yang pada tahun 2008 lalu sempat bekerja di Aceh, dan Dino mewakili Aceh di festival ini di tahun 2008. Tetapi, pada tahun 2010 ini, tidak ada satu orang pun penulis dari Aceh yang menghadiri festival ini. Miris!
 
Pada tahun 2009 lalu, Aceh mendapatkan beberapa keistimewaan dalam penyelenggaraan festival ini, yaitu adanya penulis dari Aceh yang menjadi anggota Dewan Kurator yang menyeleksi karya, memilih tema, dan memilih penulis Indonesia yang akan diundang ke festival ini yaitu Azhari; menjadi daerah pertama tempat peluncuran buku “Reasons for Harmony”, buku yang memuat karya-karya dari 14 sastrawan Indonesia sebagai partisipan di UWRF 2008; dan Aceh menjadi salah satu daerah dari lima daerah tempat diselenggarakannya festival satelit (satelite event) UWRF.
 
Dalam acara festival satelit UWRF di Aceh, pada 16 Oktober 2009, penulis dari Australia, Antony Loewenstein, datang dan menjadi pembicara di talkshow radio, mengunjungi media (koran Harian Aceh), serta diskusi sastra dan diskusi tentang menulis yang diselenggarakan di salah satu warung kopi yang terkenal di kalangan anak muda Aceh.
 
Di acara diskusi sastra, Antony didampingi oleh beberapa penulis yang berasal dari beberapa komunitas penulis di Aceh, di antaranya Nuril Annissa (Forum Lingkar Pena Aceh), Twk. Muda Bentara (Aceh Blogger Community), Audi Nugraha (Anak Muda Kreatif), Raisa Kamila (Sekolah Menulis Dokarim), Edi Miswar (Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia), Junaidi Mulieng (Aceh Feature Services), dan Fathurrahman (Lapena Aceh).
 
Antusiasme yang tampak dari hampir seratus peserta dan penulis lokal yang hadir di diskusi itu, menyiratkan akan adanya harapan tentang suatu masa depan perkembangan dunia sastra Aceh yang gemilang. Tesis ini merupakan kontra dari suatu tesis yang kemudian hari pernah dilontarkan oleh Thayeb Loh Angen, yang pernah menuliskan bahwa ?Sastra di Aceh Sedang Sakit? (Harian Aceh, Minggu, 25 Oktober 2009).
 
Menulis, khususnya menulis sastra, saat ini dapat saja dipelajari secara otodidak, dan dapat diperoleh sejak sekolah di tingkat dasar hingga perguruan tinggi, maupun di sekolah informal atau kursus atau pelatihan menulis yang semakin marak sejak adanya BRR di Aceh. Ya, menulis juga dianggap sebagai salah satu metode penyembuhan trauma bagi masyarakat Aceh yang pada akhir 2004 lalu dilanda tsunami.
 
Hampir tiap bulan ada peluncuran buku baru di Aceh, dan hampir tiap minggu ada nama penulis baru yang karyanya dimuat di media massa yang terbit di Aceh. Perlombaan menulis karya juga semakin sering dilaksanakan, untuk berbagai jenis karya tulisan, dan beragam topik yang diperlombakan. Organisasi dan komunitas menulis juga makin banyak tumbuh dan berkembang, yang semakin memperkaya warna dunia kepenulisan dan sastra di Aceh. Sesuatu yang sangat membanggakan!
 
Menulis dan Akses
 
Pertanyaan mengapa tidak ada satu orang pun penulis dari Aceh yang hadir di festival Citibank-Ubud Writers and Readers Festival tahun 2010 ini mengemuka saat diskusi dengan beberapa teman tempo hari. Tahun 2009 dan 2010 ini adalah tahun gemilangnya dunia kepenulisan dan sastra Aceh, yang ditandai dengan munculnya generasi penulis baru yang berusia relatif muda.
 
Hampir setengah dari penulis yang meraih anugerah sastra dari Balai Bahasa Aceh di tahun 2009 adalah penulis muda Aceh, seperti Nuril Annissa, Alimuddin, Ferhat, Hendra Kasmi, dan Herman RN. Nuril Annissa juga meraih juara Terbaik I kategori penulisan cerita pendek di Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional tahun 2010 ini. Alimuddin, Ferhat, Hendra Kasmi, Herman RN adalah penulis yang karyanya juga telah pernah dimuat di media massa terbitan nasional. Dan kita juga bangga memiliki Fathurrahman yang masih pelajar di tingkat menengah dan karyanya telah pernah dimuat di koran Kompas dan menerbitkan buku.
 
Apakah penulis Aceh tidak lagi memiliki karya untuk dikirimkan dan dipilih oleh Dewan Kurator untuk menghadiri festival ini? Atau apakah penulis Aceh sudah tidak lagi memiliki keberanian untuk mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional?
 
Sekolah Menulis Dokarim -sebagai partner UWRF di Aceh- dan Aliansi Sastrawan Aceh, telah berupaya untuk mempublikasikan secara luas melalui beberapa media baik online maupun cetak dan melalui beberapa acara sosialisasi agar banyak penulis Aceh yang dapat mengirimkan karyanya dan dapat dipilih menjadi salah satu penulis Indonesia yang hadir di festival ini.
 
Dalam kajian post-modernisme, prinsip lokalitas menjadi semakin abstrak. Jika saat ini (mungkin) di benak kalangan penulis Aceh dilanda rasa kurang percaya diri terhadap karyanya, dan malu jika bertemu dengan penulis lain baik dari Indonesia maupun Dunia, maka ini akan membuat karya sastra dan penulis Aceh hanya hidup di daerahnya sendiri!
 
Saat ini, tidak ada lagi istilah untuk menyebut sastra pinggiran, sastra perkotaan, sastra pusat, sastra daerah, dan sebagainya. Batas ruang menjadi semakin imajiner. Contohnya di festival ini, Ubud yang luasnya tidak lebih luas dari Ulee Kareng, menjadi salah satu pusat dari sastra dunia.
 
Azhari mengatakan saat diskusi peluncuran buku “Reasons for Harmony” di tahun 2009 lalu, bahwa “Penulis Aceh membutuhkan akses agar karyanya dikenal tidak hanya di Aceh. Bisa jadi ada penulis sastra kelas Nobel yang lahir dan hidup di pinggiran sungai Krueng Aceh, tapi karena tidak memiliki akses, karyanya tidak dikenal orang”.
 
Akses untuk karya dari proses menulis di antaranya adalah dengan mengirimkan karya kita ke media massa; menulis dan menerbitkan buku; menulis di blog; menulis, menerbitkan, dan mempublikasan karya dalam bahasa Internasional; dan menghadiri pertemuan dengan sastrawan dunia, seperti di UWRF ini, atau Utan Kayu Literary Biennale.
 
Fozan Santa -Rektor Sekolah Menulis Dokarim- mengatakan bahwa “Sangat membanggakan saat kita berdiskusi dengan penulis asing tentang perkembangan dunia kepenulisan dan kesusastraan dunia serta melihat karya kita dapat dinikmati dan dilihat tidak hanya oleh orang Indonesia, tapi juga oleh masyarakat internasional”.
 
Saat sesi diskusi panel, penulis Indonesia akan berkompilasi dan berkolaborasi dengan penulis dari luar Indonesia untuk membicarakan suatu tema atau gagasan tertentu, dan disaksikan oleh peserta dari Indonesia dan luar Indonesia juga tentunya. Beberapa penulis juga membuat peluncuran karyanya dalam rangkaian paket acara festival ini.
 
Beberapa penulis Aceh memang telah menulis dan mempublikasikan karyanya dalam beberapa bahasa seperti D. Keumalawati dengan karyanya “Surat dari Negeri Tak Bertuan” (Letter from a No-Man’s Land), Azhari dengan kumpulan cerita pendeknya “Perempuan Pala” (Nutmeg Woman), dan beberapa puisi dan esainya yang juga telah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Perancis, Jepang, dsb.
 
Tahun 2010 ini, Aceh telah “dikalahkan” oleh banyaknya kehadiran penulis dari Sumatera Barat yang mengirimkan lima orang penulisnya ke festival sastra bergengsi ini. Semoga tahun 2011 nanti akan ada penulis Aceh yang dapat menghadiri festival ini!
***

*) Panitia di Ubud Writers and Readers Festival, Bali, 2009. http://sastra-indonesia.com/2010/10/tahun-sepi-sastrawan-aceh/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar