Jurnal Nasional, 7 Sep 2008
Melalui cerpen-cerpennya, Danarto mempertontonkan berbagai peluang logika cerita yang tak harus konvensional.
Eksperimentasi dalam khazanah Sastra Indonesia mulai marak pada 1970-an. Saat inilah muncul eksplorasi yang amat beragam bentuknya. Para penulis menjajal gaya berbahasa yang berbeda, bereksperimen dengan teknik bercerita, juga mencoba memasukkan elemen-elemen visual sebagai bagian dari karya mereka.
Sebelumnya eksperimen dalam cerpen sudah mulai dilakukan, namun percobaan-percobaan yang dilakukan itu lebih kepada eksplorasi tema. Tema keseharian yang sebelumnya kerap diangkat, berkembang menjadi tema-tema politik atau metafisika.
Sementara dalam hal bentuk, eksplorasi yang dilakukan agak jarang. Kebanyakan cerpen yang muncul sebelum 1970-an masih mengambil bentuk realis.
Menurut Abdul Hadi WM dalam esainya Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia, pada periode ini terjadi pergeseran tema dan pandangan tentang dunia dan manusia dalam sastra. Realitas sastra dikembalikan pada pengertian proporsional, sebagai realitas imajiner. Realisme formal yang telah cukup lama mengungkung didobrak. Dan para eksponennya Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, Iwan Simatupang menggunakan simbolisme dalam karya-karyanya dan banyak menggali mitos dan tradisi.
Eksplorasi Danarto
Dari nama-nama tersebut, Danarto adalah salah satu yang paling eksperimental dalam berkarya. Mengangkat tema-tema mistisisme Jawa yang dibaurkan dengan tema-tema Sufi yang kuat, Danarto membuat cerpen-cerpen yang mengaburkan batas antara realita sehari-hari dengan fantasi. Dunia dalam cerpen-cerpen Danarto menjadi dunia antara, yang mengambang di antara yang abstrak dan riil, tidak fana tapi tidak baka. Di dalam dunia itu bisa saja terjadi: Abimanyu berdialog dengan kodok, penari kecak dengan mesin komputer, Hamlet dan Horatio menembus waktu.
“Danarto dengan cerpen-cerpennya menjungkir balikkan logika formal sebuah cerita. Cerpen-cerpennya dibuat begitu tidak teratur. Menabrak batasan-batasan logika bercerita standar yang saat itu dikenal orang. Oleh karena itulah tokoh-tokoh dalam karya bisa berupa apa saja. Bisa bunga, bisa manusia, bahkan ayat Al-Qur’an sekalipun,” ujar Maman Mahayana pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Menurut kritikus Ribut Wijoto, Danarto berangkat dari kerangka penceritaan yang tak realis. Ini membuatnya bebas mengekeplorasi berbagai kemungkinan. “ Tetapi ketidakrealisan Danarto tidak muncul secara tiba-tiba. Ada logika teks yang mengikat dari awal hingga akhir cerita.”
Sejak awal Danarto membangun dunia yang tidak realis dalam cerpen-cerpennya. Dalam dunia yang ia ciptakan itu semua hal yang tak mungkin di dunia nyata, menjadi mungkin. Tokoh-tokohnya bisa menembus batas ruang dan waktu.
“Artinya, Danarto membangun logika teks tersendiri. Tidak logis dalam dunia nyata atau dalam cerpen orang lain, bisa menjadi logis dalam cerita Danarto. Maka, cerpen Danarto pun berisi keanehan-keanehan yang memiliki logika tersendiri,” ujar Ribut dalam sebuah wawancara melalui email dengan Jurnal Nasional.
Berdasarkan dunia yang dibangun secara tak realis itu, Danarto membuat cerita dengan gaya yang sama sekali berbeda. Alur cerita bisa diawali dengan sebuah konflik, lalu melompat ke masa lalu. Kemudian melompat lagi ke akhir cerita. Plot cerpen Danarto kerap tak lurus, dan tak jarang dibuat dengan akhir yang menggantung. Hasilnya adalah plot yang dipenuhi dengan kejutan.
Danarto juga bebas bermain-main dengan seting. Latar cerita yang tidak realis memungkinkan latar cerita yang tidak terkungkung ruang. “Danarto lebih tunduk pada konsep,“ kata Ribut.
Sementara penokohan sama bebasnya dengan aspek lain dalam cerpen Danarto. “Kerapkali tokoh-tokoh Danarto adalah manusia yang tidak bisa dibayangkan berdarah atau berdaging. Tokoh-tokoh Danarto adalah tokoh-tokoh yang absurd. Tapi karena ditunjang oleh dunia yang absurd juga, maka penokohan menjadi kuat. Artinya tokoh hidup dalam logika teks yang wajar.”
Cerpen-cerpen Danarto juga bebas dari hubungan kausalitas. Ceritanya yang bisa berupa apa saja, dan bebas mengalir ke mana-mana. “Danarto bisa dikatakan sebagai seorang sastrawan yang mengabdi pada tokoh-tokoh ciptaannya. Berbeda dengan pada umumnya sastrawan yang mengarahkan tokoh-tokoh ciptaanya,” ujar Maman.
Membaca karya Danarto, seseorang tidak bisa menggunakan logika konvensional. Ia harus mengikuti saja ke mana cerita membawanya. “Barulah di akhir cerita kita akan melihat apa sebenarnya yang ingin ia katakan, apa pesan yang ada dalam cerpen-cerpennya,” kata Maman S. Mahayana.
Danarto yang juga seorang perupa, bereksperimen dengan bentuk dan gambar dalam cerpen-cerpennya. Dalam Godlob, ia lakukan misalnya dengan menjadikan gambar jantung hati sebagai judul salah satu cerpennya. Dalam Adam Ma’rifat gambar satu bar balok not ia jadikan sebagai judul. Sementara kumpulan cerpen Berhala dibuka dengan sebuah cerpen yang diberi judul singkat, sebuah tanda seru.
Latar belakang sebagai seorang perupa ini menurut Ribut Wijoto ada kemungkinan berpengaruh pada eksplorasi Danarto dalam membuat karya sastra. Karya-karyanya kaya dengan lukisan kehidupan. Peristiwa-peristiwanya imajinatif, tak jarang juga puitis.
“Semisal ketika dia menggambarkan sebuah lembah yang penuh dengan tengkorak bayi. Di situ ada seorang buta. Gambaran tersebut menurut hemat saya amat imajinatif. Saya membandingkannya dengan Acep Zamzam Noor. Seoran penyair yang juga pelukis yang kerap menghasilkan karya-karya yang amat imajinatif,” kata Ribut.
Perbedaan mendasar
Bersama para prosais eksperimental lainnya, Danarto mengembangkan sebuah gaya bercerita yang absurd. Persamaan di antara keempatnya, mereka membuat cerita-cerita yang anti alur, anti tokoh. Cerita bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, sementara tokoh bisa siapa dan apa saja. Namun para eksponen itu, Iwan Simatupang, Budi Darma, Putu Wijaya serta Danarto, memiliki kencendrungannya sendiri-sendiri.
Danarto mengembangkan mistisisme Jawa dan Sufi dalam karya-karyanya, sementara Putu Wijaya mengembangkan Hinduisme, Iwan Simatupang dan Budi Darma sama-sama berpijak pada filsafat Barat khususnya eksistensialisme.
“Budi Darma memiliki tokoh Rafilus yang biasa berolahraga dengan memukul-mukul tiang listrik sampai bengkok. Sementara Putu Wijaya kerap kali memakai tokoh hewan dalam cerpennya. Iwan bisa memunculkan kehidupan absurd seorang penjaga kuburan. Dan tokoh cerpen Danarto kerap kali bukan manusia, kalaulah tokohnya manusia, tokohnya sangat tidak manusiawi atau tidak seperti manusia biasa,” Kata Ribut Wijoto.
Dalam sebuah cerpennya Danarto memunculkan karakter seorang komisaris yang muncul bersamaan di beberapa perusahaan di Jakarta di hari yang sama. Dalam Rembulan di Dasar Kolam Danarto mengulangi pola ini dengan menampilkan sosok seorang istri yang bisa muncul di dua tempat secara bersamaan, mengikuti suaminya yang diam-diam berselingkuh.
“Yang jelas Danarto berbeda dari ketiga lainnya. Satu hal mendasar yang membedakannya, Danarto punya keteguhan dalam menyingkap rahasia ilahi ataupun rahasia hidup. Bahwa, kehidupan tidak selalu masuk akal. Pilihan yang ditempuh, Danarto kerap memasukkan wacana-wacana mistis Islam maupun hal-hal gaib. Dia secara teguh, lebih dibanding pengarang manapun, terus-menerus mengeksplorasi tema mistis tersebut,” kata Ribut.
Konsistensi mengangkat tema-tema mistis ini membuat cerpen Danarto benar-benar berbeda dengan para eksponen lainnya. Budi Darma misalnya tidak akan mempertemukan tokohnya dengan tokoh yang bukan manusia. Begitu pula dengan Iwan Simatupang, tokoh-tokohnya tidak akan mengalami hal-hal gaib sementara Putu yang dengan jenaka kerap melontarkan protes sosial tidak akan menceritakan tokoh yang mengalami pengalaman batin yang sufistik.
***
http://sastra-indonesia.com/2008/09/penjungkirbalikan-logika-formal/
No comments:
Post a Comment