Kompas, 9 Jan 2011
TEMU Sastrawan Indonesia III di Kota Tanjung Pinang pada 28-31 Oktober menyoroti mendung krisis kritik sastra yang sejak lama dirasakan merundung ranah kesusastraan kita. Sastra Indonesia mutakhir dianggap tumbuh nyaris tanpa kritik. Diperlukan upaya serius dalam meningkatkan jumlah ataupun mutu kritik sastra untuk mengimbangi pertumbuhan karya sastra yang kian menyubur akhir-akhir ini.
Kritikus sudah mati, kata Profesor Ronan McDonald dalam The Death of the Critic (2007). Era kritikus sebagai penentu selera publik dan konsumsi kultural telah berlalu. Dulu, khususnya pada masa puncak Modernisme pada abad ke-20, kritikus seni (termasuk kritikus sastra) menduduki peran hierarkis sebagai figur yang dipandang lebih tahu tentang seni daripada orang kebanyakan. Kritikus seni menjadi sosok panutan yang sabdanya diyakini berbobot istimewa dan layak ”diimani” khalayak. Pada era postmodern abad ke-21 sekarang, aspek hierarkis tersebut kian pudar ditelan perubahan besar dalam relasi sosial dan pergeseran sikap masyarakat terhadap nilai dan penilaian seni.
Dewasa ini, palu penilaian seni telah menyebar, tak lagi berada dalam genggaman kritikus semata. Pemirsa/pembaca juga berkuasa menilai karya, tak jarang bahkan lebih berwibawa daripada kritikus atau pakar seni. Peran dan otoritas kritikus sebagai penentu nilai artistik telah diambil alih oleh khalayak umum: blogger, kelompok diskusi pembaca, juri kompetisi sastra seperti Khatulistiwa Literary Award atau Anugerah Pena Kencana (yang sering kali bukan kritikus sastra), penerbit, selebriti yang menulis endorsement atau blurb di sampul buku, pengguna Facebook atau Twitter yang mengetik komentar pendek atau mengeklik tanda jempol.
Demokratisasi
Respons terhadap seni telah mengalami demokratisasi besar-besaran. Kritik evaluatif kian dipandang sebagai urusan selera pribadi. Nilai artistik makin menjadi soal suka atau tak suka belaka. Bahkan, nyaris dalam hal apa pun, kini pendapat semua orang dianggap sama berharganya. Opini awam tak lebih rendah daripada komentar pakar. Lihatlah acara talk show di TV yang melibatkan partisipasi penonton di studio atau di rumah. Pihak yang berkuasa menentukan pemenang kompetisi seni semacam Indonesia Mencari Bakat atau Indonesian Idol bukanlah dewan juri yang kompeten di bidang seni, melainkan para penonton TV yang mengirim SMS dukungan kepada peserta. Ingat pula bagaimana proses hukum bisa dipengaruhi oleh suara para Facebooker dalam kasus Bibit-Chandra.
Internet berperan besar mendorong demokratisasi kultural dan memudarkan aura kritikus. Merebaknya cara-cara ”mengulas” baru yang ditawarkan oleh berbagai aplikasi jejaring sosial seperti Twitter dan situs-situs ulasan amatir seperti Yelp kian menguatkan pandangan bahwa kritik gaya lama telah kehilangan audiens dan relevansi. Kritikus makin tidak dibutuhkan karena kini semua orang bisa menjadi kritikus. Everyone’s A Critic, kata Brian Hieggelke, sambil menyebut sejumlah nama kritikus profesional yang diberhentikan dari media tempatnya bekerja karena tidak diperlukan lagi: Todd McCarthy (kritikus film) dan David Rooney (kritikus teater) dipecat dari Variety, Raymond Solokov (kritikus restoran) dipensiunkan dari The Wall Street Journal.
Di lapangan sastra, menurut McDonald, era kematian kritikus dimulai ketika Roland Barthes mengumumkan manifesto ”kematian pengarang” yang begitu terkenal itu. Barthes berpandangan bahwa membaca adalah proses yang cair, berujung terbuka dan individual, yang tidak perlu menyandarkan keabsahannya pada maksud pengarang. Terpaku pada maksud pengarang berarti mencekik kesuburan bahasa dan potensi pluralitas makna dalam karya sastra. ”Kematian pengarang” telah memerdekakan pembaca untuk bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas. Akibatnya, kritikus pun menjadi ”mati” karena otoritasnya sebagai agen penilai-penafsir karya telah direbut pembaca. Kritikus tidak dibutuhkan lagi oleh khalayak pembaca yang kini bebas dan berkuasa menilai karya dan menafsir maknanya.
Pada hemat saya, kritikus yang ikut mati bersama matinya pengarang adalah kritikus dalam pengertian tradisional: kritikus yang semata-mata berkutat mencari makna orisinal yang diandaikan terkandung (atau tersembunyi) dalam karya. Makna orisinal inilah yang sering dibayangkan orang ketika berbicara tentang ”maksud karya” atau ”maksud pengarang”. Tugas kritikus tradisional adalah menemukan makna orisinal sebuah karya dan menyampaikan temuannya itu kepada khalayak pembaca untuk digunakan sebagai panduan dalam memahami karya.
Namun, sejak Barthes memproklamasikan ”kematian pengarang”, tak ada lagi makna orisinal. Bagi Barthes, karya itu seperti bawang, sebuah konstruksi lapisan-lapisan yang tidak berjantung, tidak berinti, tidak berisi rahasia, tidak berisi apa pun kecuali ketakterbatasan pembungkus-pembungkusnya. Kalaupun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat diringkus oleh kritikus. Menurut Barthes, makna bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam karya dan menunggu ditemukan, melainkan diproduksi oleh pembaca. ”Kematian pengarang” adalah momen ”kelahiran pembaca”.
Dalam pandangan saya, kritikus yang mencari-cari makna orisinal sebuah karya seolah dituntut (atau menuntut dirinya) untuk memelototi karya dengan mata pengarang karya bersangkutan. Sesuatu yang cukup absurd karena kritikus sesungguhnya tidak lebih daripada pembaca. Ia tak dapat melampaui posisinya sebagai pembaca. Jika kritikus menyadari posisinya sebagai pembaca, maka ”kematian pengarang” tidaklah mengakhiri riwayat kritikus, tetapi justru menjadi momen pembebasan kritikus. Sejak pengarang mati, kritikus menjadi merdeka untuk ikut bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas yang dirayakan khalayak pembaca.
Kalau begitu, apa bedanya seorang kritikus dengan pembaca yang bukan kritikus? Bedanya, menurut saya, terletak pada tingkat produktivitas dalam menghasilkan makna. Kritikus memang ”sekadar pembaca”, tetapi bukan ”pembaca sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna, tetapi juga menghasilkan ”surplus makna”. Ibaratnya, ketika semua orang bisa berjoget, kritikus adalah ia yang menari. Orang menari atau melukis menghasilkan ”surplus makna” yang membedakannya dari orang berjoget atau mengecat. ”Surplus makna” inilah yang diproduksi oleh seni. Seni sastra, misalnya, memberikan makna ekstra kepada bahasa; seni musik memberikan makna ekstra kepada bunyi.
Era kematian kritikus memungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Jika dulu kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna, kini kritik sastra dapat beroperasi dalam paradigma seni, yakni penciptaan makna. Kritik sastra pada masa lalu sering serupa pisau bedah yang mengotopsi seonggok ”mayat sastra” untuk menemukan maknanya yang tersembunyi. Kritik sastra di masa kini bisa lebih menyerupai pisau pahat yang mengolah sepotong ”kayu sastra” demi memberinya makna baru.
Pada zaman sekarang, kritikus dapat menelaah karya sastra tanpa terpancang pada pencarian makna orisinal. Dia tak perlu berusaha merekonstruksi makna orisinal karya, melainkan membubuhkan makna baru pada karya.
Pada era kematian kritikus, ketika semua pembaca bisa menjadi kritikus, kritik sastra tidak perlu berupaya membangun jembatan antara karya sastra dan khalayak pembaca. Karya sastra tidak ditulis untuk menyembunyikan pesan atau maksud pengarangnya. Dalam sebuah karya sastra, pengarang sudah menyampaikan seluruh maksudnya secara lengkap dan utuh. Pengarang tidak dapat mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya dalam sebuah karya sastra dengan lebih baik dan lebih tepat lagi kecuali melalui karya bersangkutan.
Dipahami sebagai organisme yang menyatakan dirinya sendiri secara total dan sempurna, karya sastra tidak membutuhkan jembatan untuk berbicara kepada khalayak pembaca. Karya sastra tidak butuh penyambung lidah. Karena itu, kritik sastra pada masa kini sebaiknya berkonsentrasi membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri, sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru yang memperluas dan memperkaya karya sastra.
***
*) Arif Bagus Prasetyo, Penulis; Tinggal di Denpasar. http://sastra-indonesia.com/2011/05/kritikus-seni-sudah-mati/
No comments:
Post a Comment