Tuesday, July 20, 2021

Membelah Septum Sastra

Soegiharto
lampungpost.com
 
Tidak dimungkiri kenyataan sastra kini hanya berkembang di kota-kota. Tokoh-tokoh sastra kita kebanyakan tinggal di daerah urban. Demikian pula dengan penikmatnya. Tidak heran kalau Arief Budiman pernah mengatakan kalau sastra Indonesia merupakan sastra kota.
 
TENTU Arief tidak sembarang bicara, karena hampir seluruh karya sastra kita muncul dan syiar hanya di kota-kota. Senada pendapat Arief, pada Temu Sastra ’82 Arifin C. Noer tak gamang mengatakan kalau sastra kita adalah sastra borjuis. Kenyataan kalau sastra juga harus dihidupi dan sumber penghidupan itu ada di kota. Pas. Lantas, haruskah sastra kita hanya berkembang di sana? Pastilah sastra kita akan mandek dan sumpek. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal di daerah. Ibarat orang lapar: nasi sesuap diharap, sepiring terhidang dibuang.
 
Sungguh memprihatinkan, penduduk Indonesia yang hampir seperempat miliar semestinya menjadi jaminan investasi bagi karya sastra. Seandainya sastra kita tidak terjebak di daerah urban. Dan sepatutnya sastra Indonesia bicara banyak di khasanah sastra dunia. Saat menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia, H.B. Jassin mengatakan kalau sastra Indonesia sudah mulai masuk dalam khasanah sastra dunia. Itu memang tidak mengada-ada, pantas, dan sepatutnya. Tetapi kata “mulai memasuki” memberi arti sastra Indonesia masih bayi. Masih merah. Masih harus merangkak, berdiri, kemudian berjalan agar bisa disebut bocah.
 
Untuk tampil mendunia, sastra Indonesia harus meningkatkan bobot. Dan, hal itu tidak akan terjadi jika di negeri sendiri sastra Indonesia mandek, terkurung. Belenggu harus dibebaskan agar sastra kita maju. Estimasi sastra kota harus didobrak dan septum sastra dibelah. Kemudian mengalirkan darah kesusastraan kita ke seluruh wilayah Indonesia. Niscaya sastra kita lebih membumi. Mempunyai ciri dan mampu menepuk dada di kancah dunia.
 
Realita
 
Seorang teman pernah mengeluh. Pasalnya, setelah selesai kuliah dia ditugaskan di daerah. Katanya di daerah sangat sulit mengembangkan kepenulisan apalagi bagi pemula. Teman itu rupanya kehilangan optimisme. Alasannya sederhana dan realistis. Pertama, kesulitan menembus media sebagai akibat sastra yang mengota. Asumsi bahwa masyarakat kota jauh berpendidikan lebih punya potensi. Kedua, pusat informasi, referensi dan event-event sastra masih terfokus di kota-kota. Ketiga, kurang berkembangnya media di daerah. Keempat, masih ada asumsi penulis asal kota penerbitan lebih mendapat prioritas. Alasannya penulis kota lebih mudah mengontrol naskah, ada relasi, punya status, aktivis perhimpunan atau hal lain.
 
Sementara itu, konsep penciptaan sastra terus dipermasalahkan. Sejak Manikebu (Manifes Kebudayaan), hingga usaha untuk membangun kembali konsep Manikebu di penghujung tahun 1992 yang kemudian dikenal dengan Neo-Manikebu. Konsep ini pun masih banyak ditentang, dan salah satunya Sapardi Djoko Damono. Katanya, “Bukan Neo-Manikebu yang dibutuhkan dunia kesusastraan Indonesia, melainkan pengarang-pengarang cendikia”. Ada catatan menarik, pembicaraan sastra Indonesia oleh para cendikia terjadi di luar Indonesia. Tanggal 28—31 Mei 1998, lokakarya diselenggarakan di Centre for Performance Studies dengan hibah dari Faculty of Arts pada Sydney University. Dan sebuah hibah dari Australia Research Council untuk penelitian tahun 1999—2001.
 
Membelah septum sastra memang bukan perkara mudah. Perlu perhatian dan kesadaran banyak orang. Terutama mereka yang berkubang di dunia sastra penulis, pemerhati, redaktur, dan guru bahasa. Yang terakhir sangat diharapkan karena jumlah mereka banyak dan tersebar di seluruh wilayah. Uluran tangan pemerintah sangat berperan. Misalnya dengan membentuk lembaga, mengadakan lomba, memfasilitasi event-event sastra, dan sebagainya.
 
Jangan Gerah
 
Kita tak perlu gatal-gatal dengan empat sandungan di atas. Sudah semestinya seorang penulis membebaskan diri dari segala belenggu. Karena di mana pun sastra boleh tumbuh. Sastra bukan monopoli kota. Septum sastra harus dibelah agar khasanah sastra lebih kaya. Jika dalam kondisi tidak menguntungkan, seorang Chairil Anwar mampu mendobrak dunia kepenyairan Indonesia. Itu karena Chairil Anwar tidak gerah dengan kondisi, bahkan dia “ingin hidup seribu tahun lagi”.
 
Untuk menjadi pengarang yang tinggal di daerah tidak sendirian. Banyak pengarang terkenal di Indonesia yang tinggal di daerah. Sebut saja seperti Chairul Harun (Sumatera Barat), Zawawi Imron (Madura), Putu Arya Tirtawirya (Lombok), dan Beni Setia (Jawa Timur). Mereka membuktikan daerah bukan halangan untuk menjadi pengarang. Sekaligus sebagai bukti bahwa sebenarnya sastra bukan monopoli kota. Sastra lahir sebagai hasil peradaban di mana pun tempatnya.
 
Bagi pengarang, menelorkan karya berbobot itu yang penting. Tentu semua itu tidak mungkin diperoleh begitu saja. Perlu belajar dan berlatih terus-menerus. The Liang Gie dalam buku Pengantar Dunia Karang-Mengarang dengan segar memberi nasihat: Kalau mau menjadi pengarang produktif, jangan menunda aktivitas kepengarangan kita dengan dalih udara panas, tetangga berisik, mesin tik tidak diservis, dan badan terasa gatal-gatal.
 
The Liang Gie tidak bergumam dengan kata-katanya, karena malas memang “penyakit mencari alasan” yang susah disembuhkan.
 
Menghidupkan sastra di daerah berarti pula membangun fondasi sastra Indonesia di pelataran sastra dunia. Sebab, bibit pengarang tidak lagi lahir dari minoritas kota, tetapi dari seluruh penduduk Indonesia. Setelah itu H.B. Jassin boleh berharap pidato gelar doktornya diteruskan.
 
Sastra Indonesia sudah mulai masuk khasanah sastra dunia dan akan menjadi anggota sastra dunia yang sangat diperhitungkan. Itu bukan angan-angan jika saja kita mampu membawa sastra ke desa-desa, membuat tumbuh, dan semarak di sana.
 
Sebuah desa di dekat Oxford pernah melahirkan novelis besar Amerika penerima Nobel 1949, William Faulkner. Sang pengarang ini lahir dan meninggal di sana. Boris Pasternak, pengarang novel Dr. Zhivago yang menerima Nobel tahun 1958, lebih sering tinggal di desa di luar kota Moskwa. Dan setelah enam tahun terakhir, Nobel jatuh pada sastrawan Eropa, akhirnya Nobel Sastra 2010 diterima Mario Vargas Llosa kelahiran Arequipa (Peru). Penyair Abdul Hadi W.M. pernah berniat membuka pesantren di luar kota Sumenep, dan berharap dapat membantu sastra masuk desa. Mengapa kita tidak?
***

*) Soegiharto, pembaca sastra. http://sastra-indonesia.com/2011/04/membelah-septum-sastra/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar