Alam yang berkabar tentang bencana
Tak terdengar oleh telinga manusia
Sekawanan burung camar terbang berarak menghindar
“Larilah ke bukit-bukit! Ke gunung!
Akan datang bencana menenggelamkan Aceh Raya!”
Tapi suara mereka menjadi nyanyian angin
Ibu tuli anak berlari
Menutup telinga sambil berlari
Bermain dengan ombak yang menggelegak
Bersuka ria karena hari baru akan datang
Lalu tak ada sisa
Jerit ibu mencari anak
Teriak suami memanggil istri
Tenggelam bersama riuh ombak, buih, lumpur dan pasir
Putaran dan tarikan arus menyeret mimpi-mimpi
Dan senyuman mereka yang terkubur bersama reruntuhan rumah
Istana yang dibangun dari keringat dan cinta pada negeri
Duhai Nangoe,
Terbacakan isyrarat langit olehmu
Terbacakah ribuan kata yang terukir di awan dari tubuh bocah-bocah
Para ibu dan bapak yang hilang dan tenggelam?
Mereka mati bukan oleh peperangan?
Masihkah engkau menghendaki pertikaian?
Dengarkanlah lagu angin
Dengarkanlah nada-nada angin
Yang berkabar tentang isyarat pemilik alam
Jogja Des 2004
MALAM INI SEPASANG LILIN MERAH MENYALA
Memandang nyala lilin dari hamparan rumput dadamu
Seperti api membakar ilalang di savanna
Menari dihembus angin
Bergoyang antara rose, sedap malam dan camellia
Sementara detak jantungmu memenuhi gendang telingaku
Irama merdu lakukan cinta dan janji setia
Malam ini, sepasang lilin merah menyala
Ada upacara tanpa melati
Di sebuah kamar bernama hati
Jendela masih terbuka
Hembuskan dingin malam
Melewati tirai
Lelapkan aku dalam dekapan
Malam ini, sepasang lilin merah menyala
Tak ada yang meniup hingga habis batang demi batang
Menjelang fajar memulai hari
Menyapa matahari untuk kembali
Malam ini, sepasang lilin merah menyala lagi
Jogja 2003
MELAYANG RUH SUKMA MELAYANG
Nasib yang mempertemukan kita keliru
Menafsirkan coretan takdir di tapakmu
Lapang batu halaman termuka
Tak terbaca sedikitpun catatan tentang kita
Namun semua teryakini bahwa kita harus menepi
Mengucilkan diri dari dinding-dinding yang terbangun dari gelap
Liku lorong yang membuatmu tertunduk
Engkau semakin dalam membenamkan mukamu
Di sumur yang kau gali dari kesakitan
Memang kita tak harus menatap
Bukankah hati menjadi mata menembus dunia
Butalah buta dirimu dalam lingkaran khayal
“Telah menjemputku keabadian!”
Kudengar teriakan itu putus asa di tirai kekalutan
Engkau terbang melayangkan ruh
Sukma tertekan
TAK ADA YANG AKU SEMBUNYIKAN DARIMU
Tak ada yang aku sembunyikan darimu
Semua begitu gamblang terbuka
Seperti tubuhku saat bercinta denganmu
Engkau ada di setiap lekuk, lipatan, tanda diri
Senang, sedih, riang, muram, gelisah dan tenang
Begitupun pikiran-pikiranku cepat terungkap
Oleh sepasang bibir mungil yang menyimpan beribu kata
Jadi apa yang aku sembunyikan darimu?
Bahkan mulutku tak bisa menyembunyikan hati
Ketika engkau bertanya padaku seberapa luas hatiku untukmu?
Aku menjawab tidak seluas cinta untuk anakku
Engkau tidak sabar dan melanjutkan
Seberapa dalam batinmu untukku?
Aku seorang ibu
Mata, tangan, mulut, kaki dan dadaku
Tak ada yang lebih berarti kecuali anak-anakku
Jogja 2002.
http://sastra-indonesia.com/2010/04/puisi-puisi-evi-idawati-3/
No comments:
Post a Comment