Arie MP Tamba
jurnalnasional.com
Ingatlah Mathias Ankakari. Sebuah cerpen karya Gerson Poyk yang mengisahkan
perjalanan Mathias Ankakari asal Papua, ke Jakarta. Rasa takjub memenuhi
kesadaran Mathias menemukan kontras “hutan” Papua dan Jakarta. Tapi Mathias
kemudian agak bertanya-tanya tentang makna “kemajuan” yang seringkali diartikan
dengan peradaban berpakaian. Sebab, di klub malam yang dikunjunginya, Mathias
melihat pertunjukan tari telanjang yang tak jauh beda dengan tarian pergaulan
di kampungnya.
Gerson adalah seorang pengarang dengan kekuatan mendeskripsikan sekaligus
memvisualkan panorama alam melalui teksnya. Kesukaan Gerson mengembara dari
pulau ke pulau, dari kota ke kota, dari desa ke desa, dan dari hutan ke hutan
di wilayah Indonesia Timur, menjadi kekuatan Gerson yang jarang bisa ditandingi
pengarang realis-naturalis Indonesia lainnya.
Pengembaraan bagi Gerson adalah gairah cintanya pada alam, pada hidup, pada
manusia-manusia Indonesia, kata Jakob Sumardjo. Bersama Aspar, Chairul Harun,
Umar Kayam, Sinansari Ecip, dan Korrie Layun Rampan, Gerson adalah pengarang
pembawa suara daerah-daerah terpencil di Indonesia, seraya menyoroti Jakarta
secara tak langsung. Karenanya, selalu terasa segar.
Hal yang sama juga dilakukan Korrie Layun Rampan melalui novelnya, Upacara
(1978). Korrie bahkan tampak lebih sistematis memperlihatkan kedaerahan, dengan
menegaskan eksistensi dunia suku. Penanda-penanda yang beroperasional
sehari-hari di tengah Suku Benuaq, suku Dayak yang mendiami tepian Sungai
Mahakam, Sungai Kadang Pahu dan Sungai Nyawatan di Kalimantan, sengaja
dituliskan (Upacara, 124 s/d 128).
Di antaranya: Anan la Lumut = Perjalanan ke Sorga. Menurut kepercayaan suku
Benuaq, sorga itu terletak di Gunung Lumut – sebuah gunung yang terletak antara
perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Lalu ada prosesi upacara,
yang jadi bab terindah dari novel ini, tentang pengalaman surealisme yang
menyelimuti kesadaran si tokoh utama. Kemudian, lamin = rumah panjang suku
Dayak (dalam cerita Upacara adalah suku Benuaq). Tonoy = dewa tanah; ngayau =
memotong kepala; kewangkey = upacara penguburan tulang-tulang manusia; pelulung
= upacara perkawinan, dll.
Penanda khas suku Dayak Benuaq ini adalah upaya kreatif Korrie menghadirkan
kedaerahan atau keberadaan suku Benuaq dengan kosmologinya yang khas,
dihadapkan dengan berbagai narasi suku ataupun bangsa yang hadir di Indonesia,
khususnya Jakarta pada masa novel ini terbit (1970-an), yang didominasi narasi
Jawa, Sumatera, Islam atau Kristen.
Di Belahan Satu, dengan judul Anan La Lumut (hlm 19-39), yang tersuguh
sebagai cerita realis-surealistis, disajikan dialog-dialog mengesankan. “Telah
kutunjukkan kepada orang asing itu bahwa kita punya tuhan,” lanjut Paman Jomoq.
“Sekali dengan gagak. Sekali dengan punai. Sekali dengan rangkong. Orang asing
itu mengangguk-angguk kagum.” (hlm 51)
Dikisahkan pula oleh Korrie tentang peristiwa pemanggilan tuhan oleh Paman
Jomoq, di hadapan orang-orang sekampung dan juga seorang antropolog asing, Tuan
Smith. Berlangsunglah dialog intens tentang keberadaan tuhan antara Paman Jomoq
dan Tuan Smith.
“Jadi ada tuhan tertinggi?”
“Yang tertinggi Letala. Sang Pencipta.”
“Bawahannya?”
“Banyak sekali. Mereka semua disebutkan dalam balian, diberi sesaji sesuai
urutan dan kedudukan tinggi rendahnya.”
“Kalau misalnya tuhan-tuhan bawahan berontak kepada tuhan maha tinggi?”
“Nah, manusia selalu mengidealisir pikiran-pikiran naif. Kita sering
menyamakan naluri tuhan dengan sahwat manusia. Di Swarga tak pernah terjadi
kudeta, karena tuhan tak punya naluri sahwat!”
“Swarga? Apakah itu?”
“Rumah keabadian.” Paman Jomoq menatap orang asing itu dalam-dalam. Mereka
saling berpandangan. Orang asing itu mengangguk-angguk. (hlm 53).
Seperti halnya Mathias Ankakari, Upacara hadir utuh sebagai strategi
literer kedaerahan, dengan penegasan atau penubuhan suku Benuaq secara
tekstual, yang diperlihatkan memiliki wacana khas tentang apa saja. Hingga,
dengan tegas keasingan pun (yang datang dari Eropa atau Jakarta) menjadi
gangguan.
Seperti halnya hadirnya para peneliti dengan obsesi ilmiah yang sering kali
mereduksi kosmologi suku jadi sekadar data-data antropologis. Dengan sebuah
struktur sikap dan acuan di baliknya, yang memungkinkan para peneliti hadir
sebagai subyek Eropa, atau dunia modern – berhadapan dengan budaya primitif.
Lalu mengambil keuntungan darinya, dengan menolak setiap otonomi yang sejajar
di luar keeropaan.
Demikian juga para pengusaha hutan di Kalimatan. Mereka mengambil
keuntungan material, sekaligus menolak kehadiran penduduk asli sebagai sebuah
otonomi yang memiliki hak hidup sama. Hingga, kedatangan para penebang hutan
ini (baca: Jakarta), hanya menyebabkan penderitaan bagi penduduk asli, yang
kaum wanitanya dikawini lalu ditinggalkan, hutan-hutannya ditebangi, dibakar,
dan kemudian ditinggalkan.
Hingga, kehidupan ladang berpindah yang sudah menyatukan penduduk dengan
hutan selama ratusan (bahkan ribuan) tahun, kini beralih menjadi kehidupan
“perkotaan” yang justru semakin memisahkan penduduk dari hutan, yang kini
dimaknai hanya sebagai wilayah alam yang harus dieksploitasi dari Jakarta.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Tuesday, July 20, 2021
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment