Timor Express, 9 Mar 2014
Pada terbitan Harian Jawa Pos, 19 Januari 2014, saya membaca cerpen Ilham Q. Moehiddin yang berjudul Nisan Kosong. Hanya dengan melihat ilustrasi yang menyertai cerpen sebelum tenggelam ke dalam cerpen tersebut, saya jadi ingat tradisi perburuan paus di Lamalera.
Saya ingat, jauh sebelum cerpen ini terbit di Jawa Pos, pada 26 September 2013, saya dan beberapa teman dari Komunitas Sastra Dusun Flobamora diundang untuk menyaksikan sebuah pementasan kecil dimotori oleh sekelompok seniman dari Yogyakarta dan Aceh bekerjasama dengan Museum Daerah Propinsi NTT berjudul Koteklema dan Ksatria Laut Lamalera di kompleks SMA Katolik Giovanni. Salah satu tujuan pementasan ini adalah untuk menarik minat masyarakat—terutama kaum muda—untuk semakin sering mengunjungi museum. Pentas yang menggabungkan story-telling, drama, tarian dan nyanyian ini didukung juga oleh peran beberapa siswa dari SMAK Giovanni, SMA Muhammadiyah, SMK Negeri 1 dan SMA Negeri 3 Kota Kupang. Pentas ini mengangkat kembali mitologi yang menceritakan situasi awal masyarakat Lamalera berburu paus. Salah satu adegan dalam pementasan menunjukkan kepercayaan awal masyarakat Lamalera bahwa paus merupakan kerbau yang terlepas dan lari ke dalam laut.
Sebagai proyek, saya pesimis tujuan penyadaran dari pementasan ini tercapai. Selain karena digarap dengan waktu yang relatif singkat, pendalaman naskah yang tidak maksimal dari para tokoh yang terlibat membuat pementasan ini hadir ala kadarnya. Kembali ke Nisan Kosong, cerpen ini mengingatkan saya akan tradisi perburuan paus di Lamalera karena pelukisan suasananya.
Tentang “Nisan Kosong”
Nisan Kosong merupakan cerita yang dipenggal ke dalam empat fragmen dengan alur yang tidak linear tapi mudah dipahami, mengisahkan tentang dua orang lelaki yang berjuang memenuhi kebutuhan makanan keluarga mereka di musim dingin dengan membunuh ikan paus, yang dagingnya juga dinikmati seisi desa. Di sebuah tempat antah-berantah, di tengah musim dingin yang mengepung, Edgar dan Allan ayahnya memutuskan untuk berburu ikan paus demi mengalahkan lapar dan paceklik bahan makanan yang dihasilkan musim dingin berkepanjangan.
Demi Clara istrinya dan Ilyana sang putri, Allan bersama Edgar putranya bertarung mengalahkan dingin untuk menjebak seekor ikan paus ke mulut teluk. Dalam Nisan Kosong, dua ekor paus berhasil dibunuh. Nyawa paus pertama tumpas di bawah mata belati Allan. Nyawa paus kedua dilenyapkan kelompok nelayan lain. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, Edgar menguburkan belulang kedua paus itu di dua buah makam yang ditandai dua buah nisan kosong.
Beberapa pesan dapat dipetik dari Nisan Kosong; dari isu tentang lingkungan, satir terhadap budaya hingga potret simbolik manusia yang berubah dari sosok yang berjuang memenuhi kebutuhan menjadi makhluk yang serakah dan ingat diri. Ucapan Allan kepada Edgar sebelum pembunuhan paus pertama kian mengingatkan saya pada tradisi perburuan paus di Lamalera, “Daging terbaik adalah daging ikan paus yang diasapi. Minyak dari lemaknya juga sangat baik.” Bagi saya, sejumlah pesan kuat yang dapat dipetik tidak diimbangi dengan penggarapan suspens dan logika cerita yang maksimal, sehingga pada beberapa bagian, cerpen ini nampak tergesa-gesa dan nirlogis. Bagian yang berpotensi diolah menjadi konflik yang lebih dalam—misalnya eksplorasi psikologis Edgar dan Allan menghadapi kepungan musim dingin di tengah laut demi menaklukkan seekor raksasa laut—justru digarap dengan sangat minimal.
Seminggu setelah cerpen ini dipublikasikan di Jawa Pos, saya menerima pesan singkat dari penulisnya bahwa cerpen tersebut terinspirasi dari tradisi perburuan paus di Lamalera yang pernah dikunjunginya pada tahun 2004. Ilham Q. Moehiddin kini berdomisili di Kendari. Ia seorang kontributor tulisan untuk beberapa media di Indonesia, baik cetak maupun online, juga seorang prosais yang produktif dan meraih penghargaan dalam sejumlah sayembara menulis. Saya mengenalnya sejak Ubud Writers and Readers Festival 10-16 Oktober 2013 di Bali. Dalam pesan singkat tersebut, ia sempatkan bertanya, “Bagaimana tanggapan teman-teman komunitasmu tentang cerpen Nisan Kosong?” Saya menjawab dengan malu, “Kami tidak sering mengikuti perkembangan cerpen di Jawa Pos, Bang. Jadi, kami jarang mendiskusikan cerpen-cerpen yang terbit di sana.”
Nisan Kosong dan Sastra NTT
Bagi saya, salah satu kiat seorang penulis untuk mengasah kemampuan menulisnya adalah dengan memperluas medan bacaan sekaligus menjadi pembaca yang kritis demi mempertajam visi menulisnya. Pertanyaan Ilham di atas, adalah sebuah peringatan yang juga ditujukan untuk siapa saja yang menulis. Perluasan medan bacaan juga ditandai dengan variasi bacaan yang dicerna. Memberi tanggapan terhadap sebuah bacaan berarti menjadi pembaca yang kritis. Hal ini yang masih belum secara maksimal dilakukan oleh komunitas kami yang ironisnya berlabel ‘Komunitas Sastra’.
Jika pun cerpen Nisan Kosong kami diskusikan, akankah kami mengelompokkannya sebagai bagian dari “sastra NTT”? Saya kembali pada rumusan Yohanes Sehandi tentang “sastra NTT”. Menurut Sehandi, sastra NTT adalah sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan oleh orang NTT dengan menggunakan media bahasa Indonesia.” Ia kemudian mencontohkan novel Lembata (2008) karya F. Rahardi dan puisi Beri Daku Sumba (1970) karya Taufiq Ismail. Bagi Sehandi, kedua karya tersebut adalah bagian dari “sastra NTT” karena berbicara tentang NTT, tentang masyarakat dan kondisi alam dan geografis NTT, meskipun tidak dihasilkan oleh orang NTT (Sehandi, 2012: 12-13).
Rumusan Sehandi tentang “sastra NTT” sendiri, bagi saya, masih bersifat polemis, terutama jika ditarik ke sejumlah karya yang dijadikannya sebagai contoh. Lembata (2008) yang ditulis oleh F. Rahardi, misalnya, meskipun banyak menyelipkan informasi geografis dan sosiologis tentang Kabupaten Lembata, bagi saya, tetap saja tidak digarap dengan latar-belakang kultur penulis NTT apalagi ketika memasuki bagian dialog antar-tokoh. F. Rahardi menyelipkan beberapa baris kalimat bahasa Jawa di tengah percakapan antara Pater Fransiskus Bagun dan Romo Zebua. Ketika ditanya oleh Pater Fransiskus Ekonom Keuskupan Ruteng, “Romo ini sebenarnya Flores atau Batak?” Romo Zebua yang ditokohkan sebagai pastor berdarah asli Lio malah menjawab dengan bahasa Jawa, “Kulo niki Jowo, Pater. Seminari Menengah wonten Mertoyudan, mlebet Projo Larantuka, Seminari Inggil wonten Kentungan, lajeng dados romo paroki wonten Lembata mriki. Kados pundi Pater?”
Jika bahasa Jawa berani diselipkan F. Rahardi dalam percakapan antara dua orang NTT yang ditokohkannya dalam novel, mengapa ia tidak berani menyelipkan dialek Melayu-Lembata pada percakapan tokoh-tokoh yang lain, seperti percakapan antara Pedro dan Romo Zebua, dua orang NTT yang sama-sama hidup di Lembata, dan malah memilih menggunakan format percakapan bahasa Indonesia yang baku? Bagi saya, novel ini tidak secara mendalam melukiskan Lembata dan kelembataan yang salah satu aspeknya termanifestasi dalam dialek. Meskipun pada tataran deskripsi F. Rahardi banyak menuliskan tentang Lembata, hal tersebut tidak mutlak menentukan ihwal Lembata dan ‘kelembataan’ mesti dilibatkan dalam urusan pemaknaan.
Contoh lain adalah puisi Beri Daku Sumba (1970) yang ditulis oleh Taufiq Ismail. Dalam kumpulan puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” (cetakan kelima, 2004), Beri Daku Sumba dan 99 puisi lain, bagi saya, adalah pelanjutan tradisi lirih Melayu-Sumatera yang ditinggalkan oleh Amir Hamzah (bandingkan dengan kumpulan puisi Amir Hamzah “Nyanyi Sunyi” dan “Buah Rindu”), meskipun Beri Daku Sumba sendiri ditujukan untuk Umbu Landu Paranggi, seorang penyair asal Sumba. Ketika pertama kali membaca puisi tersebut semasa SMA, yang saya bayangkan justru bukan Sumba, melainkan Uzbekistan—lokasi yang menginspirasi Taufiq untuk menulis puisi tersebut.
Dua contoh karya tersebut, yang dikatakan oleh Yohanes Sehandi, sebagai “sastra NTT” dan “sastra tentang NTT” tidak harus disebut “sastra NTT” apalagi “sastra tentang NTT”. Sebab, menurut saya, pelabelan “sastra NTT” atau “sastra tentang NTT” dalam dua contoh yang diangkat Sehandi baru bisa terjadi pada medan pemaknaan, dan bukankah otoritas pemaknaan tidak bergantung pada hanya satu pihak? Melabelkan “sastra tentang NTT” pada dua karya tersebut hanya akan mempersempit medan pemaknaan yang pada akhirnya juga berarti melakukan represi pada tataran teks. Bukankah bentuk represi pemaknaan adalah hal yang paling awal ditolak dalam kesusastraan demi membuka kemungkinan tak terduga terhadap eksplorasi kebahasaan?
Maka, meskipun merasakan anasir tradisi perburuan paus Lamalera dalam cerpen Nisan Kosong ditambah pengakuan langsung dari penulisnya, saya tetap enggan menggolongkan cerpen tersebut ke dalam “sastra NTT” atau “sastra tentang NTT”. Pelabelan “sastra NTT” dan “sastrawan NTT”, bagi saya, berpotensi menjebak, ibarat menyiapkan sebuah kubur dengan nisan dan tatahan epitaf untuk menjelaskan riwayat kehidupan yang telah menjadi bagian dari kenangan. “Sastra NTT” atau “sastrawan NTT” tidak boleh ada sebagai monumen yang diam, melainkan sebagai sebuah proses yang hidup dan kerja yang tak kenal lelah.
***
*) Mario F. Lawi, seorang penulis dan penyair Nusa Tenggara Timur (NTT). Namanya tentu akrab di telinga para penikmat sastra di NTT. Mario lahir di Kupang, 18 Februari 1991. Ia dinobatkan sebagai Tokoh Seni versi Majalah Tempo, bidang Sastra Puisi tahun 2014. Buku kumpulan puisinya, Ekaristi (2014) dikukuhkan sebagai buku sastra puisi terbaik 2014 dan ia diganjar Academia Award 2014 kategori Literatur. Bersama beberapa kawannya, ia mendirikan Komunitas Sastra Dusun Flobamora di Kupang, pada 19 Februari 2011. Komunitas ini bergerak di bidang penulisan esai, puisi, cerpen, dan resensi buku. Setahun kemudian, pada 12 Mei 2012, komunitas ini menerbitkan Jurnal Sastra Santarang dan Mario menjadi Pemimpin Redaksi pada jurnal yang terbit rutin setiap bulan ini. Tiga buku puisi Mario adalah Memoria (2013), Ekaristi (2014), Lelaki Bukan Malaikat (2015). Esai Mario F. Lawi yang sedang Anda baca ini telah dipublikasikan di Harian Timor Express, Minggu 9 Maret 2014. http://sastra-indonesia.com/2017/11/sastra-ntt-nisan-kosong-dan-epitaf-yang-belum-ditatah/
No comments:
Post a Comment