Sobih Adnan *
nahdliyin.net
“Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengambalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya kata adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”
(Sutardji Calzaum Bachri. Bandung, 30 Maret 1973)
Penggalan akhir Kredo Puisi : Sutardji Calzaum Bachri mencoba mengajak para penikmat sastra untuk sedikit bertamasya tentang puisi dari titik awal embrionya, tentang kelahiran puisi, pembebasan kata, dan yang paling menarik adalah tentang genetika kata-kata yang menurut Sutardji berasal dari mantera-mantera. Sutardji mencoba menawarkan paparan dan kesemangatan bahwa sesederhana apapun dari bentuk dan wujud kata pasti memiliki kekuatan lebih yang terkandung di dalamnya, yang tentunya lebih dari sekedar pengantar sebuah pengertian.
Penempatan serta penyuntikan pemaparan tentang kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kata seperti ini memang terkadang tidak terperhatikan. Penyair yang dalam kacamata awam hanya memiliki kegemaran mengeksploitasi kata untuk menciptakan sebuah karya ternyata memiliki konsep tersendiri tentang pengamatan karakter serta watak dari setiap kata yang dijajarkannya, jika tidak seperti ini, maka bagaimana jika kodrat dari kata tersebut hanya sebuah konjungsi, penghubung, atau kata yang harus didongkrak maupun mendongkrak kawan kata lainnya untuk menimbulkan sebuah pengertian?. Tidak juga sebatas itu, kadang kata-kata melalui komunitasnya yang naratif dapat menghadirkan sebuah keajaiban dan pemaknaan baru tentang ketidak-mungkinan, kadang bersifat mistik, tetapi tetap bergerak pada gambaran kenyataan bahkan dalam wacana keseharian. Ketika terkemas dalam wilayah sastra kotretan tersebut lazim disebut dengan realisme-magis atau magis-realis.
Kutipan secara sederhana tentang realisme magis di atas agak membawa kita pada tradisi konsep berfikir kaum nahdliyin. Kemasan sastra ini akan sangat mewakili dengan tema-tema penghormatan dan pembebasan manusia yang telah di miliki oleh Islam dan NU sebagai bagian di dalamnya. Konsep aliran realisme-magis akan mengemas narasi secara apik pesona karomah para ulama yang telah dipegang dalam sejarah ke-NU-an Indonesia.
Sekilas Tentang Pembidanan Realisme-magis
Secara lunak realisme-magis didefinisikan sebagai gaya estetika atau mode di mana elemen magis ini dicampur ke dalam suasana realistis untuk mengakses pemahaman yang lebih dalam kenyataan. Unsur-unsur magis tersebut dijelaskan eperti kejadian normalyang disajikan secara langsung dan unembellished yang memungkinkan “real” dan “fantastis” untuk dapat diterima dalam aliran pemikiran yang sama. Telah banyak digunakan dalam kaitannya dengan sastra, seni, dan film.
Penggunaan istilah relisme-magis dimunculkan oleh krtikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi terdapat elemen magis di dalamnya. elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.
Dalam perjalanan seni, sampai tahun 1955 istilah relisme-magis tidak diperkenalkan, hingga kemudian kritikus sastra meminjam istilah ini untuk melihat karya sastrawan Amerika Latin seperti Marquez, Borges, dan Isabel Allende. Para kritikus sastra terkejut melihat karya-karya Marquez dan Borges yang pada dasarnya mirip karya realis, tetapi mengandung elemen-elemen magis yang intuitif. Para penulis ini melihat kenyataan sehari-hari sebagaimana kenyataan sehari-hari yang biasa terlihat dan sesuatu yang sangat luar biasa di balik kenyataan itu. Relisme-magis ini diterjemahkan dari Lo Real Maravilosso yang artinya Kenyataan yang Ajaib.
Ketika beribicara tentang kekhasan dan keunikan dari relisme-magis adalah tentang keunggulannya untuk mengajukan sebuah dunia magis, dunia penuh keajaiban yang tak bisa dicerna akal sehat yang mendahului pengalaman sehari-hari manusia namun manusia luput untuk melihatnya. Realisme-magis berusaha memunculkan hal magis itu atau melihat dalam kenyataan sehari-hari. Itu sebabnya, dalam karya-karya para sastrawan realisme-magis seperti Borges, Marquez, Okri, atau Allende kerap muncul peristiwa, tokoh, makhluk, lokasi, dan situasi yang ajaib dan magis. Semua keajaiban itu terjadi dalam kenyataan, bukan mistik yang mengingkari kenyataan.
Cuaca Relisme-magis dalam Kesusasteraan Indonesia
Di Indonesia kesan realisme-magis justru menguasai dalam gaya penulisan novel, Cerpen dan fiksi. Baru kemudian mengalir dan tergagas menjadi beberapa film dan sajak. Untuk novel situasi dan gaya realisme- magis sangat terasa dalam karya Eka Kurniawan dengan judul Cantik Itu Luka (CIL). Sejak terbitnya, yakni tahun 2002, banyak pembaca CIL memuntahkan kebingungannya. Dengan pembacaan yang tak terputus, di tengah senggalan tarikan nafas, mereka dibingungkan oleh teks di depannya: cerita silat, folklore, roman sejarah, atau kisah perjuangan. Realisme-magis mungkin sudah hadir berpuluh tahun sebelum terbitnya CIL, beriringan dengan angkatan 1970, namun garapan Eka Kurniawan ini berhasil mengambil identitas realisme-magis dengan lebih kuat.
Salah satu keunikan realisme-magis ditambahkan dengan kekhasan alur logis rasio barat, seperti dialog tokoh utama Dewi Ayu dan Kakeknya ketika ia tahu bahwa ibunya kabur di suatu pagi :
“Mereka petualang-petualang sejati,” katanya pada Tad Stammler.
“Kau terlalu banyak buku cerita, Nak” kata kakeknya. “mereka orang-orang religius” katanya lagi. “di dalam kitab suci diceritakan seorang ibu membuang anaknya ke sungai Nil”/”itu berbeda.”/”ya, memang. Aku dibuang di depan pintu.” (Hal. 43).
Dari penggalan dialog tersebut apalagi ketika melihat pilar-pilar penyangga bangun tutur dan cerita CIL, ditambah pohon silsilah tokoh utama Dewi Ayu di bagian belakang sudah pasti akan terbawa pada Gabriel Garcia Marquez dan kawan-kawannya dari Amerika selatan. Di mana deskripsi rasional realitas dipadu dengan deskripsi cara pandang lain atas realitas yang selama ini dilewatkan karena dianggap tidak rasional, tidak logis, dan supernatural, dan tidak bersambut gayung dengan hukum alam.
Dalam tubuh perfilman, darah realisme-magis hampir meresap penuh ke sebuah film yang berjudul Banyu Biru. Karena, beberapa hal yang tak masuk akal dalam film itu bisa ditafsirkan berasal dari dunia bawah sadar tokoh Banyu (Tora Sudiro). Misalnya ketika pemakalah (Butet Kertaredjasa) dan para peserta seniman tiba-tiba bernyanyi dan menari mengelilingi Banyu yang duduk sendirian di tengah-tengah mereka. Namun peluang ke-realisme magis-an film ini patah oleh pengalaman Banyu dalam film ini sebagai mimpi. Mungkin film ini lebih dengan kekhasan realis yang biasa saja.
Sedangkan untuk wilayah penulisan cerpen, realisme magis telah dibangun secara total oleh cerpenis Agus Noor dalam judul “Dzikir Sebutir Peluru” yang merupakan bagian dari antologi cerpen Kompas tahun 1995. Cerpen yang sangan membutuhkan kesiapan pembaca untuk memahami setting dan penokohan benda mati ini mampu menjadikan realisme-magis sebagai arwah utama penggerak ceritanya.
“Kita adalah makhluk terdzolimi, aku tak mau menembus dada bocah-bocah mahasiswa itu, apalagi diisalah sasarkan”… ujar Peluru 1. Dan banyak dialog-dialog lain yang terus mengalir dan merupakan kumpulan beberapa keajaiban yang masih terkurung dalam wajah real (nyata).
Realisme-magis dalam nadi puisi dan sajak
Tiba-tiba Izrail lenyap digantikan oleh sekuntum malaikat lain yang berbeda. Tubuh malaikat yang muncul tiba-tiba itu berubah-ubah bentuknya, dari mawar, lalu melati, kemudian kenanga, lantas bunga matahari, lalu berubah lagi menjadi anggrek putih dengan sejumlah noktah berwarna violet hijau dan oranye. Kembang-kembang itu ukurannya lebih besar ketimbang manusia, kadang mekar besar sekali memenuhi angkasa.
“ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tak terbatas luas bagai cakrawala, mengapa harus ditangisi”
(Danarto, Kacapiring : 2008)
Danarto, mungkin adalah salah satu dari sekian penyair Indonesia yang sering bermain-main dengan kerumitan realisme-magis. Dalam kumpulan puisi Kacapiring hampir setiap judul usungannya menggunakan pendekatan realisme-magis, walaupun tak bisa dipungkiri kadang beliau juga merefresh sajak-sajak berikutnya dengan aroma yang lain.
Realisme-magis dikhaskan oleh Danarto melalui naskah-naskah puisi religi yang bebas, real, namun memiliki kekuatan-kekuatan tertentu yang semakin menghantarkan dirinya sebagai penyair yang mengutamakan kecerdasan. Tilik saja pada bait puisi Berburu Ayat-Ayat Suci tahun 2005:
Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka
Sapardi Djoko Damono mencoba menghadirkan unsur realisme magis dengan lebih detail, menancap, namun tetap menawarkan realitas yang kuat. Seperti yang telah beliau tulis dalam kumpulan sajak Perahu Kertas tahun 1982:
Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi!”
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan…
Aliran sastra realisme-magis ini dapat mewakili corak pemikiran kaum nahdliyin tentang budaya pembebasan manusia dari keterkungkungan, penjagaan tradisi, dan penegasan terhadap berbagai geliat karomah para ulama dalam kemasan berupa sastra.
Walaupun realisme-magis masih terbilang asing dalam sastra Indonesia, namun suasana keajaiban tersebut semakin menguat dengan munculnya penyair-penyair muda yang mencoba menganut corak langka ini, sebut saja Nirwan Dewanto, Mashuri, dan masih banyak lagi yang tak lain adalah para pesastra dari generasi muda NU.
***
*) Penulis adalah Ketua Umum ASJAP Institute Mahasiswa ISIF Cirebon dan Direktur Pesantren Baca- Cirebon. http://sastra-indonesia.com/2010/09/pesona-sastra-dan-tradisi-berfikir-nahdliyin/
No comments:
Post a Comment