Sunday, July 25, 2021

Mirip Diana…

Isbedy Stiawan Z.S. *

lampungpost.com
 
malam menguncup
angin laut menusuk
di palka ini perempuanku
menulis kisah-kisah silam
dari setitik tahilalat…
 
KAU mirip dengan temanku semasa kecil. Dia lincah, manis, namun berani memanjat pohon hingga ke paling pucuk. Ia juga layaknya seekor kera kerap menggantung dengan satu tangan dan kaki hanya menginjak ranting kecil, sementara satu tangannya lagi meraih buah: mangga, jambu, sirsak, ataupun murbei. Kami mengejeknya sebagai perempuan kera. Tetapi, dia tak marah. Hanya cengar-cengir. Kemudian melempar buah yang sudah di genggaman tangannya.
 
Wajahmu hampir tak berbeda. Bagaikan pinang dibelah dua. Cocok sekali kalau kau adalah kembaran teman kecilku. Cuma kalau ada yang membedakan, itu pun tak akan tampak oleh sekali pandang, yaitu rambutmu sedikit panjang dan hitam. Teman perempuan semasa kecilku agak pirang dan selalu sebahu rambutnya. Selain itu, ada tahi lalat di leher belakang: tahi lalat itu akan terlihat jika kami menyibak rambutnya atau ketika ia mengoncet.
 
“Aku juga ada tahi lalat di leher belakangku,” katamu.
 
Ah, boleh aku melihat? Pastilah kulit di lehermu putih dan mulus. Kau mendelikkan mata. Tanganmu mulai mengangkat. Aku bergeser seinci. Aku meminta maaf, dan tak akan mengulang ucapan atau keinginan jahil.
 
Ya. Kau memang mirip benar dengan teman semasa kecilku. Dia namanya Diana. Aku lupa nama panjangnya. Dia juga sekelas denganku sejak kelas satu SD hingga lulus. Kami sering beradu setiap ada perlombaan baca puisi atau mengarang. Kami saling bergantian juara. Cuma aku tak tahu lagi tatkala dia memilih SMP Negeri 1, sedang aku mengambil SMP khusus perindustrian. Kabarnya, Diana tak lagi suka mengarang puisi atau cerita. Tetapi ia gemar berias wajah.
 
Setiap pergi ke sekolah, kami masih sering bersama-sama menuju sekolah kalau kebetulan bertemu di depan gang, Diana tampil modis. Rambutnya kerap dibiarkan tergerai rapi, bibirnya dipoles lisptik berwarna ungu atau merah. Alis matanya hitam karena ditoreh pensil alis mata. Pakaian seragamnya bersih putih, dan rok birunya agak naik di atas lutut. Sepertinya sengaja dia memamerkan lutut dan sedikit di atasnya.
 
Jika pulang sekolah kami lebih banyak tak bersama. Sebab aku pulang agak sore, karena kerap berada di laboratorium sekolah. Ternyata pada suatu hari aku mendapat kabar, setiap pulang sekolah teman kecilku itu tak langsung pulang. Melainkan menonton film yang biasa diputar pukul 14.00. Memang waktu itu, hampir banyak bioskop- bukan seperti atau bernama Teater 21 miliknya Dwisekatmono-menayangkan film-film yang sudah diputar untuk ditayang siang hari. Sasarannya adalah para remaja sekolah atau mereka yang suntuk lalu memilih menonton siang hari.
 
Waktu itu memang banyak juga yang usianya di atas kami menonton. Mereka memilih bioskop hanya untuk memudahkan bercumbu dengan pacarnya di saat lampu gelap dan film main. Atau menonton orang lain yang tengah memadu kasih. Ah, ingat semua itu aku jadi malu sekaligus juga menginginkan kembali ke masa-masa indah itu.
 
Kau tersenyum. Sepertinya kau suka dengan cerita masa kecilku ini. Aku ingin meneruskan ceritaku, tepatnya kenangan masa kecilku dengan Diana. Ya! Diana lalu tumbuh sebagai remaja cantik dan manis. Kulitnya semakin putih. Aku paling sering mengintipnya saat mandi. Kunaiki pohon sirsak di belakang rumahku, lalu di atasnya kubuat semacam rumah-rumahan. Aku sering tidur-tiduran di dalam rumah pohon itu, dan tatkala jam mandi dadaku mulai berpacu kencang. Kudekatkan mataku ke lubang kecil yang sengaja telah kubuat. Napasku mulai tak beraturan, namun sekuat mampuku agar tak membuat ada gerakan. Kalau bergerak sedikit saja, alamat aku dibuat malu.
 
“Kau memang jahil,” desismu sambil melirik.
 
Angin laut sesekali mengacak rambutmu, namun secepat itu tanganmu merapikan lagi.
 
“Nakalnya masa anak-anak,” kataku.
 
“Biasanya membekas sampai sekarang,” katamu lagi.
 
“Tidak,” sergahku.
 
“Maksudnya, tidak salah….”
 
Nah, senyummu tak beda dengan Diana. Juga tatkala kau mendelikkan matamu tadi, pun ketika tanganmu mengangkat ingin memukulku. Sungguh, jika saja tadi kau benar-benar memikulku atau melemparku dengan benda, aku tak akan marah apalagi menuntutmu sebagai perlakukan tak menyenangkan.
 
Sebenarnya aku ingin mengenang masa lalu. Ketika Diana melempar batu ke punggungku, karena aku tiba-tiba mengangkat roknya saat melintasi gang kecil akan pergi ke sekolah. Aku berlari kesakitan sambil memegangi punggungku. Tetapi esok pagi, kami jalan bersama lagi. Hanya saja, aku sudah tak berani lagi menarik tinggi roknya, namun aku masih berani mengangkat rambutnya untuk melihat tahi lalat yang ada di leher bagian belakang yang selalu disembunyikan oleh rambutnya.
 
“Mungkin tahi lalat di aku sama besarnya dengan tahi lalat temanmu itu,” kau mulai lagi. “Memang banyak lelaki yang bilang kalau tahi lalatku ini indah dan menggiurkan. Aku sendiri tak faham soal keindahan apalagi menggiurkan. Apanya yang menggiurkan, pikirku, hanya sebuah tahi lalat. Tahi lalat cumalah setitik bercak yang sebenarnya sebagai kotoran di kulit.”
 
“Siapa bilang? Aku lupa namanya, yang jelas artis, dia cantik karena ada tahi lalat persis di dagu sebelah kiri dekat bibirnya. Lidya Kandou mungkin sedikit hilang kecantikannya, jika dia tak memiliki tahi lalat….” kataku memuji tahi lalat yang menghiasi perempuan sesungguhnya menambah nilai baginya: kalau tak semakin cantik ya kian manis.
 
“Aku tetap tidak sependapat,” bantahmu. “Tahi lalat tidak lebih hanya tanda, sebagai pengenal bagi seseorang. Dia hanya disebut jika pemilik tahi lalat itu hilang atau tak pulang. Iklan orang hilang atau tak pulang, akan menulis "ciri-cirinya ialah ada tahi lalat di anu dan anu, selain itu mengenakan pakaian berwarna…" ah, kurasa, sudah klise, selalu saja itu yang disebut untuk mencirikan orang. Memangnya tak ada yang lain?”
 
“Ya tak mungkin kalau iklan orang hilang atau tak pulang, menyebut orangnya cerdas, manis atau jelek, hitam atau putih dan seterusnya. Itu dianggap aib, bukan ciri seseorang…” jawabku cepat.
 
“Lalu apa pentingnya tahi lalat? Aku saja merasa tak ada kekhususan, tak ada arti apa-apa….”
 
“Baiklah,” ujarku kemudian enggan bertengkar. “Kita lupakan ihwal tahi lalat. Aku juga sudah bosan membicarakan, meski aku meyakini bahwa tahi lalat tetap sebagai pencirian seseorang. Seperti kita mencirikan diri kita masing-masing, sehingga kita merasa sesaudara karena disatukan oleh negara…”
 
“Kau mulai melebar bicaranya. Untuk apa menarik persoalan tahi lalat ke masalah negara. Sudahlah, semua orang juga sudah memaklumi. Kita memang sebangsa, namun kita tetap berbeda karena kita tak sama dalam keyakinan, etnis, mapun bahasa ibu,” kilahmu.
 
Kau cerdas, desisku. Serupa benar dengan temanku semaca kecil bernama Diana. Karena kecantikan Diana, aku sering menyanyikan syair lagu yang waktu itu sangat populer: “Diana Diana kekasihku, bawalah aku ke orang tuamu. Diana Diana…” ah aku lupa lengkapnya. Aku sangat menyukai lagu itu, sering kunyanyikan di setiap kesempatan. Bahkan di depan Diana. Marahkah Diana? Ia hanya tersenyum-senyum. Kami seperti sepasang kekasih waktu itu yang tengah menjalani cinta monyet. Meski kami tak pernah mengutarakannya.
 
Tetapi serampung SMA dia dilamar oleh gurunya di SMA itu. Guru muda dan lajang. Dia diboyong ke perumahan. Sejak itu aku tak lagi berjumpa dengannya. Kabarnya dia sudah memiliki tiga orang anak: dua perempuan manis, dan seorang lelaki yang sayangnya autis.
 
“Tapi aku bukan Diana itu…” katamu kemudian setelah agak lama kau hanya mendengar ceritaku.
 
“O tentu. Kau juga bukan kembaran Diana. Karena aku tahu Diana itu tidak lahir kembar, dia cuma punya adik perempuan yang wajah dan segala hal amat berbeda.”
 
Aku makin menguatkan perasaanku, bahwa perempuan yang duduk di sebelahku dalam perjalanan kapal feri Merak-Bakauheni pastilah bukan Diana. Hanya aku tak hendak mencari tahu namanya. Cukuplah batinku menyebut dia sebagai Diana. Artinya setiap aku bicara, di hatiku lebih dulu melafaskan Diana, kemudian: “…. tujuanmu ke mana setelah sampai di Rajabasa? Jangan sampai…. diganggu di Termninal Rajabasa nanti.”
 
“Saya akan ke Kotabumi, aku kan asli dan kelahiran sana. Ya aku tahu kalau Rajabasa memang tidak aman, sejak dulu…” katamu.
 
“O ya, di Semarang bekerja? Juga dengan suami?”
 
Kau mendesah. Mengibaskan rambutmu, dan ah terlihat tahi lalatmu di leher belakang. Ya, persis dengan tahi lalat milik Diana. Ah, kenapa pula aku bisa dipertemukan dengan orang yang tanpa perbedaan di waktu kini dengan masa silam? Apakah benar kata pendapat ahli, bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kemiripan lebih dari sepuluh orang? Bukankah itu sama saja Tuhan, kadang-kadang kuanggap, kehabisan ide sehingga membuat mahluknya dengan kesamaan? Kalau ya, berarti tak kreatif?
 
Tiba-tiba aku sadar. Aku sudah mengecilkan ke-Mahapenciptaan dan ke-Mahabesaran Tuhan. Ya, aku ingat pula dengan petuah guru mengajiku dulu di surau: “Dengan adanya kemiripan itulah, Tuhan ingin menunjukkan kepada manusia bahwa apa pun yang ingin dilakukan sekali kun maka jadilah. Tetapi, manusia sering congkak dan merasa bisa membuat kitab suci, padahal ketika disuruh membuat semisal saja, tidak mampu!”
 
Kau memang bukan Diana. Cuma beri aku kebebasan untuk memanggilmu Diana. Jika kau keberatan akan kucabut keinginanku ini, dan kulupakan nama Diana. Meski aku tak bisa melupakan bahwa kau mirip dengan Diana.
 
“Oke,” katamu pendek dan ringan. Sungguh aku tak mengerti, karena aku tak bisa menafsir atau memahami ucapanmu yang amat pendek itu. Lalu kau tersenyum. Makin aku tak faham, kecuali saat kau mengaku bahwa kau singel parent di Semarang.
***
 
KAU mirip dengan temanku semasa kecil. Diana namanya. Dia lincah, manis, namun berani memanjat pohon hingga ke paling pucuk. Ia juga layaknya seekor kera kerap menggantung hanya dengan satu tangan dan kaki hanya menginjak ranting kecil, sementara satu tangannya lagi meraih buah: mangga, jambu, sirsak, ataupun murbei.
 
Tetapi kau lebih modis. Tinggimu mungkin hanya lebih seinci dari Diana. Kalau teman kecilku sangat menyukai sepatu cat, sedangkan kau bersepatu hak. Perbedaan lain, kau perokok.
 
“Tapi aku bukan pecandu, aku merokok karena situasi saja. Sehabis makan, lagi suntuk, atau sedang di perjalanan seperti ini,” kau berasalan.
 
“Aku tak tahu kemudian, jangan-jangan Diana juga perokok. Mungkin terpengaruh suaminya yang memang pecandu rokok,” ujarku kemudian.
 
“Cuma yang jelas, aku bukan Diana. Aku Dina…” katamu lagi.
 
“Diana… Dina…” desahku. Mirip pula namamu.
 
“Jangan samakan aku dengan dia!” hentakmu.
 
Aku terperangah.
 
11042010

*) Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Bukunya yang terbaru: Selembut Angin Setajam Ranting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Kembali Ziarah, Hanya untuk Satu Nama, Kota Cahaya (2005), Salamku Pada Malam (2006). Kini berkhidmat di Dewan Kesenian Lampung dan AJI Lampung. http://sastra-indonesia.com/2010/11/mirip-diana/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar