Tuesday, July 20, 2021

Problem Utama Dunia Sastra Kita

Edy Firmansyah
suarakarya-online.com
 
Problem utama yang paling serius dalam kesusastraan kita ialah menumbuh kembangkan minat sastra pada generasi muda. Bahkan kalau perlu mencuci otak anak-anak muda menjadi setengah sastrawan. Sebab lingkungan mereka (keluarga, sekolah dan mungkin negara) sepertinya punya sikap sinis terhadap sastra dan sastrawan.
 
Dalam keluarga misalnya. Kebanyakan orang tua akan mengutuk diri sepanjang hidupnya kalau akhirnya kecolongan punya anak atau menantu seorang sastrawan. Sebab dimata mereka sastra adalah “bidang pekerjaan” paling gila yang pernah ada. Dan mereka yang nyemplung di dalamnya adalah “orang gila”.
 
Nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan juga tidak jauh beda. Bahkan lebih brutal. Prilaku kurikulum pendidikan kita malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran kesusasteraan masih sebagai bagian dari mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa lndonesia dan porsinya pun hanya 10 persen. Kalau diperguruan tinggi ia hanya bagian dari mata kuliah budaya dasar, porsi materi sastra 0,1 persen.
 
Seakan-akan sastra hanyalah pelajaran sampingan yang jika dalam keadaan mendesak layak untuk ditiadakan. Bebeda dengan matematika, fisika, kimia dan akuntansi. Ironisnya lagi generasi muda seakan percaya bahwa sastra memang tak bisa memberikan apa-apa. Apalagi memberikan titik terang pada masa depannya.
 
Sebenarnya banyak problem lain dalam kesusastraan, tapi ringan. Seperti sempitnya jalan menuju singgana sastra karena system akomodasi yang terlunta-lunta, terutama bagi pemula. Tersumbatnya saluran regenerasi akibat pengapuran yang sengaja dibuat generasi tua dan media massa.
 
Ada juga problem tentang munculnya saluran baru kesusastraan yang sengaja dibuat generasi muda seperti gua bawah tanah dalam perang gerilya karena mampatnya saluran lama, yakni sastra cyber. Yang mana setelah diproklamirkan kemunculannya menjadi perdebatan. Bahkan dituding-tuding sebagai sastra “sampah”.
 
Tapi ini pun masih bukan problem serius. Yang menjadi problem utama kita bagaimana menumbuhkan minat sastra pada generasi muda. Sebab sastrawan generasi tua mulai bengok-bengok bahwa kita kekurangan sastrawan. Dari 1 juta penduduk hanya lahir satu sastrawan. Sedangkan idealnya dari 1 juta penduduk perlu 10.000 sastrawan baru.
 
Ini artinya kita kekurangan juru damai. Dan dampaknya akan sangat menyeramkan; jiwa manusia muda Indonesia akan mudah tersulut dan tenggelam dalam lautan bencana moral yang secara tiba-tiba membesar dan meluluh lantakkan etika negeri ini. Tawuran, pemerkosaan, free sex, pembunuhan dan narkoba yang kerap dilakukan generasi muda setidaknya bisa menjadi bukti kongkret.
 
Ya. Sebab sastra tidak menjadi panji utama penjaga etika di negeri ini. Padahal sastra berfungsi sebagai agen pendidikan membentuk pribadi keinsanan seseorang dan memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban. Fase-fase pemikiran ini jelas memberi pengetahuan bahwa sastra berkaitan dengan pemikiran, pendidikan, dan akal budi manusia.
 
Tegasnya Friedrich Schiller mengatakan sastra semacam permainan menyeimbangkan segenap kemamuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81). Bahkan kalau kita mau melakukan refleksi lebih mendalam bahwa para sastrawan yang kaya secara material murni merupakan hasil jerih payahnya menciptakan karya yang berkualitas. Seorang Joni Andriadinata yang dulunya pernah menjadi tukang becak di Jakarta, kini telah punya rumah sendiri, mobil sendiri karena keseriusannya menekuni dunia sastra. Beda dengan Insinyur sipil yang kaya, kebanyakan karena terlalu besar mengkorup biaya konstruksi. Akibatnya bagunan menjadi buruk. Juga para dokter yang kaya pada umumnya karena ekslotatif terhadap pasien. Tapi mengapa cita-cita anak selalu ingin menjadi dokter atau insinyur. Tidak menjadi sastrawan?
 
Menurut hemat penulis, mungkin karena lambang kesenimanan di Indonesia adalah “binatang jalang” sehingga citra buruk pun terbentuk pada kaum sastrawan atau seniman; kumal, awut-awutan, berambut gondrong, mungkin malah tatoan seperti gali. Nah, penampilan luar inilah yang sering menjadi cercaan public tentang sastrawan.
 
Karena itu, jika kita menginginkan generasi muda punya minat terhadap sastra atau malah tertarik menjadi sastrawan, mengapa tidak mulai dari sastrawan atau seniman itu sendiri melakukan perubahan. Yakni dengan merubah penampilan luar para sastrawan ketika muncul dihadapan public. Dengan menyesuaikan cara berprilaku orang kebanyakan. Tujuannya untuk membangun citra positif bahwa tak semua sastrawan memilih jalan Chairil Anwar.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/05/problem-utama-dunia-sastra-kita/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar