Sunday, July 25, 2021

Mendekatkan Dongeng pada Kurikulum

Riduan Situmorang *
badanbahasa.kemdikbud.go.id
 
Apa spesialnya dongeng sehingga diperingati secara internasional (20 Maret) dan nasional (28 November)? Dilansir dari kemdikbud.go.id, mendongeng bukan hanya kegiatan menidurkan anak, melainkan juga upaya meningkatkan perkembangan pada otak kanan anak yang, antara lain, berfungsi dalam hal psikologi, emosi, serta imajinasi. Dalam jurnalnya yang bertajuk “Why Story Telling Matters: Unveiling the Litteracy Benefits of Storytelling”, sekurang-kurangnya Profesor Denise E. Agosto sampai pada sebuah simpulan bahwa mendongeng merupakan metode ideal untuk memperkenalkan pendidikan kepada anak-anak kecil.
 
Salah satu simpulan tersebut kemudian seperti termaktubkan melalui kinerja pendongeng ulung, Robert McKee. Betapa tidak? Secara tak terduga, pada awal abad XXI (2003), majalah Harvard Business Review menurunkan artikel menarik berjudul “Storytelling that Moved People”. Saya sebut tak terduga karena majalah tersebut bukan majalah sastra, melainkan majalah yang mengkhususkan dirinya dalam pengkajian manajemen. Majalah tersebut dirintis oleh Sekolah Bisnis Harvard. Karena itu, cakupan beritanya biasanya adalah tentang bisnis. Namun, pada saat itu majalah tersebut justru menerbitkan hasil wawancara khusus dengan Robert McKee.
 
Pihak majalah seperti ingin tahu bagaimana pendongeng ulung, Robert McKee, bisa berhasil menciptakan anak didik yang berprestasi. Benar saja, pada saat wawancara itu diturunkan, anak didiknya sudah mengoleksi 18 Academy Awards, 109 Emmy Awards, 19 Writers Guild Awards, dan 16 Directors Guild of America Awards. Tak diragukan lagi, ia adalah guru yang cukup berhasil. Pertanyaan kita tentu sama: mengapa dia seberhasil itu? Ternyata jawabannya terletak pada dongeng. Itu terjadi karena menurutnya cerita adalah perangkat terbaik untuk merangkul orang lain dan menyentuh emosi mereka.
 
Makin Punah
 
Hal itu masuk akal sebab dengan menyentuh emosi, kita sudah menyentuh apa yang disebut Blaise Pascal sebagai rasional hati. Di samping itu, dengan cerita kita dimungkinkan untuk meletupkan imajinasi anak didik. Dengan cerita, kita bisa membuat anak didik memosisikan dirinya sebagai pahlawan dalam memberantas kedegilan (protagonis). Dengan cerita, kita bisa mengajarkan anak didik untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dengan hati. Dengan demikian, cerita bukan sekadar ungkapan pelipur lara. Cerita justru membuat kita makin kreatif dan penuh imajinasi.
 
Terkait dengan imajinasi, ada pernyataan menarik dari Albert Einstein, yaitu imajinasi lebih “menakjubkan” daripada logika sebab logika hanya akan mengantar kita dari A ke B, sedangkan imajinasi akan mengantar kita ke mana kita suka. Jangan salah, kehidupan modern saat ini adalah seumpama rekayasa dari imajinasi manusia masa silam. Dalam studi yang banyak dikutip, Guru Besar Antropologi-Biologi dari Oxford, Rubin Dunbar, makin meneguhkan bahwa dari zaman purba sampai dengan sekarang manusia sangat terpengaruh cerita imajinatif. Sampai di sini rasanya sah bagi kita untuk memperingati hari dongeng.
 
Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita membangkitkan tradisi mendongeng? Faktanya saat ini tradisi mendongeng sudah makin punah. Secara otomatis, salah satu pemasok daya imajinasi anak didik kita pun makin menurun. Menurunnya pasokan imajinasi ke ruang berpikir anak didik tentu saja akan membuat mereka terbatas untuk berpikir dan menganalisis. Jika bisa mengutip sambil membuat simpulan studi Rachmawati dan Kurniaty (2010), minimnya pasokan imajinasi akan membuat kemampuan berpikir divergen anak didik makin terbatas sehingga tak mampu untuk merespons suatu stimulasi yang diterima.
 
Sampai di sini semoga kita makin paham bahwa jika budaya mendongeng makin terpinggirkan, kreativitas dan kematangan emosional anak didik kita pun bisa-bisa makin tersisih. Pasalnya, mendengar dan membaca dongeng sejatinya bukan sebuah kesia-siaan. Dengan ucapan lain, mendengar dan membaca dongeng justru merupakan tindakan produktif. Joko Pinorbo mengatakannya dengan sangat puitis, “(Jika) masa kecil kau rayakan dengan membaca, kepalamu berambutkan kata-kata.” Artinya adalah mendengar dan membaca dongeng juga merupakan investasi untuk masa depan.
 
Barangkali kalimat-kalimat yang saya suguhkan tersebut terkesan mengada-ada dan terlalu beraroma fiksi (bahkan fiktif?). Namun, mari, saya suguhkan hasil studi lawas ini kepada Anda. Adalah David C. Mc. Clelland—psikolog sosial asal Amerika yang sangat tertarik pada masalah-masalah pembangunan—yang mencoba mencari tahu faktor apa yang kiranya membuat atau melejitkan kemajuan sebuah bangsa di dunia ini. Dia lalu membandingkan Inggris dan Spanyol yang pada abad ke-16 yang merupakan dua negara raksasa. Perbedaannya adalah sejak saat itu Inggris makin jaya, tetapi Spanyol malah melempem.
 
Bilakah?
 
Mengapa hal itu terjadi? Sebagaimana dimuat dalam buku Arief Budiman yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995), ternyata faktor penentunya ada pada muatan cerita buku. Kelihatannya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit "butuh berprestasi" (need for achievement). Sebaliknya, Spanyol malah didominasi cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati seolah dininabobokan.
 
Artinya adalah dongeng ternyata bukan semata karangan-karangan khayalan biasa. Dongeng adalah jiwa yang menubuh. Dongeng adalah pelecut dan penentu. Bahwa memang barangkali isi dongeng sangat di luar dugaan dan nalar, justru menjadi pelecut bagi pikiran kita sehingga kita tidak menghindarinya. Ingatlah akan satu hal ini: banyak imajinasi di luar nalar pada masa silam menjadi kenyataan pada saat ini. Itu sama halnya dengan kalimat ini: segala imajinasi saat ini adalah kenyataan pada masa depan. Hal itu berarti bahwa kalau tak berimajinasi, kenyataan pada masa depan hanyalah olok-olok.
 
Karena itu, dengan mengekor pada Eagleton (1983), imajinasi harus dipandang sebagai kekuatan yang berdiri sendiri dan otonom sehingga dapat melampaui batas-batas realitas. Imajinasi adalah bibit unggul sebuah kenyataan. Dalam hal ini dengan memperingati Hari Dongeng Sedunia, terutama dalam konteks dunia pendidikan, berarti kita harus mendekatkan kembali dongeng pada muatan kurikulum. Harapannya adalah dengan dongeng itu guru-guru kita akan menjadi “pendongeng” baru, persis seperti Robert McKee. Namun, bilakah?
***
 
*) Penulis adalah Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF), Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional. http://sastra-indonesia.com/2021/07/mendekatkan-dongeng-pada-kurikulum/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar