Lembar-Lembar Cahaya
Lembar cahaya
dibuka satu demi satu
menyibak rahasia
ke rahasia berikutnya
Dayang-dayang malam
mengipasi bumi dengan hujan buatan:
hujan bintang-bintang,
dan serbuk cahaya bulan
Aku membuka lembar cahaya
pada lembar ke-11 almanak qamariyah
rehat sejenak, seteguk dzikrayat
perjamuan untuk syaikh dari Jilan
tapi harus kubuka selembar lagi
agar tiba di tanggal lahir sang Nabi
Hai,
kini aku tiba di lembar cahaya itu
saat ada bayang-bayang tak terlihat
melintas di atas karpet merah bulan Maulid
mengiringmu membacakan puisi tak sembarang puisi
burdah-barzanji, puisi shalawat nabi
Shallu ‘ala Muhammad!
Allahumma shalli wa sallim wa barik alaih
16/2/2010
Andai Ayahku Masih Ada
Pernahkah engkau menangis untuk ayahmu?
selagi dia di dekatmu, menangislah
pikirkan semua amal kebajikanmu
lalu takarlah dengan kebaikannya
Pernahkah engkau bekerja untuk ayahmu?
selagi dia di dekatmu, berbuatlah
andai seluruh hidupmu kaupersembah
belum cukup bekerja menukar upah
Pernahkah engkau berpikir untuk ayahmu?
selagi ada kesempatan, berpikirlah
karena jika ia mendahuluimu
engkau hanya akan diganggu pikiran itu
Kini, ayahku telah tiada
aku menangisi kepergiannya
tapi ia tak mendengar tangisku
karena isak dan air mataku
hanya menggema di telingaku sendiri
Aku tak menghendaki kepergiannya
tapi maut menjemput
memberi tahu aku laksana mimpi
dan kepergian ayahku sebagai kesadarannya
Pernahkah engkau menangis untuk ayahamu?
karena ia bekerja untuk menghidupimu dan
engkau hidup tanpa berterima kasih padanya?
berpikirlah, menangislah, dan bekerjalah selagi bisa
itulah cara yang baik mencicil kebaikan
karena sesungguhnya,
seluruh hidupmu adalah utang
yang tidak mungkin lunas akan terbayar
7/12/2007
Di Maqbarah Tebu Ireng
Aku mencium karomah, di sini
wewangian yang tersedak
manakala aku terlalu dalam menarik napas
tapi terlalu menyengat
kalau kubiar saja melintas
Di maqbarah ini,
betapa tubuh jadi kaku
melihat senarai nama-nama aulia
ulama-ulama yang berjuang membela negara
ataupun yang gugur melawan kebodohan
Santri yang membaca dan menghapal Al-Quran
para tamu, dan juga mereka
yang berada di luar batas penglihatan
berkumpul di sini, di maqbarah ini
Aku bergidik:
adalah ilmu sebagai tanju
merawat si empunya dari gelap waktu
aku menakik:
adalah istiqamah ‘ainul karomah
kemuliaanlah bagi seisi maqbarah
Tiba-tiba, serasa seseorang menepuk bahuku
saat meninggalkan tempat itu
seolah melarangku pergi
“Hendak ke mana?”
aku tak menjawab dan terus melangkah
ke luar areal maqbarah
menjejak, tertunduk memandang ke bawah
“Alangkah bahagia engkau, Tanah
menjadi maqbarah waliyullah?”
23/8/2008.
http://sastra-indonesia.com/2010/03/puisi-puisi-m-faizi-4/
No comments:
Post a Comment