Isbedy Stiawan Z.S. *
lampungpost.commalam menguncup
angin laut menusuk
di palka ini perempuanku
menulis kisah-kisah silam
dari setitik tahilalat…
KAU mirip dengan temanku semasa kecil. Dia lincah, manis, namun berani memanjat pohon hingga ke paling pucuk. Ia juga layaknya seekor kera kerap menggantung dengan satu tangan dan kaki hanya menginjak ranting kecil, sementara satu tangannya lagi meraih buah: mangga, jambu, sirsak, ataupun murbei. Kami mengejeknya sebagai perempuan kera. Tetapi, dia tak marah. Hanya cengar-cengir. Kemudian melempar buah yang sudah di genggaman tangannya.
Wajahmu hampir tak berbeda. Bagaikan pinang dibelah dua. Cocok sekali kalau kau adalah kembaran teman kecilku. Cuma kalau ada yang membedakan, itu pun tak akan tampak oleh sekali pandang, yaitu rambutmu sedikit panjang dan hitam. Teman perempuan semasa kecilku agak pirang dan selalu sebahu rambutnya. Selain itu, ada tahi lalat di leher belakang: tahi lalat itu akan terlihat jika kami menyibak rambutnya atau ketika ia mengoncet.
“Aku juga ada tahi lalat di leher belakangku,” katamu.
Ah, boleh aku melihat? Pastilah kulit di lehermu putih dan mulus. Kau mendelikkan mata. Tanganmu mulai mengangkat. Aku bergeser seinci. Aku meminta maaf, dan tak akan mengulang ucapan atau keinginan jahil.
Ya. Kau memang mirip benar dengan teman semasa kecilku. Dia namanya Diana. Aku lupa nama panjangnya. Dia juga sekelas denganku sejak kelas satu SD hingga lulus. Kami sering beradu setiap ada perlombaan baca puisi atau mengarang. Kami saling bergantian juara. Cuma aku tak tahu lagi tatkala dia memilih SMP Negeri 1, sedang aku mengambil SMP khusus perindustrian. Kabarnya, Diana tak lagi suka mengarang puisi atau cerita. Tetapi ia gemar berias wajah.
Setiap pergi ke sekolah, kami masih sering bersama-sama menuju sekolah kalau kebetulan bertemu di depan gang, Diana tampil modis. Rambutnya kerap dibiarkan tergerai rapi, bibirnya dipoles lisptik berwarna ungu atau merah. Alis matanya hitam karena ditoreh pensil alis mata. Pakaian seragamnya bersih putih, dan rok birunya agak naik di atas lutut. Sepertinya sengaja dia memamerkan lutut dan sedikit di atasnya.
Jika pulang sekolah kami lebih banyak tak bersama. Sebab aku pulang agak sore, karena kerap berada di laboratorium sekolah. Ternyata pada suatu hari aku mendapat kabar, setiap pulang sekolah teman kecilku itu tak langsung pulang. Melainkan menonton film yang biasa diputar pukul 14.00. Memang waktu itu, hampir banyak bioskop- bukan seperti atau bernama Teater 21 miliknya Dwisekatmono-menayangkan film-film yang sudah diputar untuk ditayang siang hari. Sasarannya adalah para remaja sekolah atau mereka yang suntuk lalu memilih menonton siang hari.
Waktu itu memang banyak juga yang usianya di atas kami menonton. Mereka memilih bioskop hanya untuk memudahkan bercumbu dengan pacarnya di saat lampu gelap dan film main. Atau menonton orang lain yang tengah memadu kasih. Ah, ingat semua itu aku jadi malu sekaligus juga menginginkan kembali ke masa-masa indah itu.
Kau tersenyum. Sepertinya kau suka dengan cerita masa kecilku ini. Aku ingin meneruskan ceritaku, tepatnya kenangan masa kecilku dengan Diana. Ya! Diana lalu tumbuh sebagai remaja cantik dan manis. Kulitnya semakin putih. Aku paling sering mengintipnya saat mandi. Kunaiki pohon sirsak di belakang rumahku, lalu di atasnya kubuat semacam rumah-rumahan. Aku sering tidur-tiduran di dalam rumah pohon itu, dan tatkala jam mandi dadaku mulai berpacu kencang. Kudekatkan mataku ke lubang kecil yang sengaja telah kubuat. Napasku mulai tak beraturan, namun sekuat mampuku agar tak membuat ada gerakan. Kalau bergerak sedikit saja, alamat aku dibuat malu.
“Kau memang jahil,” desismu sambil melirik.
Angin laut sesekali mengacak rambutmu, namun secepat itu tanganmu merapikan lagi.
“Nakalnya masa anak-anak,” kataku.
“Biasanya membekas sampai sekarang,” katamu lagi.
“Tidak,” sergahku.
“Maksudnya, tidak salah….”
Nah, senyummu tak beda dengan Diana. Juga tatkala kau mendelikkan matamu tadi, pun ketika tanganmu mengangkat ingin memukulku. Sungguh, jika saja tadi kau benar-benar memikulku atau melemparku dengan benda, aku tak akan marah apalagi menuntutmu sebagai perlakukan tak menyenangkan.
Sebenarnya aku ingin mengenang masa lalu. Ketika Diana melempar batu ke punggungku, karena aku tiba-tiba mengangkat roknya saat melintasi gang kecil akan pergi ke sekolah. Aku berlari kesakitan sambil memegangi punggungku. Tetapi esok pagi, kami jalan bersama lagi. Hanya saja, aku sudah tak berani lagi menarik tinggi roknya, namun aku masih berani mengangkat rambutnya untuk melihat tahi lalat yang ada di leher bagian belakang yang selalu disembunyikan oleh rambutnya.
“Mungkin tahi lalat di aku sama besarnya dengan tahi lalat temanmu itu,” kau mulai lagi. “Memang banyak lelaki yang bilang kalau tahi lalatku ini indah dan menggiurkan. Aku sendiri tak faham soal keindahan apalagi menggiurkan. Apanya yang menggiurkan, pikirku, hanya sebuah tahi lalat. Tahi lalat cumalah setitik bercak yang sebenarnya sebagai kotoran di kulit.”
“Siapa bilang? Aku lupa namanya, yang jelas artis, dia cantik karena ada tahi lalat persis di dagu sebelah kiri dekat bibirnya. Lidya Kandou mungkin sedikit hilang kecantikannya, jika dia tak memiliki tahi lalat….” kataku memuji tahi lalat yang menghiasi perempuan sesungguhnya menambah nilai baginya: kalau tak semakin cantik ya kian manis.
“Aku tetap tidak sependapat,” bantahmu. “Tahi lalat tidak lebih hanya tanda, sebagai pengenal bagi seseorang. Dia hanya disebut jika pemilik tahi lalat itu hilang atau tak pulang. Iklan orang hilang atau tak pulang, akan menulis "ciri-cirinya ialah ada tahi lalat di anu dan anu, selain itu mengenakan pakaian berwarna…" ah, kurasa, sudah klise, selalu saja itu yang disebut untuk mencirikan orang. Memangnya tak ada yang lain?”
“Ya tak mungkin kalau iklan orang hilang atau tak pulang, menyebut orangnya cerdas, manis atau jelek, hitam atau putih dan seterusnya. Itu dianggap aib, bukan ciri seseorang…” jawabku cepat.
“Lalu apa pentingnya tahi lalat? Aku saja merasa tak ada kekhususan, tak ada arti apa-apa….”
“Baiklah,” ujarku kemudian enggan bertengkar. “Kita lupakan ihwal tahi lalat. Aku juga sudah bosan membicarakan, meski aku meyakini bahwa tahi lalat tetap sebagai pencirian seseorang. Seperti kita mencirikan diri kita masing-masing, sehingga kita merasa sesaudara karena disatukan oleh negara…”
“Kau mulai melebar bicaranya. Untuk apa menarik persoalan tahi lalat ke masalah negara. Sudahlah, semua orang juga sudah memaklumi. Kita memang sebangsa, namun kita tetap berbeda karena kita tak sama dalam keyakinan, etnis, mapun bahasa ibu,” kilahmu.
Kau cerdas, desisku. Serupa benar dengan temanku semaca kecil bernama Diana. Karena kecantikan Diana, aku sering menyanyikan syair lagu yang waktu itu sangat populer: “Diana Diana kekasihku, bawalah aku ke orang tuamu. Diana Diana…” ah aku lupa lengkapnya. Aku sangat menyukai lagu itu, sering kunyanyikan di setiap kesempatan. Bahkan di depan Diana. Marahkah Diana? Ia hanya tersenyum-senyum. Kami seperti sepasang kekasih waktu itu yang tengah menjalani cinta monyet. Meski kami tak pernah mengutarakannya.
Tetapi serampung SMA dia dilamar oleh gurunya di SMA itu. Guru muda dan lajang. Dia diboyong ke perumahan. Sejak itu aku tak lagi berjumpa dengannya. Kabarnya dia sudah memiliki tiga orang anak: dua perempuan manis, dan seorang lelaki yang sayangnya autis.
“Tapi aku bukan Diana itu…” katamu kemudian setelah agak lama kau hanya mendengar ceritaku.
“O tentu. Kau juga bukan kembaran Diana. Karena aku tahu Diana itu tidak lahir kembar, dia cuma punya adik perempuan yang wajah dan segala hal amat berbeda.”
Aku makin menguatkan perasaanku, bahwa perempuan yang duduk di sebelahku dalam perjalanan kapal feri Merak-Bakauheni pastilah bukan Diana. Hanya aku tak hendak mencari tahu namanya. Cukuplah batinku menyebut dia sebagai Diana. Artinya setiap aku bicara, di hatiku lebih dulu melafaskan Diana, kemudian: “…. tujuanmu ke mana setelah sampai di Rajabasa? Jangan sampai…. diganggu di Termninal Rajabasa nanti.”
“Saya akan ke Kotabumi, aku kan asli dan kelahiran sana. Ya aku tahu kalau Rajabasa memang tidak aman, sejak dulu…” katamu.
“O ya, di Semarang bekerja? Juga dengan suami?”
Kau mendesah. Mengibaskan rambutmu, dan ah terlihat tahi lalatmu di leher belakang. Ya, persis dengan tahi lalat milik Diana. Ah, kenapa pula aku bisa dipertemukan dengan orang yang tanpa perbedaan di waktu kini dengan masa silam? Apakah benar kata pendapat ahli, bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kemiripan lebih dari sepuluh orang? Bukankah itu sama saja Tuhan, kadang-kadang kuanggap, kehabisan ide sehingga membuat mahluknya dengan kesamaan? Kalau ya, berarti tak kreatif?
Tiba-tiba aku sadar. Aku sudah mengecilkan ke-Mahapenciptaan dan ke-Mahabesaran Tuhan. Ya, aku ingat pula dengan petuah guru mengajiku dulu di surau: “Dengan adanya kemiripan itulah, Tuhan ingin menunjukkan kepada manusia bahwa apa pun yang ingin dilakukan sekali kun maka jadilah. Tetapi, manusia sering congkak dan merasa bisa membuat kitab suci, padahal ketika disuruh membuat semisal saja, tidak mampu!”
Kau memang bukan Diana. Cuma beri aku kebebasan untuk memanggilmu Diana. Jika kau keberatan akan kucabut keinginanku ini, dan kulupakan nama Diana. Meski aku tak bisa melupakan bahwa kau mirip dengan Diana.
“Oke,” katamu pendek dan ringan. Sungguh aku tak mengerti, karena aku tak bisa menafsir atau memahami ucapanmu yang amat pendek itu. Lalu kau tersenyum. Makin aku tak faham, kecuali saat kau mengaku bahwa kau singel parent di Semarang.
***
KAU mirip dengan temanku semasa kecil. Diana namanya. Dia lincah, manis, namun berani memanjat pohon hingga ke paling pucuk. Ia juga layaknya seekor kera kerap menggantung hanya dengan satu tangan dan kaki hanya menginjak ranting kecil, sementara satu tangannya lagi meraih buah: mangga, jambu, sirsak, ataupun murbei.
Tetapi kau lebih modis. Tinggimu mungkin hanya lebih seinci dari Diana. Kalau teman kecilku sangat menyukai sepatu cat, sedangkan kau bersepatu hak. Perbedaan lain, kau perokok.
“Tapi aku bukan pecandu, aku merokok karena situasi saja. Sehabis makan, lagi suntuk, atau sedang di perjalanan seperti ini,” kau berasalan.
“Aku tak tahu kemudian, jangan-jangan Diana juga perokok. Mungkin terpengaruh suaminya yang memang pecandu rokok,” ujarku kemudian.
“Cuma yang jelas, aku bukan Diana. Aku Dina…” katamu lagi.
“Diana… Dina…” desahku. Mirip pula namamu.
“Jangan samakan aku dengan dia!” hentakmu.
Aku terperangah.
11042010
*) Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Bukunya yang terbaru: Selembut Angin Setajam Ranting, Seandainya Kau Jadi Ikan, Kembali Ziarah, Hanya untuk Satu Nama, Kota Cahaya (2005), Salamku Pada Malam (2006). Kini berkhidmat di Dewan Kesenian Lampung dan AJI Lampung. http://sastra-indonesia.com/2010/11/mirip-diana/
No comments:
Post a Comment