Tuesday, July 20, 2021

Konsumerisme dan Keterpinggiran Sastra

Edy Firmansyah
radarsby.com
 
Boleh jadi Emha Ainun Nadjib benar jika mengatakan sastra relatif tidak tercantum dalam daftar prioritas kebutuhan masyarakat. Shampoo, lipstik, kondom, T-Shirt, obat jerawat, conditioner, obat nyamuk jelas lebih dianggap penting dibandingkan dengan karya sastra. Artinya, sastra dikategorikan sebagai sesuatu yang boleh tidak ada sementara celana Jeans atau jam tangan tergolong harus ada.
 
Kalau tiba-tiba buku Laskar Pelangi (LP) karya Andrea Hirata atau Ayat-ayat Cinta (AAC) karangan Habiburrahman Shiraizy mampu membius ribuan pembacanya sehingga bisa best seller kemudian difilmkan, bukan karena masyarakat Indonesia menjadi peduli terhadap karya sastra. Melainkan redupnya karya sastra berbau lendir yang sempat mencuat dipasaran buku. Juga karena gencarnya praktek promosi yang berhasil memaksa kesadaran mengambang masyarakat terutama kaum muda untuk menjadi latah.
 
Faktanya ketika pengumuman UN tingkat SMP dan SMA (yang rata-rata adalah penggemar LP dan AAC) justru tingginya angka ketidaklulusan siswa akibat jebloknya mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam masyarakat yang lebih luas, masih maraknya prilaku banal, anarkis dan korup jelas adalah indikasi rendahnya semangat bersastra kita. Bukankah sastra- meminjam Mochtar Lubis- adalah kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika benar-benar dimatangkan maka mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradap?
 
Meski demikian keterpingiran sastra dalam masyarakat tidak murni berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat tidak bisa serta merta disalahkan dalam hal ini. Pengaruh eksternal di luar masyarakat justru lebih berpengaruh dalam tindakan masyarakat dalam menyikapi kesusastraan.
 
Setidaknya ada tiga faktor eksternal yang mempengaruhi respon masyarakat terhadap sastra. Pertama, sikap pemerintah yang relatif tidak mengakomodasikan atau kurang menyediakan peluang-peluang bagi terapresiasikannya seni sastra oleh warga masyarakat umumnya.
 
Dalam seluruh jenjang pendidikan formal misalnya, pelajaran yang paling dominan justru pelajaran eksakta seperti matematika (5 jam per minggu), fisika (5 jam per minggu), biologi (4 jam per minggu) dan kimia(3 jam per minggu). Sementara pelajaran sastra yang terangkum dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia alokasi waktunya sangat sedikit (5 jam seminggu) itupun diberikan tidak secara maksimal, karena banyak kasus guru pelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak paham tentang sastra.
 
Yang terjadi kemudian, jangankan membaca Roman Layar Terkembang karya St Takdir Alisjahbana atau Belenggu karya Akhudiyat hingga tuntas, membuat synopsis cerpen robohnya surau kami karya AA Navis sungguh merupakan hal yang menjemukan bagi siswa. Dan bisa diterka, sastra hanya dihapalkan ketika di pendidikan formal saja, tepatnya menjelang ulangan saja. Selepas itu tidak lagi. Karena pendidikan formal tidak pernah menunjukkan betapa pentingnya sastra.
 
Padahal menurut Friedrich Schiller sastra adalah vitamin batin yang mampu mengasah kreativitas, kepekaan atau sensitivitas kemanusiaan sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil dan picik. Bukan hanya bagi pekerja sastra saja, tetapi juga bagi penikmat sastra.
 
Kedua media. Bukan rahasia umum lagi sastra di hadapan media hanyalah merupakan kolom mingguan. Karya sastra (puisi, cerpen dan essai budaya) hanya muncul dalam satu halaman penuh di hari minggu. Itu pun seringkali tidak lengkap. Bahkan bisa tidak muncul bukan karena tidak ada yang mengirimkan karya tapi lebih dikarenakan desakan iklan.
 
Akibatnya dalam benak masyarakat terbentuk image bahwa karya sastra hanyalah bacaan santai, dimana orang tidak perlu mengerutkan dahi dibandingkan dengan membaca artikel atau berita-berita politik.
 
Terakhir, sebenarnya keterpinggiran sastra di mata masyarakat tidak lain dan tidak bukan karena ulah para sastrawan itu sendiri. Ketika kran reformasi dibuka dan tak diberlakukannya sensor-sensor, sastra(wan) justru terseret ke dalam budaya pop. Bahkan untuk bertahan sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop. Bisa dilihat kemudian, yang lahir adalah sastra selangkang yang menurut sejumlah orang mendekati film biru. Sementara karya humanis-fenomenal yang bercerita realitas sosial, semisal milik pramoedya anata toer yang berkali-kali menghantarkan penulisnya (satu-satunya pengarang Indonesia) menjadi kandidat nobel sastra dunia masih dilarang beredar.
 
Paradoksal diatas tentu saja wajar jika melahirkan pertanyaan; kemana pengarang lain? Bukankah pengarang kata Pramoedya Ananta Toer adalah avant garde melawan ketidak adilan dan krisis kemanusiaan. Kemana pengarang yang lain? Sedang giat menulis atau justru terbelenggu di dalam arus reformasi sehingga tidak bisa berbuat apa-apa? Atau apakah justru kebebasan malah membuat sastra terus terpinggirkan?
 
Pertanyaan diatas tentu saja terasa aneh. Sebab tatkala intervensi dari luar- ketika orde baru berjaya- semakin ketat menghambat ruang gerak kreativitas sehingga banyak sastrawan menuding bahwa kebebasan yang menjadi roh bagi kesenian benar-benar tidak terjadi, justru lahir eksperimen-eksperimen kesusastraan yang penting semisal cerpen Seno Gumira Adjidarma, puisi Widji Thukul, Cerpen-cerpen Danarto.
 
Lalu untuk membangkitkan sastra yang mampu melekat dihati masyarakat apakah perlu diberlakukan sensor-sensor agar sastrawan bisa lebih lihai mencari celah untuk membuat karya? Tentu saja tidak. Yang terpenting justru kerja terus menerus sehingga menghasilkan karya monumental yang mampu menjadikan sastra sebagai bagian dari masyarakat dalam arti sejati. Yakni sastra yang terlibat. Yang melibatkan masyarakat moyoritas yang miskin dan tertindas bukan sekedar obyek sastra, melainkan menjadi bagian dari penciptaan sastra itu sendiri. Sehingga masyarakat kita bisa menjadi masyarakat yang lebih berbudaya dengan sastra. Terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, picik, korup dan memiliki semangat berlawan. Semoga!
***

04 Juli 2010 http://sastra-indonesia.com/2011/09/konsumerisme-dan-keterpinggiran-sastra/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar