Tuesday, July 20, 2021

Daerah

Arie MP Tamba
jurnalnasional.com
 
Ingatlah Mathias Ankakari. Sebuah cerpen karya Gerson Poyk yang mengisahkan perjalanan Mathias Ankakari asal Papua, ke Jakarta. Rasa takjub memenuhi kesadaran Mathias menemukan kontras “hutan” Papua dan Jakarta. Tapi Mathias kemudian agak bertanya-tanya tentang makna “kemajuan” yang seringkali diartikan dengan peradaban berpakaian. Sebab, di klub malam yang dikunjunginya, Mathias melihat pertunjukan tari telanjang yang tak jauh beda dengan tarian pergaulan di kampungnya.
 
Gerson adalah seorang pengarang dengan kekuatan mendeskripsikan sekaligus memvisualkan panorama alam melalui teksnya. Kesukaan Gerson mengembara dari pulau ke pulau, dari kota ke kota, dari desa ke desa, dan dari hutan ke hutan di wilayah Indonesia Timur, menjadi kekuatan Gerson yang jarang bisa ditandingi pengarang realis-naturalis Indonesia lainnya.
 
Pengembaraan bagi Gerson adalah gairah cintanya pada alam, pada hidup, pada manusia-manusia Indonesia, kata Jakob Sumardjo. Bersama Aspar, Chairul Harun, Umar Kayam, Sinansari Ecip, dan Korrie Layun Rampan, Gerson adalah pengarang pembawa suara daerah-daerah terpencil di Indonesia, seraya menyoroti Jakarta secara tak langsung. Karenanya, selalu terasa segar.
 
Hal yang sama juga dilakukan Korrie Layun Rampan melalui novelnya, Upacara (1978). Korrie bahkan tampak lebih sistematis memperlihatkan kedaerahan, dengan menegaskan eksistensi dunia suku. Penanda-penanda yang beroperasional sehari-hari di tengah Suku Benuaq, suku Dayak yang mendiami tepian Sungai Mahakam, Sungai Kadang Pahu dan Sungai Nyawatan di Kalimantan, sengaja dituliskan (Upacara, 124 s/d 128).
 
Di antaranya: Anan la Lumut = Perjalanan ke Sorga. Menurut kepercayaan suku Benuaq, sorga itu terletak di Gunung Lumut – sebuah gunung yang terletak antara perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Lalu ada prosesi upacara, yang jadi bab terindah dari novel ini, tentang pengalaman surealisme yang menyelimuti kesadaran si tokoh utama. Kemudian, lamin = rumah panjang suku Dayak (dalam cerita Upacara adalah suku Benuaq). Tonoy = dewa tanah; ngayau = memotong kepala; kewangkey = upacara penguburan tulang-tulang manusia; pelulung = upacara perkawinan, dll.
 
Penanda khas suku Dayak Benuaq ini adalah upaya kreatif Korrie menghadirkan kedaerahan atau keberadaan suku Benuaq dengan kosmologinya yang khas, dihadapkan dengan berbagai narasi suku ataupun bangsa yang hadir di Indonesia, khususnya Jakarta pada masa novel ini terbit (1970-an), yang didominasi narasi Jawa, Sumatera, Islam atau Kristen.
 
Di Belahan Satu, dengan judul Anan La Lumut (hlm 19-39), yang tersuguh sebagai cerita realis-surealistis, disajikan dialog-dialog mengesankan. “Telah kutunjukkan kepada orang asing itu bahwa kita punya tuhan,” lanjut Paman Jomoq. “Sekali dengan gagak. Sekali dengan punai. Sekali dengan rangkong. Orang asing itu mengangguk-angguk kagum.” (hlm 51)
 
Dikisahkan pula oleh Korrie tentang peristiwa pemanggilan tuhan oleh Paman Jomoq, di hadapan orang-orang sekampung dan juga seorang antropolog asing, Tuan Smith. Berlangsunglah dialog intens tentang keberadaan tuhan antara Paman Jomoq dan Tuan Smith.
 
“Jadi ada tuhan tertinggi?”
“Yang tertinggi Letala. Sang Pencipta.”
“Bawahannya?”
“Banyak sekali. Mereka semua disebutkan dalam balian, diberi sesaji sesuai urutan dan kedudukan tinggi rendahnya.”
“Kalau misalnya tuhan-tuhan bawahan berontak kepada tuhan maha tinggi?”
“Nah, manusia selalu mengidealisir pikiran-pikiran naif. Kita sering menyamakan naluri tuhan dengan sahwat manusia. Di Swarga tak pernah terjadi kudeta, karena tuhan tak punya naluri sahwat!”
“Swarga? Apakah itu?”
“Rumah keabadian.” Paman Jomoq menatap orang asing itu dalam-dalam. Mereka saling berpandangan. Orang asing itu mengangguk-angguk. (hlm 53).
 
Seperti halnya Mathias Ankakari, Upacara hadir utuh sebagai strategi literer kedaerahan, dengan penegasan atau penubuhan suku Benuaq secara tekstual, yang diperlihatkan memiliki wacana khas tentang apa saja. Hingga, dengan tegas keasingan pun (yang datang dari Eropa atau Jakarta) menjadi gangguan.
 
Seperti halnya hadirnya para peneliti dengan obsesi ilmiah yang sering kali mereduksi kosmologi suku jadi sekadar data-data antropologis. Dengan sebuah struktur sikap dan acuan di baliknya, yang memungkinkan para peneliti hadir sebagai subyek Eropa, atau dunia modern – berhadapan dengan budaya primitif. Lalu mengambil keuntungan darinya, dengan menolak setiap otonomi yang sejajar di luar keeropaan.
 
Demikian juga para pengusaha hutan di Kalimatan. Mereka mengambil keuntungan material, sekaligus menolak kehadiran penduduk asli sebagai sebuah otonomi yang memiliki hak hidup sama. Hingga, kedatangan para penebang hutan ini (baca: Jakarta), hanya menyebabkan penderitaan bagi penduduk asli, yang kaum wanitanya dikawini lalu ditinggalkan, hutan-hutannya ditebangi, dibakar, dan kemudian ditinggalkan.
 
Hingga, kehidupan ladang berpindah yang sudah menyatukan penduduk dengan hutan selama ratusan (bahkan ribuan) tahun, kini beralih menjadi kehidupan “perkotaan” yang justru semakin memisahkan penduduk dari hutan, yang kini dimaknai hanya sebagai wilayah alam yang harus dieksploitasi dari Jakarta.
***

http://sastra-indonesia.com/2008/11/daerah/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar