Saturday, July 24, 2021

DUNIA GILA KEHIDUPAN GELANDANGAN

Maman S. Mahayana *
 
Joni Ariadinata, Kali Mati (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999) vi + 164 hlm.
 
Dunia sastra adalah dunia yang seba mungkin. Dan keserbamungkinan ini lahir dari sebuah proses penjelajahan imajinasi. Mengingat penjelajahan imajinasi dapat mene-robos dimensi ruang dan waktu, maka dunia sastra boleh jadi bolak-balik antara masa lalu, kini, dan masa datang; atau ia juga dapat menclak-menclok dari ruang yang satu ke ruang yang lain. Bahwa kemudian penjelajahan imajinatif itu terkesan terbata-bata, jum-palitan, atau ngalor-ngidul dan semrawut, persoalannya terletak pada sarana ekspresinya yang sangat terbatas dan tidak dapat mewakili secara sempurna kegelisahan pikiran dan perasaan seseorang. Bahasa sebagai sarana ekspresi, ternyata tidak mampu mengungkap-kan keliaran imajinasi. Inilah yang terjadi dalam antologi Kali Mati karya Joni Ariadinata.
 
Ada 15 cerpen yang terkumpul dalam antologi ini. Dan semuanya mengungkap-kan gambaran, betapa keliaran imajinasi yang coba diekspresikan lewat bahasa, nyaris membuat kita ikut jumpalitan. Memang ada logika formal yang hendak diselusupkan la-tar cerita dan ungkapan para tokoh yang digambarkannya, tetapi kemudian logika formal itu menjadi mubazir, lantaran imajinasi memang tidak tunduk pada logika. Akibatnya, tata bahasa, urutan sintaksis, kosa kata baku, benar-benar dibuat berantakan. Luar biasa!
 
Inilah antologi cerpen yang paling kurang ajar dalam memperlakukan bahasa. Tidak cuma itu, majas atau gaya bahasa yang selama ini kita kenal dalam buku pelajaran, ikut dibuat kocar-kacir dan ngawur. Tetapi justru dengan cara itu, Joni sesungguhnya hendak memotret problem sosial kita yang memang serba ngawur dan amburadul. Sebuah potret acakadul yang banyak kita jumpai dalam kehidupan para gelandangan, orang gendeng, sableng, gemblung. Itulah tema yang mendominasi antologi cerpen ini.
 
Secara tematis, Joni bukanlah orang pertama yang mengangkat kehidupan dunia kere. Muhammad Ali dalam Gerhana mengangkat kere perkotaan dalam berhadapan de-ngan keserakahan orang-orang kaya. Jika tidak, Ali membalurinya dengan akhir yang tra-gis. Ahmad Tohari dalam Senyum Karyamin dan Nyanyian Malam, mengangkat wong cilik pedesaan. Meskipun keduanya memperlihatkan cara bertutur yang berbeda, keberpihakan pada wong cilik tampak jelas melatari sikap kepengarangannya.
 
Dalam konteks itu, sikap kepengarangan Joni tidak wujud dalam bentuk berpihak, melainkan dalam amuk terhadap nasib yang terus dikungkungi kesengsaraan abadi, keke-rean, dan tragikal yang lengket menempel gelandangan dan dunia gila orang-orang yang ternistakan. Lalu bahasa macam apa yang diperlukan untuk mengungkapkan dunia gila yang seperti itu? Pentingkah logika untuk menjelaskannya? Di sinilah bahasa manusia tak mampu mewadahi lompatan-lompatan pikiran; logika gagal merumuskan realitas. Akibat-nya, dapat dipahami jika yang muncul kemudian adalah pembebasan sintaksis dan pembe-lotan atas kosa kata baku.
 
Pilihan tema dan gaya yang diambil Joni, memang memberi peluang baginya un-tuk mengumbar imajinasinya secara liar dan bebas. Juga membuka kemungkinan kebe-basan berkreasinya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Akibatnya, ia juga dapat sekali-gus membangun dunia orang-orang gelandangannya tanpa beban, yang kadang kala jus-tru mengesankan ekspresi kreatifnya, dalam beberapa cerpen, menyerupai puisi.
 
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa ekspresi apapun yang tertuang dalam teks, perlu dicurigai punya makna. Siasat untuk mengecoh pembaca mesti ditempatkan dalam kerangka interpretasi. Oleh karena itu pula, setiap tanda apapun, mesti punya kon-tribusi bagi bangunan teks itu sendiri. Ia mesti menjadi bagian integral dalam keterkaitan-nya dengan unsur lain dalam sebuah wacana. Tanpa adanya sinyal yang memperlihatkan keterkaitan itu, masih patut jika kita menyebutnya sekadar main-main. Inilah yang terjadi pada cerpen “Dardanela” (hlm. 105–114).
 
Sembilan alinea pertama cerpen itu, ditulis dalam ejaan van Ophuijsen. Tetapi aneh, logatnya sama dengan bahasa Indonesia sekarang. Memang tidak ada hubungannya dengan soal logika. Meski begitu, sastra juga tidak terlepas dari persoalan wawasan. Jadi, jika ia hendak menggambarkan masa lalu (sebelum Indonesia merdeka), ia mestinya juga memantulkan potret zamannya. Jika tidak demikian, apa maknanya ejaan van Ophuijsen digunakan di sana, apabila ia tidak mendukung dan tak berkaitan dengan makna yang hendak disampaikan wacana bersangkutan, kecuali sekadar untuk “main-main”.
 
Persoalannya sangat berbeda dengan pilihan tema dan gaya yang digunakannya. Dalam perjalanan cerpen Indonesia, tema dan gaya dalam antologi ini, sungguh khas, meskipun sebelum itu, dengan gaya dan ragam yang agak berbeda, Arifin C. Noer, per-nah pula menggarapnya. Oleh karena itu, kehadiran antologi ini bolehlah dikatakan meru-pakan sumbangan penting dalam memperkaya khazanah cerpen Indonesia.
 
Gaya bahasa (style) memang sering kali berurusan dengan tema, atau sebaliknya, tema terpaksa mesti disaranai oleh style. Tidak sedikit karya sastra yang jatuh pada ku-bangan, hanya lantaran tidak memperhatikan persoalan “remeh-temeh” seperti itu. Bahwa Joni telah memilih tema kehidupan kaum papa, niscaya itu merupakan pilihan yang tidak main-main. Kita tentu saja amat menghargai pilihannya. Namun, persoalannya lain jika lalu ia membelot pada tema yang menjadi pilihannya itu. Maka, musibah pun terjadilah.
 
Cerpen “Sampah Tuhan” (hlm. 66–78) yang mengangkat sepak terjang dan per-debatan estetik seorang pelukis dengan Profesor Babir, misalnya, justru terkesan nyinyir dan sok tahu, manakala persoalannya menyentuh dunia yang sesungguhnya asing bagi pengarangnya sendiri. Betul ada eksploitasi wong kere di sana. Namun, penderitaannya justru tidak begitu menonjol, lantaran persoalannya lebih banyak menyorot pada sepak terjang pelukis dan profesor tadi. Boleh jadi, gregetnya akan sangat lain, jika kehidupan tokoh Siti Sapi yang diplintir dan digali secara maksimal, sebagaimana yang dilakukan-nya dalam cerpen-cerpen lainnya.
 
Kasus yang sama juga terjadi pada cerpen “Jelatang Bundar”. Lompatan-lompat-an pikiran para tokohnya yang modar-mandir dari masa kini ke masa lalu yang pada awalnya cukup meyakinkan –lantaran kesemrawutannya, seolah-olah jadi mubazir mana-kala ada latar kehidupan mewah menimpalinya. Akibatnya, penataan peristiwa yang di-alami para tokohnya, jadi terasa hambar.
 
Satu cerpen lagi, ”Indonesia” hadir dengan beberapa hingar dan tentu saja itu agak mengganggu. Tokoh Karti yang gemblung dengan latar kehidupan jalanan, pada awalnya cukup memukau. Tetapi ujaran-ujarannya yang tidak berantakan dan ngawur, malah jadi menimbulkan pertanyaan. Adakah wong gemblung menyadari dirinya gem-blung, sehingga ujarannya harus digemblung-gemblungkan? Dalam konteks ini, Joni agaknya perlu menyimak Luxun (“Catatan Harian Seorang Gila”), Iwan Simatupang (“Lebih Hitam dari Hitam”) atau Ahmad Tohari (“Wangon Jatilawang”).
***
 
Terlepas dari persoalan-persoalan itu, secara keseluruhan antologi Kali Mati sungguh memberi banyak janji. Ia hadir dengan kekhasannya tentang gembel dan orang-orang tergusur di perkotaan. Tema ini menjadi begitu “gila” karena gaya bahasa dan kosa kata yang digunakannya serba “gila”. Dan ini didukung oleh kemarahan dan kesumatnya pada nasib busuk orang-orang “comberan”. Maka sempurnalah penderitaan mereka.
 
Jika tema dan gaya ini secara konsisten digarap terus secara serius, niscaya dari tangannya, kita tinggal menunggu lahirnya karya yang lebih cerdas yang mengungkap kemiskinan gembel Indonesia yang tidak ada duanya. Dan “Kali Mati” telah memper-lihatkan kecerdasan itu sebagai sebuah monumen!
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2008/11/dunia-gila-kehidupan-gelandangan/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar