Saturday, July 24, 2021

Pesona Sastra dan Tradisi Berfikir Nahdliyin

Arus corak Realisme-Magis dalam Sastra Kontemporer
 
Sobih Adnan *
nahdliyin.net
 
“Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengambalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya kata adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”
(Sutardji Calzaum Bachri. Bandung, 30 Maret 1973)
 
Penggalan akhir Kredo Puisi : Sutardji Calzaum Bachri mencoba mengajak para penikmat sastra untuk sedikit bertamasya tentang puisi dari titik awal embrionya, tentang kelahiran puisi, pembebasan kata, dan yang paling menarik adalah tentang genetika kata-kata yang menurut Sutardji berasal dari mantera-mantera. Sutardji mencoba menawarkan paparan dan kesemangatan bahwa sesederhana apapun dari bentuk dan wujud kata pasti memiliki kekuatan lebih yang terkandung di dalamnya, yang tentunya lebih dari sekedar pengantar sebuah pengertian.
 
Penempatan serta penyuntikan pemaparan tentang kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kata seperti ini memang terkadang tidak terperhatikan. Penyair yang dalam kacamata awam hanya memiliki kegemaran mengeksploitasi kata untuk menciptakan sebuah karya ternyata memiliki konsep tersendiri tentang pengamatan karakter serta watak dari setiap kata yang dijajarkannya, jika tidak seperti ini, maka bagaimana jika kodrat dari kata tersebut hanya sebuah konjungsi, penghubung, atau kata yang harus didongkrak maupun mendongkrak kawan kata lainnya untuk menimbulkan sebuah pengertian?. Tidak juga sebatas itu, kadang kata-kata melalui komunitasnya yang naratif dapat menghadirkan sebuah keajaiban dan pemaknaan baru tentang ketidak-mungkinan, kadang bersifat mistik, tetapi tetap bergerak pada gambaran kenyataan bahkan dalam wacana keseharian. Ketika terkemas dalam wilayah sastra kotretan tersebut lazim disebut dengan realisme-magis atau magis-realis.
 
Kutipan secara sederhana tentang realisme magis di atas agak membawa kita pada tradisi konsep berfikir kaum nahdliyin. Kemasan sastra ini akan sangat mewakili dengan tema-tema penghormatan dan pembebasan manusia yang telah di miliki oleh Islam dan NU sebagai bagian di dalamnya. Konsep aliran realisme-magis akan mengemas narasi secara apik pesona karomah para ulama yang telah dipegang dalam sejarah ke-NU-an Indonesia.
 
Sekilas Tentang Pembidanan Realisme-magis
 
Secara lunak realisme-magis didefinisikan sebagai gaya estetika atau mode di mana elemen magis ini dicampur ke dalam suasana realistis untuk mengakses pemahaman yang lebih dalam kenyataan. Unsur-unsur magis tersebut dijelaskan eperti kejadian normalyang disajikan secara langsung dan unembellished yang memungkinkan “real” dan “fantastis” untuk dapat diterima dalam aliran pemikiran yang sama. Telah banyak digunakan dalam kaitannya dengan sastra, seni, dan film.
 
Penggunaan istilah relisme-magis dimunculkan oleh krtikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi terdapat elemen magis di dalamnya. elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.
 
Dalam perjalanan seni, sampai tahun 1955 istilah relisme-magis tidak diperkenalkan, hingga kemudian kritikus sastra meminjam istilah ini untuk melihat karya sastrawan Amerika Latin seperti Marquez, Borges, dan Isabel Allende. Para kritikus sastra terkejut melihat karya-karya Marquez dan Borges yang pada dasarnya mirip karya realis, tetapi mengandung elemen-elemen magis yang intuitif. Para penulis ini melihat kenyataan sehari-hari sebagaimana kenyataan sehari-hari yang biasa terlihat dan sesuatu yang sangat luar biasa di balik kenyataan itu. Relisme-magis ini diterjemahkan dari Lo Real Maravilosso yang artinya Kenyataan yang Ajaib.
 
Ketika beribicara tentang kekhasan dan keunikan dari relisme-magis adalah tentang keunggulannya untuk mengajukan sebuah dunia magis, dunia penuh keajaiban yang tak bisa dicerna akal sehat yang mendahului pengalaman sehari-hari manusia namun manusia luput untuk melihatnya. Realisme-magis berusaha memunculkan hal magis itu atau melihat dalam kenyataan sehari-hari. Itu sebabnya, dalam karya-karya para sastrawan realisme-magis seperti Borges, Marquez, Okri, atau Allende kerap muncul peristiwa, tokoh, makhluk, lokasi, dan situasi yang ajaib dan magis. Semua keajaiban itu terjadi dalam kenyataan, bukan mistik yang mengingkari kenyataan.
 
Cuaca Relisme-magis dalam Kesusasteraan Indonesia
 
Di Indonesia kesan realisme-magis justru menguasai dalam gaya penulisan novel, Cerpen dan fiksi. Baru kemudian mengalir dan tergagas menjadi beberapa film dan sajak. Untuk novel situasi dan gaya realisme- magis sangat terasa dalam karya Eka Kurniawan dengan judul Cantik Itu Luka (CIL). Sejak terbitnya, yakni tahun 2002, banyak pembaca CIL memuntahkan kebingungannya. Dengan pembacaan yang tak terputus, di tengah senggalan tarikan nafas, mereka dibingungkan oleh teks di depannya: cerita silat, folklore, roman sejarah, atau kisah perjuangan. Realisme-magis mungkin sudah hadir berpuluh tahun sebelum terbitnya CIL, beriringan dengan angkatan 1970, namun garapan Eka Kurniawan ini berhasil mengambil identitas realisme-magis dengan lebih kuat.
 
Salah satu keunikan realisme-magis ditambahkan dengan kekhasan alur logis rasio barat, seperti dialog tokoh utama Dewi Ayu dan Kakeknya ketika ia tahu bahwa ibunya kabur di suatu pagi :
 
“Mereka petualang-petualang sejati,” katanya pada Tad Stammler.
 
“Kau terlalu banyak buku cerita, Nak” kata kakeknya. “mereka orang-orang religius” katanya lagi. “di dalam kitab suci diceritakan seorang ibu membuang anaknya ke sungai Nil”/”itu berbeda.”/”ya, memang. Aku dibuang di depan pintu.” (Hal. 43).
 
Dari penggalan dialog tersebut apalagi ketika melihat pilar-pilar penyangga bangun tutur dan cerita CIL, ditambah pohon silsilah tokoh utama Dewi Ayu di bagian belakang sudah pasti akan terbawa pada Gabriel Garcia Marquez dan kawan-kawannya dari Amerika selatan. Di mana deskripsi rasional realitas dipadu dengan deskripsi cara pandang lain atas realitas yang selama ini dilewatkan karena dianggap tidak rasional, tidak logis, dan supernatural, dan tidak bersambut gayung dengan hukum alam.
 
Dalam tubuh perfilman, darah realisme-magis hampir meresap penuh ke sebuah film yang berjudul Banyu Biru. Karena, beberapa hal yang tak masuk akal dalam film itu bisa ditafsirkan berasal dari dunia bawah sadar tokoh Banyu (Tora Sudiro). Misalnya ketika pemakalah (Butet Kertaredjasa) dan para peserta seniman tiba-tiba bernyanyi dan menari mengelilingi Banyu yang duduk sendirian di tengah-tengah mereka. Namun peluang ke-realisme magis-an film ini patah oleh pengalaman Banyu dalam film ini sebagai mimpi. Mungkin film ini lebih dengan kekhasan realis yang biasa saja.
 
Sedangkan untuk wilayah penulisan cerpen, realisme magis telah dibangun secara total oleh cerpenis Agus Noor dalam judul “Dzikir Sebutir Peluru” yang merupakan bagian dari antologi cerpen Kompas tahun 1995. Cerpen yang sangan membutuhkan kesiapan pembaca untuk memahami setting dan penokohan benda mati ini mampu menjadikan realisme-magis sebagai arwah utama penggerak ceritanya.
 
“Kita adalah makhluk terdzolimi, aku tak mau menembus dada bocah-bocah mahasiswa itu, apalagi diisalah sasarkan”… ujar Peluru 1. Dan banyak dialog-dialog lain yang terus mengalir dan merupakan kumpulan beberapa keajaiban yang masih terkurung dalam wajah real (nyata).
 
Realisme-magis dalam nadi puisi dan sajak
 
Tiba-tiba Izrail lenyap digantikan oleh sekuntum malaikat lain yang berbeda. Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah-ubah bentuknya, dari mawar, lalu melati, kemudian kenanga, lantas bunga matahari, lalu berubah lagi menjadi anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet hijau dan oranye. Kembang-kembang itu ukurannya lebih besar ketimbang manusia, kadang mekar besar sekali memenuhi angkasa.
 
“ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak terbatas luas bagai cakrawala, mengapa harus ditangisi”
 
(Danarto, Kacapiring : 2008)
 
Danarto, mungkin adalah salah satu dari sekian penyair Indonesia yang sering bermain-main dengan kerumitan realisme-magis. Dalam kumpulan puisi Kacapiring hampir setiap judul usungannya menggunakan pendekatan realisme-magis, walaupun tak bisa dipungkiri kadang beliau juga merefresh sajak-sajak berikutnya dengan aroma yang lain.
 
Realisme-magis dikhaskan oleh Danarto melalui naskah-naskah puisi religi yang bebas, real, namun memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang semakin menghantarkan dirinya sebagai penyair yang mengutamakan kecerdasan. Tilik saja pada bait puisi Berburu Ayat-Ayat Suci tahun 2005:
 
Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka
 
Sapardi Djoko Damono mencoba menghadirkan unsur realisme magis dengan lebih detail, menancap, namun tetap menawarkan realitas yang kuat. Seperti yang telah beliau tulis dalam kumpulan sajak Perahu Kertas tahun 1982:
 
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
 
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
 
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
 
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi!”
 
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan…
 
Aliran sastra realisme-magis ini dapat mewakili corak pemikiran kaum nahdliyin tentang budaya pembebasan manusia dari keterkungkungan, penjagaan tradisi, dan penegasan terhadap berbagai geliat karomah para ulama dalam kemasan berupa sastra.
 
Walaupun realisme-magis masih terbilang asing dalam sastra Indonesia, namun suasana keajaiban tersebut semakin menguat dengan munculnya penyair-penyair muda yang mencoba menganut corak langka ini, sebut saja Nirwan Dewanto, Mashuri, dan masih banyak lagi yang tak lain adalah para pesastra dari generasi muda NU.
***

*) Penulis adalah Ketua Umum ASJAP Institute Mahasiswa ISIF Cirebon dan Direktur Pesantren Baca- Cirebon. http://sastra-indonesia.com/2010/09/pesona-sastra-dan-tradisi-berfikir-nahdliyin/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar