Tuesday, July 20, 2021

Estetika Tubuh dan Teater Eksperimental

Marhalim Zaini *
riaupos.com
 
Eksposisi tubuh manusia sebagai refleksi filosofis dari ruang-ruang pergulatan estetis, terkhusus dalam dunia seni teater, telah mencuat demikian mencolok pada beberapa dekade akhir abad ke-20. Sebagaimana yang terjadi dalam lingkungan visual keseharian kita, di mana tubuh hadir dalam citraan-citraannya yang kompleks “baik dalam posisinya sebagai kebutuhan primer maupun dalam kerangka konsepsi filosofis” demikianlah pula teater telah “mencincang” tubuh menjadi racikan “daging-daging” estetis yang beragam bentuk dan warna.
 
Fenomena penelanjangan tubuh manusia misalnya, sebagai sebuah ungkapan perlawanan terhadap keyakinan modernisme, terutama pada logika liniernya tentang disiplin tubuh, telah menunjukkan betapa teater modern kita telah begitu mengeksplorasi sosok tubuh, baik dalam konteks tubuh fisik yang menjelajahi tema-tema sosiologis-antropologis, maupun penggalian makna tubuh dalam kerangka filosofis-teologis, dalam hubungannya dengan dunia psikis. Keyakinan terhadap tubuh manusia sebagai proyek dalam mambangun sebuah peristiwa di atas panggung teater, telah melahirkan obsesi untuk memproduksi tubuh dalam metafora-metafora artsitik yang mendobrak batas-batas.
 
Untuk study kasus, Biografi Yanti Setelah 12 Menit dari Teater Sae yang dipentaskan di tahun 90-an, barangkali dapat memperjelas wacana dehistorifikasi dari identitas-identitas tubuh manusia secara kultural. Penelanjangan tubuh dalam reportoar ini, secara eksplisit menghadirkan pesan atas kenisbian batasan-batasan tubuh manusia dalam atribut sosialnya.
 
Bahkan lebih ekstrim, identitas kelamin dihancurkan. Sehingga yang tampak adalah tubuh-tubuh polos tanpa identitas subyek yang mencari kebenaran dalam realitas kemanusiaannya sendiri-sendiri. Atau pada reportoar Konstruksi Keterasingan (sutradara Boedi S Otong, 1983), yang memperlihatkan tubuh purba manusia “ditelanjangi” oleh besi hitam teknologi. Barangkali juga, postulat “kebenaran yang telanjang” dari metafor ketelanjangan dalam dunia seni rupa orang Yunani, dapat pula dipadankan di sini.
 
Lalu tengoklah juga pada produk Teater Kubur semisal Sirkus Anjing (1990) dengan tubuh-tubuh manusia sakit dalam drum-drum besi yang pengap. Atau juga pada Tombol 13, di mana identifikasi tubuh manusia di atas gelanggang teater sama posisi dan derajatnya dengan benda-benda. Sosok real tubuh begitu luluh dalam dunia citraan benda-benda, seperti kursi, tong sampah, kawat listrik, besi beton, sampah-sampah dan lain sebaginya.
 
Pada Teater Rendra pula, terutama pada Bip Bop, Piiieeepp, Sssttt, Rambate-rate-rata, tampak lebih menegaskan tentang posisi aktor sebagai pusat dalam peristiwa teater di atas panggung, tubuh aktor bukanlah mesin kendaraan kata-kata, melainkan tubuh dikembalikan ke dalam barisan mekanistik kemanusiaannya yang na?f menuju sebuah kesadaran akan bahaya dehumanisasi yang sedang melanda masyarakat modern.
 
Di manakah pula ruang bagi tubuh-tubuh manusia yang dibalut perban oleh Ray Sahetapy dalam pertunjukannya berjudul Gogil = Kau + Dia – Aku di tahun 1991. Pertunjukan yang berlangsung dalam sebuah rumah ini, sengaja melepaskan makna orientasi ruang bagi tubuh-tubuh yang rusak, tubuh yang didistorsi oleh kehidupan rutin yang kian tak berbentuk. Lalu Teater Mandiri dengan penggunaan kostum yang jauh dari kriteria bentuk tubuh manusia, adalah semacam representasi bagi remuknya tubuh oleh kekerasan demi kekerasan yang terjadi di lingkaran kehidupan manusia, yang dalam bahasanya Afrizal Malna, maksimalisasi tubuh manusia yang dipompakan sedemikian rupa, menjelaskan adanya “kegoyahan personifikasi,” di mana tokoh tidak menemukan dirinya sendiri di atas panggung.
 
Barangkali demikianlah kecenderungan pada kebanyakan pertunjukan teater sepanjang dekade 70 -80-an, terutama 90-an. Selain Putu Wijaya dengan Aduh atau Anu-nya, kita dapat pula mencermati Arifin C Noer dalam beberapa karyanya, lalu Teater Kail, Teater Luka, dan sejumlah teater setelahnya. Sampai sekarang, kita pun menyaksikan Rahman Sabur dengan Payung Hitam-nya membawa tubuh pada kemungkinan-kemungkinan terjauh dari bentuk artistiknya. Teater Garasi pun kemudian, dengan dua reportoar dalam proses panjang pencariannya, seperti dalam Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan dan Waktu Batu, tampak lebih mengembangkan tubuh sebagai bahasa komunikasi yang puitis. Atau pada banyak kelompok teater modern yang hidup dalam lingkungan kampus, tubuh telah demikian menjelma menjadi media yang tak habis-habisnya digali dan dimaknai.
 
Di Riau, hemat saya, upaya-upaya eksplorasi atas penolakan estetika maenstream utama, yang dikerjakan oleh Suharyoto Sastro Suwignyo dengan Meta Teater-nya adalah juga terkait dengan paradigma “Teater Eksperimental” itu. Tubuh, dalam nomor-nomor pergelarannya lebih hadir sebagai “sesosok” benda-benda yang kerap berkomunikasi dengan cara dan bahasanya sendiri. Pun, setahu saya, dulu Dasri Al Mubary telah juga melakukan upaya-upaya eksplorasi tubuh sejenis. Meski terasa lebih dekat rujukannya dengan gaya Rahman Sabur atau Dindon.
 
Sampai di sini, tampaknya tubuh pun sedang diusung dalam lingkaran paradigma Teater Eksperimental. Namun, ketika media eksperimentasi telah demikian terfokus pada konsepsi tubuh sebagai (satu-satunya) bahasa ungkap gagasan-gagasan estetik dalam koridor maenstrem Teater Eksperimental -terlepas dari keremang-remangan istilah Teater Eksperimental secara definitif- maka sesungguhnya wilayah kreativitas menjadi terbatas. Konsepsi tubuh modern yang telah demikian hancur pemahaman atasnya, hanya akan menggiring persepsi pekerja teater pada kebuntuan-kebuntuan terminologis, sehingga berdampak pada reproduksi gagasan; mengulang-ulang sesuatu yang sesungguhnya telah selesai.
 
Apakah benar asumsi tentang tidak ada manusia berarti tidak ada peristiwa teater? Sehingga tubuh begitu mendominasi dalam upaya penggalian estetika dalam dunia teater. Lalu bagaimana dengan realitas tubuh manusia dalam dunia citraan sibernetik. Apakah tak berkemungkinan peristiwa teater hanya menghadirkan mesin-mesin yang berderak-derak, berdengung, berdering, bahkan berbicara serupa halnya manusia. Atau Teater Eskperimental macam apakah bentuknya ketika kini kesadaran manusia tentang batas antara dunia imajiner alias simulasi artifisial dan dunia real, kian semakin mengabur?
***

*) Sastrawan dan pekerja seni. Menulis berbagai genre sastra. Kini sedang studi pada Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. http://sastra-indonesia.com/2010/09/estetika-tubuh-dan-teater-eksperimental/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar