Sunday, July 25, 2021

Kertas-kertas Sunyi

Muhammad Yasir
 
Bukankah hanya kesunyian belaka yang engkau rasakan ketika kita duduk bersama di beranda toko buku yang sepi di sepanjang makam terpanjang dalam sejarah peradaban kolonialisme di sini?! Katakan! Bahwa setiap makam telah berubah menjadi rumah-rumah beraneka bentuk dan warna, beraneka pula persoalan hidup dan dakwaan dunia yang dihadapi orang-orang di dalamnya. Wahai, Maksimin, kawanku, katakan sejujur-jujurnya bahwa kesunyian ini telah juga merayap ke dalam kertas-kertas sunyi yang tersusun rapi pada rak-rak triplek itu! Orang kebanyakan, tak-bisa-tidak, telah kehilangan waktu untuk datang ke sini, bahkan sekadar bertanya kertas apa yang pas untuk menumpahkan kegelisahan dan kegetiran yang mendera hidup mereka. Di antara mereka, dari atas kuda besi yang mereka pacu, sesekali meludah kepada kita. Dan, kita tertawa dan melupakan mereka.
 
Untuk kali kesekian, engkau menerima kedatanganku tanpa kita perlu membuat acara perjamuan. Desir angin bulan Juli yang aneh, terasa menghantam setiap langkahku di koridor rumahmu yang penuh dengan anak-anak, lelaki-perempuan, dan rak triplek tanpa celah sedikit pun, seperti gerbong kereta dipenuhi orang-orang miskin di tanah Jawa Timur yang menabuh perut mereka seperti menabuh genderang perang tapi tanpa musuh di padang gersang, kertas-kertas itu telah lama tersusun di sana. Beberapa di antaranya menunjukan kepadaku betapa engkau telah melakukan perjalanan ribuan kali mencari, mengumpulkan, dan memilih kertas-kertas itu, hingga jika disusun dan dibentuk, dapatlah menjadi sebuah rumah yang mampu menampung beberapa orang dari kaum papa yang tumbuh menjamur di makam terpanjang di bumi itu.
 
Siti Mekka, istri Maksimin, adalah seseorang yang bersahaja dan mudah segala macam bentuk dan watak manusia. Pada suatu perjalanan, dia mendengar aku menuturkan cerita demi cerita zaman kebodohanku; suatu zaman di mana yang hidup adalah kematian, dan aku merayakannya. Pula dia adalah seorang pendengar yang baik. Dia mendengar untuk mendengarkan, itulah mengapa pada setiap kelimaks verbal cerita yang kututurkan, dia merespon dengan haru, tidak percaya bahwa ada pesakitan dan penindasan yang sedemikian mengerikan. Aku menyukai momen ini, karena aku bisa leluasa menjejali pikiran dan nuraninya tentang kematian ribuan anak di tanah-airku, sehingga harapan generasi penerus lenyap bersama jelaga pepohonan ulin dan kempas yang dibakar hangus, tidak terputus.
 
“Apakah engkau, Mas, melarikan diri karena kekalahanmu?” Siti Mekka bertanya pada akhir ceritaku.
 
“Mungkin yang pas adalah menjauh untuk mengumpulkan kemampuan. Tidaklah aku memiliki kemampuan melakukan pembebasan seorang diri, Ka, aku memerlukan energi Maksimin untuk mengasah kemampuanku menulis cerita. Meskipun, sesungguhnya, aku bisa menuliskan pesakitan ini seorang diri, tetapi bukankah kesendirian adalah kesunyian yang mengerikan. Kukatakan kepada engkau, acap kali aku duduk di meja kerja keabadian di rumah mertuaku, aku merasakan emosi meledak-ledak dalam diriku. Aku tidak memiliki kemampuan meredam emosi itu. Bahkan, ketika aku telah memiliki struktur yang utuh untuk menulis cerita, struktur itu akan hancur seperti ya... engkau tidak akan bisa membayangkan bagaimana mayat-mayat di tanah-airku tumbuh menjadi bahan baku minyak goreng dan kosmetik. Pun aku. Tetapi, bagaimana pun, aku menganggap itu keindahan yang remeh, seremeh perlakuan nyonya gubernur-mu itu. Ha-ha!”
 
“Lihatlah! Kini betapa takdir Tuhan membawaku kepada dua orang pengarang yang menyedihkan dan... Oh! Maksimin, mengapa engkau tidak menulis satu puisi saja untukku?! Seperti... aku ingat profesor itu! Dia menulis ini untuk istrinya: “Matamu adalah dermaga...”
 
Maksimin tertawa. Kemudian berkata, “Bukankah itu mengerikan, Istriku? Ha-ha... engkau bayangkan, sepasang mata istrinya adalah dermaga! Untukmu, Istriku, aku tidak perlu menggawat-gawatkan kekagumanku terhadapmu. Aku melakukannya. Sekali lagi, aku melakukannya.”
 
Maksimin bertubuh jangkung, berkulit sawo muda, dan beberapa tulisannya telah membuatnya melesat ke dunia yang dianggap remeh-temeh oleh orangtua kandungnya. Kesendirian telah membuatnya menjadi. Rambutnya jelek dan dua hari yang lalu dia mencukur kumisnya. Siti Mekka telah menyelamatkan hidupnya yang menggelandang di jalanan Ponorogo sebagai seorang pengarang yang dilecehkan kekasihnya, karena tidak mampu memberikan kehidupan layak di dunia baru ini. Orangtuanya adalah salah satu dari sekian pedagang ternama di Jawa Timur. Tetapi, tidak sekali pun, Maksimin mengadu kepada mereka atau mengiba diri agar diselamatkan dari kehidupan amorilnya. Sejak kecil, mereka, orangtua Maksimin, telah membuat trali besi lengkap dengan gembok baja pada dunianya; dunia kesenian yang mahal! Dan, sejak kecil pula, Maksimin telah melakukan pemberontakan tanpa suara.
 
“Orangtuaku,” kata Maksimin pada suatu malam, “melarang aku berkesenian. Mereka menginginkan aku menjadi seorang pedagang; harap-harap aku menuai kesuksesan dan masa depan yang cerah. Tetapi, aku menolak itu – meski aku tidak menyadari apa yang kulakukan adalah pemberontakan. Aku ingin menjadi seni-ku sendiri, pengarang! Alhasil, aku memilih jalur lain, yaitu melukis. Mereka pun tidak membiarkanku begitu saja, hingga sempat terbesit dalam pikiranku untuk menari saja. Pun, belum lagi aku memulai, mereka melarangku! Hingga kini, mereka masih memandang rendah profesiku sebagai seorang pengarang.
 
Maksimin menganggap bahwa kesunyian adalah orangtua angkatnya yang telah mengajarkan dirinya menyerap lika-liku jalan hidup, pilihan hidup, dan kehidupan. Kesunyian pula yang membuatnya tetap kokoh dan keras, walaupun, kenyataan hidup kadang-kadang membuatnya seperti perahu layar tanpa awak di tengah laut, diterpa badai, dan tanpa mercusuar pelayaran. Kecintaannya terhadap profesinya telah menyebarkan semerbak dan semangat yang mahal kepada siapa pun yang datang, siapa pun yang pergi, atau siapa pun yang berlalu begitu saja. Bahkan, kepada hari-hari yang menggiling-gilas akal sehat dan nuraninya. Maksimin adalah Maksimin dengan kesunyiannya, engkau dan aku tidak perlu mendebatkan itu.
 
“Sebagai kawan, barangkali, aku adalah kawan yang buruk, Maksimin. Tidaklah aku memiliki kuasa kata-kata untuk menghiburmu. Kepada diri sendiri saja, kuasa kata-kata menggringku ke lembah berkabut tebal dan penuh teka-teki. Beberapa kali, ketika aku mencoba untuk melawan dan menaklukannya dengan terus melangkah, aku sampai kepada suatu ironisitas hidup dunia baru yang tidak pernah diinginkan ini: aku digiring ke sebuah rumah kecil milik keluarga yang dimiskinkan. Di sana, aku melihat seorang anak perempuan terbaring di dipan lusuh. Sekujur tubuhnya kaku dan dingin. Ibunya yang wajahnya samar-samar, berkata, “Beberapa orang serdadu berpakaian lengkap membawa paksa anak perempuan kami satu-satunya, sehari semalam entah ke mana. Keesokan hari, ketika aku membuka pintu, sebuah peti mati bertulis “Di sini telah dimakamkan anak haram Nyonya Gubernur!” Dan, ketika aku mencoba membukanya, anak perempuan kami telah membiru di sana, telanjang bulat! Dari kemaluannya, darah bersimbah, kering dan beku! Bangsat! Mereka memerkosa anak perempuan kami! Dan, engkau tahu, ketika kami mencoba melaporkan itu, para pengecara dan hakim serdadu itu, meloloskan mereka begitu saja! Bangsat!” Kuasa kata-kataku, Maksimin, sungguhlah meletup-letup tiada henti. Sepuluh jariku membabi buta menulis, memaki, menghardik, dan seterusnya. Dan seterusnya! Tetapi, Maksimin, engkau telah menyelamat diriku untuk tidak menjadi parasite. Aku akan membalas kebaikanmu! Aku akan mencari bagaimana.”
 
Maksimin bergeming, membisu. Penyakit kiriman dari pembencinya datang dalam lima menit sekali. Bahkan, Siti Mekka memberi kesaksian bahwa tidak hanya Maksimin seorang yang diserang, dia pun tak pelak. Acap kali dalam tidurnya, mimpi burung datang memberikan pertanda bahwa akan ada kehancuran yang akan mereka alami. Aku tidak asing dengan penyakit kiriman semacam ini. Orang-orang kalah hanya akan menanam kebencian dalam dirinya. Kebencian itu pula yang membuatnya kehilangan cara memungsikan akal sehatnya sebagai manusia. Lebih-lebih, mereka seperti seekor babi hutan yang hanya bisa lari lurus saja.
 
“Aku tidak tahu apa yang mereka inginkan, sungguh. Beruntunglah, seorang kawan jauh memberiku amalan untuk meredamnya. Tetapi, itu akan selalu datang. Dan, jika menggila, aku tidak bisa bernafas dibuatnya!”
 
Tidak lama kemudian, dia berbaring di dipan modern dan mulai melanjutkan tulisannya yang tak sabar menunggu untuk segera diselesaikan. Di sebelah kirinya, kertas-kertas sunyi sesekali terbuka karena hembusan angin dari kipas angin. Diam-diam aku menyaksikan dia menulis sembari terus memilih kertas-kertas yang berkualitas untuk kujual sepulang dari pertemuan ini. Kuberitahu engkau sesuatu, meskipun orang-orang telah menganggap bahwa kertas-kertas sunyi itu sebagai sesuatu yang remeh-temeh, mereka telah menyelamatkan kami dari keterpelacuran dan keputusasaan yang mulai sejak sekian lama hingga engkau membaca cerita ini, tiada segan dan malu menyerahkan diri mereka untuk melacur dalam keputusasaan hidup dan seterusnya.
 
Lihat! Bagaimana Maksimin dan Siti Mekka secara tersirat menunjukan kepada aku dan mungkin juga engkau, pengarang akan tetap hidup dan gagah, sekali pun kenyataan hadir seperti serdadu dan Nyonya Gubernur yang memerkosa anak perempuan, anak satu-satunya keluarga yang dimiskinkan yang rumahnya dapat engkau lihat begitu jelas dari lantai tiga apartemen terbaru di Surabaya bagian Barat.

Lamongan-Gersik-Surabaya, 2021. http://sastra-indonesia.com/2021/07/kertas-kertas-sunyi/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar