DI BAITURAHMAN
Tunduk keningku digerbang yang tertutup pagar
Gelandangan dan pengemis menadah waktu
Aku terisak diserambi lantaimu
Mengintip mihrab ruang sujud dan tawajuh
Jubah kebesaran seorang imam
Pagar besi menahan lenguh lapar, desah dahaga
Menyebutmu dengan getaran malam
Pun suara burung menggugah kubah yang tersamar
“Malam ini, rumahmu bukan rumah bagi kami,
para perindu yang senantiasa memanggilmu”
Bekas telapak tangan di sajadah hitam terhampar
Jika kuukir monumen
dari suara ruh yang menyerumu bersamaku
Apakah akan terbuka juga akhirnya gerbang besi itu?
Kedua tangan yang terangkat
dengan lafal kuat menghentak
Aku terbang didalamnya menyentuh kata-kata
Kepada sahabat yang menitipkan raganya
Gerak jariku meraba, sampai dimana kaki pengembara
Menjelajah negeri yang mengibarkan sunyi
Di Baiturahman wajahmu terhampar
Di bumi yang mendendangkan rintihan sebagai hujan
Banda Aceh November 2007.
MONUMEN KEMATIAN
Siapa terkubur, siapa mengubur
Diundakan pintu aku menadahkan kepalaku
Memandang gelap langit malam
Dan renteng doa tak henti menyapa
Dari bibir waktu
“Kau dengar suara pilu dari detak angin
yang menyentuhmu?”
Tanyaku pada pada basah bumi
Dengan serpihan hati
Aku berdiri diatas tangis dan teriakan
Jerit dan ratapan membayang
Untuk apa dibangun monument kematian ini
Jika bukan untuk mengingatkan kebesaran tunggal
Pemilik segala kehidupanTapi kerendahan hati menjadi langka
Senyum terasa mahal dan menyiksa
Bagi nyawa yang masih meraba dan menduga
Lenyaplah malam saat kata-kata menjadi biang
Dan monument kematian
Hanya batu yang menanda
Siapa terkubur, siapa mengubur
Ulee Lheu, November 2007.
MANTRA BIKSU TUA DI KUIL PNOMPENH
Langkah kaki tanpa sepatu menapak bumi
Sehelai kain menandai
Dengung mantra dari bibirmu
Mengeratkan waktu dengan jarimu
“Menjadi Budha, menjadi Budha.”
Tapi genggam tanganmu, biksu
Terlepas oleh bedil
Tangan dan lehermu terpahat parang dan kelewang
Gelembung darahmu melukis bumi
Keriuhan mengalir cekam sunyi membumbui
Pohon-pohon besar yang menaungimu, biksu
Mendendangkan mantra untukmu
Saat engkau dibawahnya terbujur tanpa kepala
Daun-daunnya bergerak seirama tembang
dari gaung genta
Mengantar ruhmu ke surga
Disudut jembatan kota matamu terbuka
Melihat pancang kepala para biksu tua dan muda
Yang terjejer rapi
Instalasi bekunya hati
Lalu hening hari membungkus
Kuilmu terberangus
Telapakmu bertemu
Henti didada
Di kuil tua engkau merapal mantra
Mendendang doa bagi cinta
Jogja 2007.
DITELUK KENDARI
Matahari-matahari,
Begitulah engkau menyapaku lewat senja
Saat rambut bakau memerah diteluk kendari
Dan gerak angin yang mendesir mengeliatkan pasir
Gumpalan tanah berwarna yang menutup rawa-rawa
Engkau memanduku dengan deru
dan raung hati yang berbunga
Kita duduk menyaksikan gelombang
Kebisuan kita adalah tegur sapa
“Jika malam engkau menjadi bulan.
Aku melihat purnama dilangit-langit matamu.”
Suaramu menggugah rasa yang tertimbun belukar
Kering sudah dedaunan, pun air bagi ikan
Matahari-matahari,
Kembali engkau menyapaku setiap malam
Kala bisik angin dan dedaunan menyiratkan makna
Tentang pertemuan dan percakapan lampau
Layar perahu menampar arah
Dayung mendesir menggugah laju ke hilir
Dipagar laut kita memandang riak
Menyentuh lumpur dan daun
Jimat yang tertempel dipintuMenggugah rindu
Matahari-matahari,
Senantiasa engkau menyapaku
Puja kata yang hidup dari dering dan sinyal
Dikedalaman tapak yang tergariskan
Jogja 2007.
MENABUR TEH
Kesetianku menabur teh ditanah pagi hari
seakan menumpuk
Lembar demi lembar rindu bagi adenium sepi
Terawang wajahmu dalam gembur dan basah bumi
Memikat angin membuahi
Dimanakah matahariku hari ini?
Telunjuk semesta berputar mencari gawang
Berhenti saat dengung angin terdengar garang
“Akulah penakluk badai penggempur awan
raga sunyi bagi kepedihan!”
Pikuk pagi menabuh membuka layar
Engkau menapak dua jarak
Bilakah terpikir olehmu untuk sekejap
bertatap lumpuhkan hasratTapi jariku mencatat
Liuk akar
Putik binar
Lekuk bunga
Mengerjap sabda
Kesetianku menabur teh ditanah pagi hari
Laku musashi memaknai
Kelebat cepat tajam pedang
Penari gipsi melempar
Tarot peramal
Jogja 2007.
http://sastra-indonesia.com/2009/01/puisi-puisi-evi-idawati/
No comments:
Post a Comment