Sunday, July 25, 2021

Sastra, Abdul Hadi WM, dan Fenomena Puisi Sufistik

Ahmadun Yosi Herfanda *
infoanda.com/Republika
 
Dalam bahasa A Teeuw, karya sastra tidak pernah lahir dari ruang kosong — selalu ada teks-teks lain yang ikut mempengaruhi proses kelahiran dan ikut mewarnai karakternya. Dalam kasus sajak Abdul Hadi tersebut di atas, teks-teks yang mempengaruhinya adalah konsep-konsep tentang tasawuf.
 
Sederhananya, kemanunggalan (menyatunya) Abdul Hadi dengan Tuhannya adalah kemanunggalan sifat, seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Melalui puisi itu, secara tersirat Abdul Hadi ikut meluruskan dan mengkristalkan konsep kemanunggalan mahluk dengan Tuhannya yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-Gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistika atau wahdatul wujud. Pada bait terakhir, Abdul Hadi menyediakan diri menjadi nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Ini juga dapat dibaca sebagai komitmen bersastra Abdul Hadi, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).
 
Puitika sufistik
 
Sejak dasawarsa 1970-an hingga akhir 1980-an dalam kesastraan Indonesia berkembang fenomena atapun kecenderungan sastra (puitika) sufistik. Tumbuhnya kecenderungan tersebut tidak terlepas dari peran Abdul Hadi WM dalam mengembangkan puitika sufistik, baik melalui sajak-sajaknya maupun esei-eseinya, terutama yang dimuat pada rubrik Dialog Harian Berita Buana.
 
Jika dirunut, puitika sufistik yang dikembangkan oleh Abdul Hadi WM merupakan mata rantai dari rantai panjang tradisi sastra sufistik yang dapat dirunut sampai ke akar tradisinya di kalangan para penyair sufi Persia, seperti Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, dan Al-Hallaj. Di Indonesia, mata rantai tradisi sastra sufi dapat dirunut dari Hamzah Fansyuri yang ‘abadi’ dengan Syair Perahu-nya, kemudian Amir Hamzah dengan sajak-sajak romantik-religiusnya, lalu ke masa 1970-an yang ditokohi oleh Abdul Hadi WM dengan sajak-sajak sufistiknya.
 
Ketika itu, Abdul Hadi memang menjadi redaktur rubrik satra Dialog Harian Berita Buana yang bersama Majalah Sastra Horison dan rubrik-rubrik sastra surat kabar Jakarta lainnya menjadi semacam kiblat perkembangan sastra Indonesia. Pada saat itulah Abdul Hadi WM mengembangkan pengaruhnya pada perkembangan sastra Indonesia, terutama tradisi penulisan puisi.
 
Cukup banyak penyair, terutama dari generasi 1980-an, seperti Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Nor, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, dan Soni Farid Maulana, yang ikut memilih puitika sufistik sebagai landasan kreatifnya. Untuk merambah puitika sufistik, seseorang memang tidak harus menjalani tarikat sufi, atau mengikuti mazhab sufi tertentu untuk bisa melahirkan karya sufistik. Menurut Abdul Hadi, kesufian seseorang dalam bersastra justru ditentukan oleh cara berpikir, way of life, gambaran dunia yang hidup dalam batin, serta sistem nilai yang menguasai jiwa yang tertuang ke dalam karya sastra.
 
Karena sifatnya yang esoterik dan universal, puitika sufistik bahkan dapat melampaui batas-batas agama. Penyair-penyair non-Muslim, seperti Tagore dan Khalil Gibran, menurut Abdul Hadi WM, pun dapat melahirkan sajak-sajak sufisik. Dan, di sinilah garis kes amaan agama (universalitas agama) mendapatkan penegasan.
 
Puitika Timur
 
Bersamaan dengan berkembangnya puitika sufistik, pada dasawarsa 1970-an hingga 1980-an, kecenderungan untuk kembali ke puitika Timur juga sedang menguat. Selain tampak pada banyak karya sastra, upaya untuk menggali dan mengembangkan estetika Timur juga banyak dilakukan, sejak melalui penelitian, pengkajian, diskusi, hingga seminar da penerbitan buku. Berbagai rubrik sastra di surat kabar, majalah dan jurnal ilmiah, pun banyak mempublikasikan tulisan seputar pentingnya untuk menggali dan mengembangkan estetika Timur, sebagai budaya tandingan (counter culture), ataupun estetika tandingan (counter aesthetic), terhadap estetika dan budaya Barat yang cukup dominan dalam sastra Indonesia.
 
Selain Abdul Hadi WM yang mengembangkan serta memasyarakatkan puitika sufistik, dalam menumbuhkan estetika Timur itu, turut berperan pula Kuntowijoyo dengan konsep sastra profetik dan sastra transendennya, Emha Ainun Nadjib dengan konsep estetika kaffah-nya, Danarto dengan cerpen-cerpen Islam kejawennya, Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG dengan estetika Jawanya, serta Wisran Hadi dengan estetika Minangnya. Dapat disebut juga Taufiq Ismail, yang tetap produktif dengan sajak-sajak sosial-religiusnya.
 
Paradigma
 
Di tengah kecenderungan estetika Timur yang menguat dalam sastra Indonesia kontemporer sejak 1970-an, puitika sufistik menjadi mainstream yang cukup dominan dengan cukup banyak pengaruh dan pengikut. Di sinilah tampak sosok penting Abdul Hadi WM, bukan sekadar popularitas kepenyairannya, tapi juga paradigma yang dibawa dan dikembangkannya, yakni paradigma sastra sufistik.
 
Sastra adalah nafas kebudayaan. Dan, Abdul Hadi WM telah ikut menafasi kebudayaan Indonesia dengan puitika sufistik, dan prinsip-prinsip seni yang Islami, untuk ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual. Upayanya itu, bagaimanapun, telah menjadi penyeimbang bagi pengaruh budaya Barat yang hedonis dan sekuler. Karena itu, Abdul Hadi WM, beserta karya-karya dan pemikirannya, adalah paradigma tersendiri dalam kebudayaan Indonesia.

*) Redaktur sastra Republika. http://sastra-indonesia.com/2010/09/sastra-abdul-hadi-wm-dan-fenomena-puisi-sufistik/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar