Friday, July 23, 2021

Haiku dan Kematian

Mario F. Lawi *
Pos Kupang, 8 Jan 2015
 
PAYA tua beradu cendera/Tersingkir, sunyi./Katak terjun, plung. Demikian salah satu terjemahan Amir Hamzah atas haiku yang diciptakan Matsuo Basho (1644-1694) pada tahun 1686 dalam kumpulan karya terjemahannya Setanggi Timur (1939). Tujuh tahun setelah mengumumkan Setanggi Timur, Amir Hamzah tewas dibunuh dalam sebuah tragedi di kesultanan Langkat. Dalam sebuah esai berjudul “Haiku” (Kompas, 16 Oktober 2005), Hasif Amini mengutip sebuah terjemahan atas haiku tersebut menjadi seperti ini: Kolam tua/Seekor katak terjun/Plung.
 
Haiku, yang dirintis oleh Basho, dalam perkembangannya memengaruhi sejumlah penyair dan gerakan sastra dari berbagai belahan dunia. Gerakan imajisme yang dipelopori Ezra Pound serta Beat Generations adalah contohnya, yang di dalamnya terdapat nama-nama seperti Yone Noguchi (1875-1947), Allen Ginsberg (1926-1997) dan Jack Kérouac (1922-1969). Jika ditarik ke masa yang lebih dekat, ada sastrawan sekelas Tomas Tranströmer (1931-sekarang) peraih Nobel Sastra 2011 yang juga tergoda untuk menulis haiku.
 
Pengertian sederhana haiku dapat ditarik dari contoh yang dikemukakan. Haiku adalah tiga larik pendek yang semata melukiskan sebuah momen serta lanskap, tanpa menguraikannya. Dalam versi yang lebih panjang, haiku diuraikan sebagai puisi yang terikat dengan tradisi kesusasteraan semasanya, dengan jumlah on (karakter, huruf hiragana) tertentu, yakni 5, 7, 5; memiliki kigo atau kidai yakni kata-kata yang melambangkan musim; serta kireji yang berfungsi antara lain memotong haiku menjadi dua bagian. Dalam bahasa Inggris, on diterjemahkan sebagai silabel. David Landis Barnhill dalam pengantar buku Basho’s Haiku: Selected Poems of Matsuo Basho menyebut on sebagai struktur ritme (rhythm). Dalam perbandingannya dengan pantun, haiku serupa tiga larik pendek sampiran tanpa larik-larik isi. Ia mengembalikan kekuatan penyerapan rupa (image) kepada spontanitas pencitraan (imagery) dalam larik yang ringkas dan padat.
 
Simaklah bagaimana citraan memadat menjelaskan musim sekaligus menghadirkan paradoks pada haiku “kolam tua” tersebut. Kata sifat “tua” yang menjadi bagian frasa “kolam tua” (old pond) boleh jadi ingin menyampaikan anasir “uzur”, “lampau”, “nyaris terbenam” yang menampilkan nuansa musim gugur atau kelam menjelang malam atau kematian. Tapi di dua larik selanjutnya, paradoks hadir dalam puisi tersebut: “seekor katak terjun” (a frog jumps in) dan “plung” (water’s sound). Dua larik ini menampilkan citraan yang sangat lekat dengan aroma musim semi, musim segala kehidupan bertunas, musim pertiwi menyembulkan mata air.
 
Beberapa abad setelah Basho, salah satu penulis Jepang berpengaruh dari aliran imajisme Yonejiro Noguchi, menulis salah satu haikunya (dalam kumpulan puisinya Japanese Hokkus, 1920): Sudden pain of earth/I hear in the fallen leaf./”Life’s autumn,” I cry. Marilah kita simak terjemahannya: Derita bumi yang sekejap/Kudengar dalam gugur daun./”Hidup adalah musim gugur,” pekikku. Haiku Noguchi tentu saja lebih revolusioner, sebab haiku dari kumpulan Japanese Hokkus itu pun ditemukan lagi dalam kumpulan puisi lengkapnya Selected Poems of Yone Noguchi (Boston: The Four Seas Company, 1921) yang ia seleksi sendiri dan ditulis dalam bahasa Inggris (yang membuat haikunya tentu tidak lagi perlu terikat pada on). Di tangan Noguchi, haiku menjadi jauh lebih bebas. Meskipun jumlah 5, 7, 5 pada struktur on diganti dengan struktur silabel berjumlah sama, makna leksikal haiku dari masa Basho mendapat perluasannya di tangan penyair seperti Noguchi. Dan dengan demikian haiku tidak hanya merupakan bagian dari tradisi Jepang, melainkan turut mengambil bagian dalam khazanah sastra dunia.
 
Diksi-diksi pada tiap larik haiku Noguchi itu tidak berusaha menghadirkan paradoks seperti yang ditampilkan dalam haiku “kolam tua” Basho, meskipun citraan yang digunakan Noguchi jauh lebih abstrak. Jika Basho menggunakan citraan-citraan benda yang mampu diserap secara inderawi, Noguchi menyampaikan citraan yang sebaliknya. Bagaimana derita bumi diinderai dalam suara gugur daun? Pekik apakah yang disampaikan daun yang gugur? Mengapa hidup adalah musim gugur? Diksi yang digunakan Noguchi sepertinya ingin mendirikan struktur haiku yang saling mengokohkan sebagai sebuah bangunan yang memancarkan penderitaan dan kematian. “Derita” (pain) pada larik pertama, “gugur” (fallen) pada larik kedua, dan “musim gugur” (autumn) pada larik ketiga adalah diksi yang merujuk pada suasana kelam, dukacita dan kematian. Tapi di situ, di antara diksi-diksi itu, ayah dari pematung Jepang terkenal Isamu Noguchi itu menyisipkan “hidup” (life). “Hidup adalah musim gugur” dapat dibaca sebagai contradictio in terminis, atau paradoks itu sendiri, yang memadatkan sekaligus membaurkan yang bertumbuh (vivus) dan yang gugur (mortuus), yang muncul dan yang lenyap.
 
Dua tahun setelah Japanese Hokkus (kumpulan puisi yang memuat haiku-haiku Noguchi) terbit, Jack Kérouac lahir. Dengan kesadarannya terhadap haiku sebagai bagian khazanah sastra dunia (yang tak lagi perlu terikat ketat pada on sebab tidak lagi ditulis hanya dalam bahasa Jepang), penyair Beat Generation itu menulis salah satu haikunya di antara masa-masa produktifnya: Birds singing/in the dark/-Rainy dawn. Haiku Kérouac ini juga tak terikat pada tertib silabel seperti haiku Noguchi. Haiku dapat juga dihubungkan dengan tradisi Zen, dan Kérouac adalah salah satu penyair yang menyuarakan Buddhisme dalam karya-karyanya. Kérouac adalah penyair Amerika Serikat yang menulis dalam bahasa Inggris dan pepatah “life begins at fourty” pun ditulis dalam bahasa yang sama. Maka Kérouac hanya menikmati tujuh tahun setelah “kehidupannya” benar-benar dimulai.
 
Burung-burung bernyanyi/di dalam gulita/-fajar yang murung. Demikianlah terjemahan bebas atas haiku Kérouac tersebut. Sekali lagi, ada pertentangan di situ, yang memperhadapkan “gulita” (dark: kata sifat) dan “fajar” (dawn: kata benda), yang mengadu “burung-burung yang bernyanyi” dengan “kemurungan”. “Gulita” mengalihkan “nyanyian” (dalam pengertian luas) menjadi “rekuiem” atau “lamentasi” (nyanyian dukacita/ ratapan), meskipun di situ diletakkan “fajar”. Dengan demikian, “gulita” pun mengubah “burung-burung” (birds: dalam pengertian luas) menjadi “segerombolan gagak” (crows) yang menggaokkan sirine kematian.
 
Sirine kematian pun dibunyikan dalam salah satu haiku penyair Swedia Tomas Tranströmer. Dalam serangkaian haiku yang dikumpulkan dalam satu sajak berjudul Haiku Poems (dalam kumpulan puisinya yang berjudul The Sorrow Gondola), Tranströmer menulis haiku terakhirnya: Oak trees and the moon./Light and mute constellations./And the frigid sea. Versi Indonesia haiku ini menjadi: Pohon-pohon ek dan bulan./Gugusan bintang terang dan bisu./Dan laut yang dingin. Tiga larik itu, yang terjalin atas kata-kata benda “pohon-pohon ek”, “bulan”, “gugusan bintang” dan “laut” dan kata-kata sifat “terang”, “bisu” dan “dingin” mampu membangun metafora (dalam pengertian luas) tentang kematian yang disimbolkan dengan suasana alam malam. The Sorrow Gondola adalah kumpulan puisi Tranströmer yang tema mayornya memang berbicara tentang kematian, kepedihan, dukacita dan kehilangan. Peter Englund, Sekretaris Tetap Akademi Swedia, lembaga yang menganugerahkan Nobel Sastra 2011 kepada Tranströmer pernah berujar, “Ia menulis tentang pertanyaan-pertanyaan besar. Ia menulis tentang kematian, ia menulis tentang sejarah dan memori, dan alam.”
 
Ketika dunia menempatkan Tranströmer di jajaran penulis papan atas karena Anugerah Nobel Sastra yang diterimanya, Matsuo Basho mungkin telah dilupakan. Tapi Basho pun menulis tentang kematian seperti Tranströmer. Sebuah haiku yang ditulisnya tahun 1694 berbicara tentang kematian: ill on a journey/my dreams roam round/over withered fields. Sengaja saya terjemahkan dengan struktur silabel 5, 7, 5: sakit di jalan/mimpiku mengembara/di padang gersang. Kita boleh menganggap kematian yang dipancarkan oleh larik-larik itu sebagai metafora. Tapi pada tahun 1694 itu, Basho mengembuskan napas terakhirnya. Di hadapan keagungan dan daya pukau haiku-haikunya, kita pun masih boleh menganggap kematian Basho itu sebagai metafora. Sebuah metafora yang mengabadikan tempat haiku dalam khazanah sastra dunia.
***

*) Peraih NTT Academia Award 2014 Kategori Sastra. http://sastra-indonesia.com/2020/11/haiku-dan-kematian/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar