Anam Rahus
A. Pendahuluan
Sastra Jawa merupakan bagian dari kesusastraan Nusantara. Sastra Jawa saat
ini masih terus berkembang sesuai dengan kondisi dan minat masyarakat
pendukungnya. Sastra Jawa modern berkembang seiring dengan kesusasteraan
Indonesia. Selama ini perkembangan sastra Jawa melalui mass media, terutama
majalah berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panyebar Semangat. Setelah Ajip Rosidi
memberikan hadiah sastra Rancage bagi buku sastra Jawa yang dianggap baik, ada
perkembangan baru dalam bidang penerbitan sastra Jawa. Penerbitan buku mulai
diusahakan lagi oleh para sastrawan Jawa. Di antara buku-buku sastra Jawa yang
pernah terbit yaitu kumpulan cerpen Kreteg Emas Jurang Gupit karya Djajus Pete.
Buku ini telah mendapatkan hadiah sastra dari Yayasan Kebudayaan Rancage pada
tahun 2002. Sudikan dkk. (1996:3) menyatakan bahwa kesusastraan Jawa modern
sudah mendapat perhatian dari kalangan akademis dan kalangan kritikus sastra
meskipun tidak seimbang bila dibandingkan dengan kajian terhadap kesusastraan
Jawa klasik.
Kreteg Emas Juran Gupit karya Djajus Pete diterbitkan oleh yayasan Pinang
Sirih dan Dewan Kesenian Jawa Timur pada tahun 2001. Buku ini berisi sepuluh
cerita pendek: “Bedhug”, “dasamuka”, “Kadurjanan”, “Kakus”, “Kreteg Emas Jurang
Gupit”, “Pasar Rakyat”, “Petruk”, “Rajapati”, “Setan-Setan”, dan “Tikus lan
Kucinge Penyair”. Djajus Pete lahir di desa Dempel, Kecamatan Geneng, Kabupaten
Ngawi tanggal 1 Agustus 1948, dari keluarga petani. Kini ia tinggal di desa
Purwosari, Kecamatan Purwosari, Kabuoaten Bojonegoro. Pekerjaan sehari-harinya
sebagai guru SD.
Menurut pengakuannya, di dalam berkarya Djajus Pete menganut aliran
simbolis-surealis. Sedang menurut Hutomo (1975:54) kepengarangan Djajus Pete
termasuk jalur pengarang Purwadhie Atmodihardjo. Ciri pengarang ini mempunyai
gaya yang tandas dan matang mengungkapkan kepahitan hidup dan keindahan hidup
rakyat kecil yang kadang-kadang disertai dengan humor yang menarik hati. Di
samping itu bahasa yang dipakai bahasa sehari-hari yang dipakai masyarakat
pedesaan.
Djajus Pete merupakan seorang pngarang cerita pendek bebahasa Jawa yang
cukup menonjol. Karya-karyanya tidak sekedar menawarkan hiburan kepada pembaca.
Benarkah Djajus Pete menganut aliran surealis-simbolis? Unsur simbolis apa
sajakah yang terkandung dalam kumpulan cerpen Kreteg Emas Jurang Gupit? Sejauh
mana pengarang konsisten dalam menganut alirannya itu? Hal ini yang melatar
belakangi pengkajian cerpen-cerpen Djajus Pete ini.
Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek dan
Warren,1990:109). Sesuai dengan pengakuan pengarang, ia menganut aliran
simbolis-surealis. Simbolisme merupakan aliran seni dan sastra di Perancis pada
abad 19 yang menentang realisme. Crita Cekak (cerita pendek) di dalam sastra
Jawa termasuk genre kesusastraan baru (Hutomo,1975:38). Bentuk kesusastraan ini
baru muncul sekitar tahun tiga puluhan. Keberadaan crita cekak tidak bisa
dipisahkan dengan keberadaan mass media berbahasa Jawa. Sejak pertumbuhannya
hingga saat ini peranan surat kabar dan majalah sangat besar dalam perkembangan
crita cekak. Meskipun ada terbitan buku-buku kumpulan crita cekak seperti
Kringet Saka Tangan Prakosa karya Iesmaniasita, Trem karya Suparto Brata,
Kreteg Emas Jurang Gupit karya Djajus Pete, karya-karya yang terdapat di dalam
antologi tersebut pada awalnya dimuat dalam mass media berbahasa Jawa. Untuk
mengungkap unsur simbolis surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit memanfaatkan
teori strukturalisme dan teori semiotik.
Simbolisme-Surealisme sebenarnya merupakan gabungan dua aliran, yaitu
aliran simbolisme dan aliran surealisme. Yang dimaksud dengan simbolisme adalah
corak sastra yang menggunakan citraan yang kongkrit untuk mengungkapkan
perasaan atau ide yang abstrak (Sudjiman,1986:70). Simbolisme juga mengacu
kepada gerakan seni dan sastra di Perancis pada abad 19 yang menentang
realisme.
Surealisme menurut Sudjiman (1986:72) aliran dalam seni sastra yang
mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan. Penganut
aliran ini menyajikan karya sastra dengan citran yang menonjolkan efek urutan
yang acak. Surealisme berarti di atas kenyataan. Dengan demikian
simbolisme-surealisme merupakan corak sastra yang menggunakan citraan yang
kongkrit untuk mengungkapkan ide yang abstrak yang mementingkan aspek bawah
sadar manusia dan non rasional dalam citraan.
Karya sastra dapat digolongkan ke dalam dua unsur, yaitu unsur instrinsik
dan unsur ekstrinsik. Teori untuk menganalisis unsur instrinsik di dalam karya
sastra lazim memakai teori struktural. Analisis struktural didasarkan bahwa
karya sastra merupakan suatu yang otonom. Karya sastra dianalisis atas
unsur-unsurnya tanpa memperhatikan unsur lain di luar karya sastra itu..
Analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan dengan cermat
keterikatan semua anasir karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang
menyeluruh (Suwondo,2001:55). Karena analisis struktural dianggap mempunyai
beberapa kelemahan, kemudian analisis struktutal mengalami perkembangan,
seperti munculnya analisis strukturalisme genetik, strukturalisme Levi Strauss,
dan teori semiotik.
Djajus Pete telah ,menyatakan bahwa dirinya menganut aliran
simbolis-surealis. Untuk menganalisis unsur-unsur simbolis surealis dipakai
teori semiotik. Semiotika (Sudjiman,1991:5) adalah studi tentang tanda dan
segala yang berhubungan dengannya. Tanda-tanda bahasa adalah simbol.
Simbol-simbol tersebut diciptakan berdasarkan konvensi. Semiotik mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti (Pradopo,2001:68). Mengkaji dengan pendekatan semiotik
adalah mengkaji tanda. Di dalam tanda terdapat dua aspek, yaitu penanda
(signifier) dan petanda (signified).
Pengertian dasar de Saussure bertolak dari pemikiran dua dimensi, yaitu
langue dan parole. Menurut de Saussure (Krampen,1996:57) langue merupakan suatu
fakta social, seperti bahasa nasional merupakan fakta sosial. Langue suatu
sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat. Barthes (1996:81)
menyatakan bahwa langue adalah suatu institusi sosial dan sekaligus juga suatu
sistem nilai. Sedang parole merupakan suatu tindakan individual yang merupakan
seleksi dan aktualisasi.
A. Aliran Simbolis-Surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit
1. Unsur Surealis dalam Kreteg Emas Jurang Gupit
Makna leksikal surealisme adalah “di atas kenyataan”. Pengertian “di atas
kenyataan” berarti melebihi dari kenyataan. Ciri utama surealisme adalah
nonrasional, karena karya itu mementingkan aspek bawah sadar. Ciri simbolisme
adalah pemakaian simbol-simbol untuk mengkonkritkan suatu pengertian yang
abstrak. Simbol itu sendiri sebenarnya berfungsi untuk mengkonkritkan hal-hal
yang abstrak. Untuk memahami simbol diperlukan adanya pemahaman tentang
signifier dan signified, tentang lange dan parole.
Cerpen “Bedhug” adalah cerpen pertama dalam Kreteg Emas Jurang Gupit.
Cerpen ini berkisah tentang bedhug di mesjid aku naratif yang suaranya sudah
tidak merdu lagi. Aku naratif mengusulkan kepada merbot (pengurus masjid) untuk
mengganti bedhug yang suaranya sumbang itu. Usulan itu disepakati oleh lurah.
Kayu pengganti bedhug akan mengambil kayu jati yang tumbuh di makam. Bupati pun
berkenan meresmikan bedhug yang terbesar di kotanya itu. Namun dalam
pelaksanaannya kayu itu dikorupsi sebagian oleh lurah. Setelah jadi, suara
bedug itu juga sumbang, meskipun bentuknya sangbat indah. Panitia memutuskan
untuk membongkar lagi bedug baru itu. Suatu pagi waktu subuh, aku naratif
mendengar suara bedug dari mesjid yang suaranya merdu sekali. Ia terpukau
mendengar suara itu. Ketika ia datang ke mesjid, ternyata bedug yang dipukul
cengan suara merdu itu bedug yang lama. Aku naratif bergetar hatinya.
Dari unsur surealis, tidak ada sesuatu yang istimewa dalam cerpen “Bedhug”.
Cerita ini digarap pengarang dengan cara konvensional. Unsur nonrasional tidak
tampak, namun kalau memang dicari-cari unsur non rasional itu adalah perubahan
suara bedhug yang sumbang yang dengan tiba-tiba berubah merdhu. Hal semacam ini
bukanlah sesuatu yang luar biasa, masih dapat diterima oleh akal. Yang tampak
menonjol dalam cerpen “Bedhug” sebenarnya unsur simbolismenya. Apa makna yang
terkandung dalam bedug? Apa yang dimaksud dengan suara sumbang dan tak sumbang?
Pengarang tidak menjelaskan secara tersurat.
Cerpen kedua dalam kumpulan crita cekak Djajus Pete adalah “Dasamuka”.
Dalam cerpen ini pengarang terilhami dari cerita pewayangan episod Ramayana.
Dalang Ki Bilung Sarawita ketika diminta memainkan wayang di sebuah perhelatan
mengambil cerita episod ramayana. Namun dalam cerita ini ada unsur parodi.
Sinta yang diculik oleh Dasamuka justru digambarkan jatuh cinta pada
penculiknya. Bahkan Sinta digambarkan hamil. U;ah Ki Bilung ini menimbulkan
protes penonton. Ki Bilung mengatakan bahwa wayang Dasamuka yang protes itu
dibuat dari kulit seorang bramacorah yang dihakimi massa. Penonton
beramai-ramai mengumpulkan uang untuk membeki Dasamaka, kemudian dihancurkan.
Perihal Sinta jatuh cinta dan hamil dengan Dasamuka, merupakan penympangan
dari keaslian cerita tentang Mahabharata. Pengarang menganggap apabila Sinta
merasa teerancam dan tertekan di dalam kekuasaan Dasamuka, cerita itu merupakan
realita cerita Mahabharata. Untuk memenuhi unsur surealis, cerita Mahabharata
itu disimpangkan dengan Sinta jatuh cinta dan hamil berkat hubungannya dengan
Dasamuka. Surealisme adalah aliran seni sastra yang mementingkan aspek bawah
sadar manusia dan nonrasional di citraan (Tim,1999:979). Jatuh cintanya Sinta
kepada Dasamuka sebenarnya masih belum memenuhi unsur nonrasional. Sinta mungkin
saja dapat catuh cinta kepada dasamuka, karena Dasamuka memang mengasihinya.
Unsur surealisme dalam Kreteg Emas Jurang Gupit tampak pada cerpen ketiga
yang berjudul “Kadurjanan”. Dalam cerpen ini di samping terdapat tokoh
protagonis, juga melibatkan pengarang sebagai pelaku cerita. Dalam hal ini
pengarang berperan sebagai dirinya sendiri, sebagai pengarang. Dalam cerpen ini
diceritakan tokoh protagonis protes kepada pengarang karena menganggap cerita
yang dibuat menyimpang.
“Kadurjanan” menceritakan seorang dukun bernama Khosin yang membunuh Wara
Lestari. Pengarang menulis dengan runtut peristiwa pembunuhan tersebut, namun
tiba-tiba tokoh Khosin protes kepada pengarang, bahwa cerita yang ditulis ada
penyimpangan. Kemudian terjadi dialog antara pengarang dan khosin yang protes
karena dirinya selalu dijelek-jelekkan kepada pengarang. Kemudian Khosin akan
membeli cerita tentang dirinya yang ditulis oleh pengarang itu.
Gaya penceritaan semacam itu di dalam sastra jawa memang belum pernah
dijumpai sebelumnya. Seorang pelaku dalam cerita protes kepada pengarang memang
susuatu yang nonrasional. Peristiwa seperti itu di luar realitas atau
kenyataan. Karya prosa yang konvensional memakai sudut pandang orang pertama
atau orang ketiga. Di dalam sudut pandang orang pertama pengarang sebagai “aku”
atau “saya”, mengidentifikasikan dalam tokoh, baik sebagai tokoh utama atau
tokoh bawahan. Pengarang sebagai tokoh utama menyampaikan kisah diri, kisahan
oleh tokoh utama dengan sorotan pada tokoh utama. Pengarang sebagai tokoh
bawahan menyampaikan kisah tentang tokoh utama, kisahan oleh tokoh bawahan
dengan sorotan pada tokoh utama (Sudjiman,1992:77). Di dalam “Kadurjanan”
pengarang tetap sebagai pengarang, bukan tokoh yang berprofesi sebagai
pengarang. Djajus memberi kebebasan kepada para tokoh untuk protes kepada
pengarang apabila cerita dianggap tidak cocok oleh tokoh. Hal semacam ini
termasuk nonrasional. Seolah pengarang memadukan antara fiksi dan kenyataan.
Cerpen “Kakus” meskipun sarat dengan unsur simbolis, namun unsur
surealisnya tampak lemah. Cerpen ini justru digarap secara realis. Cerpen
“Kakus” mengisahkan uang emas milik Sangkoro pengawas bangunan yang jatuh ke
dalam kakus. Peristiwa ini menarik minat Jan Ganco untuk menguras kakus yang
penuh tinja guna menemukan tiga keping emas itu. Namun karena banyaknya campur
tangan dari berbagai pihak membuat Jan Ganco dan kawan-kawannya menjadi kecewa.
Tiga keping uang emas yang sudah ditemukan itu dibuang kembali ke dalam kakus,
dan ditimbun kembali dengan tinja. Jan Ganco dan kawan-kawannya merasa kecewa,
karena ia tidak mendapatkan keuntungan dari hasil menemukan tiga keping uang
emas itu.
Unsur surealis-simbolis pada cerpen “Kreteg Emas Jurang Gupit” dikerjakan
dengan baik oleh Djajus Pete. Istilah ‘kreteg emas’ (jembatan emas) menimbulkan
imajinasi kemewahan yang sangat berlebih-lebihan. Kreteg (jembatan) sering
dijumpai sehari-hari di setiap tempat. Tetapi ‘jembatan emas’ merupakan sesuatu
yang mustahil, suatu yang sangat surealis. Cerpen ini mengisahkan pembangunan
jembatan emas di jurang Gupit. Di sekitar jembatan emas itu juga akan dibangun
taman yang indah. Namun dalam pelaksanaan pembangunan jembatan itu, tidak
kunjung selesai karena bahan jembatan banyak yang hilang. Tidak diketahui siapa
yang mengambil barang-barang itu. Hal itu membuat prihatin masyarakat, terutama
Kyai Zuber dan tiga orang santrinya Kodrat, Sonto Kasbi, dan Markut. Mereka
berempat bersemedi d tempat itu. Dalam semedinya tampak bagian jembatan itu
dijarah beramai-ramai.
Cerpen “Pasar Rakyat” tidak menunjukkan unsur surealis-simbolis. Dalam
cerpen ini tidak tampak gejala unsur surealis seperti yang dinyatakan oleh
pengarang. “Pasar Rakyat” merupakan cerpen konvensional. Bahasa yang dipakai
pun tidak menampakkan unsur simbol. Cerpen ini mengisahakan tentang penggusuran
pasar rakyat dari tengah kota. Penggusuran ini ditentang oleh para pedagang,
namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi kekuasaan. Justru para
petugas yang mengalami konflik batin akibat pilihan antara menjalankan perintah
atasan dan dan rasa kemanusiaan.
Cerpen “Petruk” merupakan cerpen surealis yang sarat dengan simbol-simbol,
di samping cerpen “Kreteg Ema Jurang Gupit”. Petruk dengan tubuh jangkung dan
hidung yang panjang oleh Djajus Pete dibuat bongkok Cerpen “Petruk” mengisahkan
seorang dalang yang merangkap membuat wayang mendapat pesanan wayang Petruk.
Ketika Dhalang Ki Darman Gunacarita istirahat makan, kulit bahan petruk dibawa
lari anjing, kemudian anjing-anjing yang lain saling memperebutkan kulit itu,
sehingga kondisi kulit menjadi rusak, banyak lubang bekas gigitan anjing.
Setelah beberapa sat lamanya kulit itu disimpan, kemudian dilanjutkan lagi
pengerjaannya, tetapi Ki Darman mengjhindari bagian-bagian yang rusak bekas
gigitan anjing. Setelah jadi ternyata Petruk bentuknya menjadi bongkok
mengenaskan.
“Rajapati” merupakan cerpen kedelapan yang dimuat dalam antologi Kreteg
Emas Jurang Gupit. Cerpen “Rajapati” sebenarnya tidak dapat dikategorikan
cerpen surealis. Dari segi penceritaan cerpen itu merupakan cerpen
konvensional. “Rajapati” mengisahkan tentang seorang pengasah berbagai benda
tajam bernama Markaban. Ketika terjadi peristiwa pembunuhan, polisi mendapatkan
bukti bahwa senjata yang dipakai membunuh adalah senjataa yang pernah diasah
Markaban. Karena markaban tidak dapat menunjukkan pemilik senjata itu, maka
Markaban yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan. Karena sikap Serma Margono
yang kasar kepada Markaban, kemudian Markaban melawan hingga Serma Gono
terbunuh.
Cerpen “Setan-Setan” mengisahkan seorang wartawan bernama Akuwu yang
diundang oleh Bokor karena ada suatu kasus. Ternyata Bokor adalah makhluk
halus. Bokor protes kepada Akuwu karena bangsa makhluk halus di berbagai
majalah selalu digambarkan menjijikkan dan menakutkan. Akuwu dirayu untuk bekerja
di penerbitan Bokor yang menerbitkan majalah Surak gumbira, namun Akuwu
menolak. Di tempat Bokor Akuwu bertemu In, seorang manusia yang bekerja di
tempat itu tanpa menyadari bahwa ia bekerja di alam makhluk halus. Akuwu
akhirnya membawa In untuk kembali ke alam manusia.
Tikus dan kucing dalam cerpen “Tikus lan Kucinge Penyair” adalah
tokoh-tokoh dalam cerpen itu. Tikus dan kucing dalam cerpen ini adalah
simbol-simbol yang dipakai oleh pengarang. Dengan gaya surealis pengarang
mempersonifikasikan tikus tidak ubahnya seperti manusia kebanyakan. Tokoh dalam
cerita ini adalah Kuslan seekor tikus jantan, Istik tikus betina yang hamil
tua, Ketika Kuslan mencari bahan untuk sarang, ia mnemukan sehelai kertas yang
ada puisinya. Puisi itu berisi tentang kucing candramawa yang pandangannya
dapat melumpuhkan tikus. Puisi itu rencananya akan dibacakan sambil mengundang
penceramah masalah kucing untuk menyambut kelahiran anak Kuslan.
1. Unsur Simbolis dalam Kreteg Ema Jurang Gupit
Bahasa yang dipakai dalam karya sastra adalah bahasa konotatif. Pemakaian
bahasa yang konotatif cenderung menimbulkan ketaksaan, karena bahasa dalam
karya sastra itu bermakna ganda. Untuk memahami sebuah karya sastra perlu
mengetahui makna yang tersirat di samping makna yang tersurat. Untuk memahami
karya sastra perlu pemahaman ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu tentang tanda-tanda
dalam karya sastra termasuk ke dalam semiotik. Semiotik menganggap bahwa
fenomena sosial dan kebudayaan merupakan tanda-tanda. (Pradopo,2001:67). Simbol
termasuk ke dalam tanda.
Simbol dibedakan dua macam: simbol presentasional dan simbol deskursif
(Langer dalam Sudikan,1996:90). Simbol presentasional ialah simbol yang
penangkapannya tidak membutuhkan keintelekan. Simbol itu menghadirkan apa yang
dikandungnya dengan spontan. Simbol diskursif adalah simbol yang penangkapannya
perlu keintelekan.Tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak
terpisahkan, signifiant (petanda) dan signifie (penanda). Tanda adalah
arbriter, khas, dan sistematik (de Saussure dalam Teeuw,1988:44). De Saussure
mengungkapkan konsep langue dan parole dalam pemikirannya. Lange merupakan
institusi dan sistem, sedang parole suatu tindakan individual yang merupakan
seleksi dan aktualisasi (Barthes,1996:81).
a. Unsur simbolis dalam cerpen “Bedhug”
Bedhug dalam tradisi masyarakat Islam bukan sekedar bunyi-bunyian yang
bernilai hiburan. Bedug tidak dapat dipisahkan dengan ibadah yang dilakukan
oleh umat Islam. Dalam situasi yang biasa, bedug paling tidak dipukul lima kali
dalam sehari, menandai saat sholat wajib bagi umat Islam. Ketika bedug dipukul,
orang datang beramai-ramai ke masjid untuk sholat berjamaah. Setelah bedug
dipukul, kemudian akan disusul suara adzan.
Dalam cerpen “Bedhug” diceritakan bahwa suara bedug itu bagi aku naratif
kedengaran sumbang. Namun hal itu dibantah oleh Lik Merbot. Bagi Lik Merbot
suara bedug itu sejak awal tidak mengalami perubahan. Jadi ada perbedaan
penangkapan suara bedug itu. Perbedaan penangkapan suara bedug antara Lik
Merbot dan aku naratif sebenarnya merupakan simbol dari tingkat pemahaman dan
penghayatan terhadap nilai-nilai religi mereka masing-masing. Aku naratif
mendengar suara bedug yang sumbang disebabkan penghayatan, pemahaman, dan
tingkat imannya yang masih rendah. Hal itu berbeda dengan Lik Merbot. Sebagai
takmir masjid Lik Merbot mempunyai pemahaman, penghayatan, dan tingkat keimanan
yang lebih dalam daripada aku naratif. Oleh karena itu ia mengatakan hanya
karena telinga aku naratif saja yang menyebabkan suara bedug itu sumbang.
Suara bedhug yang sumbang pada akhir cerita tiba-tiba berubah menjadi
merdu. Peristiwa itu menunjukkan adanya perubahan tingkat pemahaman,
penghayatan, dan iman aku naratif. Oleh karena itu begitu mendengar suara
bedhug yang sebelumnya dikatakan sumbang itu hatinya bergetar. Ia terharu dan
menangis. Perubahan tingkat pemahaman, penghayatan, dan iman aku ini tampak
dari tanggapan Lik Merbot pada aku naratif ketika melihat aku naratih menangis
terharu, seperti kutipan berikut.
“’Mlebua. Wisuhana sikilmu kang rusuh kuwi. Paklik bungah kuping atimu wis
bolong, kowe wis ora sengsem marang swara bedhug,’tembunge Lik Merbot njalari
atiku saya ngondhok-ondhok.’ (halaman delapan)
“Masuklah. Cucilah kakimu yang kotor itu. Paklik senang telinga hatimu
sudah berlubang, engkau tidak tertarik pada suara bedug,” kata Lik Merbot
menyebabkan hatiku semakin terharu.”
Dikatakan oleh Lik Merbot bahwa kuping ati (telinga hati) aku naratif telah
berlubang. Kuping ati bolong (telinga hati berlubang) bermakna terbukanya hati
nurani. Pernyataan itu menunjukkan bahwa hati nurani aku naratif sudah terbuka,
sudah timbul kesadaran, penghayatan, pemahaman dan iman yang lebih dalam
terhadap nilai-nilai religi.
b. Unsur Simbolis dalam “Dasamuka”
Dsasamuka adalah raja kerajaan Alengka. Karena jatuh hati pada Sinta,
Rahwana menculik Sinta, sehingga menimbulkan perang besar. Dalam bentuk wayang
kulit, Rahwana digambarkan sebagai raksasa bertubuh besar dan garang. Dasamuka
biasa dipakai simbol keangkaramurkaan. Salah satu bentuk keangkaramurkaannya
adalah menculik Dewi Sinta yang telah menjadi isteri Rama.
Awal penculikan Sinta terjadi ketika Sinta tertarik pada kijang emas
penjilmaan Kala Marica, abdi terkasih dari Dasamuka yang sengaja ditugasi
menggoda Sinta. Sinta dalam cerpen “Dasamuka” Djajus Pete menyimpang dari
cerita aslinya. Sinta justru jatuh cinta pada penculiknya hingga hamil. Sedang
kulit wayang Dasamuka yang dimainkan dalang ternyata bahannya terbuat dari
kulit seorang bramacorah yang mati dikeroyok massa.
Untuk menyangatkan sifat angkara murka, pengarang tidak cukup membandingkan
dengan Dasamuka. Dasamuka sebenarnya sudah dapat mewakili keangkaramurkaan.
Untuk lebih menyangatkan lagi digambarkan bahwa kulit bahan Dasamuka dibuat
dari kulit residivis yang dihakimi massa. Peristiwa ini menuerut rahus (2001:26)
merupakan gambaran ketidakpercayaan masyarakat kepada penegak hukum, sehingga
mereka harus main hukum sendiri. Dasamuka yang jahat akan tampak lebih jahat.
Kijang emas penjilmaan Kala Marica gambaran dari materi duniawi, sedang Sinta
mewakili dunia wanita. Dengan demikian cerita itu dapat dimaknai bahwa umumnya
wanita itu mudah tergoda oleh harta benda. Jadi tidak mustahil Sinta yang
mewakili wanita dapat jatuh hati dengan dasamuka, karena sebenarnya pemilik
kijang emas itu adalah Dasamuka.
Dalam cerita Dasamuka yang sudah dibeli oleh penonton dengan uang hasil
iuran, dihancurkan beramai-ramai. Namun muncul Dasamuka yang baru dengan
karakter yang sama tetapi wajah yang berbeda. Sebagai simbol kejahatan dan
keangkaramurkaan, peristiwa itu menyiratkan bahwa kejahatan itu selalu ada di
dunia ini. Kejahatan yang satu dimusnahkan, akan muncul kejahatan yang lain,
dalam bentuk yang lain.
c. Unsur Simbolis dalam “Kakus”
Kakus adah tempat tempat penampungan tinja. Mendengar kata ‘kakus’ mengacu
pada suatu yang menjijikkan dengan bau yang sangat tidak sedap. Orang akan
menjauhi tempat itu kecuali saat buang hajat. Apabila ada orang mau berkutat
demgan isi kakus, tentu karena terpaksa seperti yang dilakukan oleh Jan Ganco,
Dul Belong, dan Man Ireng. Mereka bertiga bersusah payah menguras kakus Parikah
untuk mendapatkan uang emas yang jatuh ke dalamnya. Mereka bertiga ingin
mendapatkan keuntungan dari jerih payahnya itu. Namun usahanya termnyata
sia-sia.
Ada sesuatu kekuatan yang tidak dapat diatasi oleh Jan Ganco dan kedua
temannya, yaitu pemerasan dari penguasa. Tiga keping emas yang mereka dapatkan
dari berlepotan tinja ternyata habis karena diperas oleh beberapa oknum,
termasuk lurah. Karena kecewa tiga kepng uang emas itu dimasukkan kembali ke
dalam kakus, dan ditimbun dengan tinja. Cara ini ditempuh oleh Jan Ganco dan
kedua temannya. Tentu saja jalan ini bukan jalan yang terbaik, tetapi jalan
yang menyakitkan bagi Jan Ganco dan kedua temannya. Namun tidak ada pilihan
lain.
Jan Ganco, Dul Belong, dan Man Ireng adalah simbol rakyat kecil yang selalu
dijadikan sapi perahan. Mereka bertiga harus bekerja keras untuk mendapatkan
tiga keping emas itu, sementara pihak lain yang tidak ikut campur justru
menginginkan bagian yang jauh lebih besar. Sebagai rakyat kecil mereka tidak
mempunyai kekuatan untuk melawan.
d. Unsur Simbolis dalam “Kreteg Emas Jurang Gupit”
Unsur simbolis yang paling menonjol dalam cerpen “Kreteg Emas Juran Gupit”
adalah nama para tokoh. Nama tokoh-tokoh dalam cerpen itu ialah Lurah
Sendikoprojo, Mbah Bolo, Gotar, Kyai Zuber, Markut, Sonto Kasbi. Lurah
Sendikoprojo mengisyaratkan pemimpin yang hanya mau menuruti kemauan atasan,
tanpa memperharttikan keadaan rakyat kecil. Kata sendiko dalam bahasa Jawa
berarti siap melaksanakan tugas, sedang projo berarti negara. Sendikoprojo
dalam cerpen itu identik dengan sendiko dhawuh.
Gotar adalah nama khas desa. Nama itu menimbulkan makna kesederhanaan, dan
keluguan. Simbol dari masyarakat yang lugu yang menjadi bulan-bulanan dan
kambing hitam dari penguasa. Dalam cerpen “Kreteg Emas Jurang Gupit” penguasa
disimbolkan pada diri Lurah Sendikoprojo. Lurah Sendikoprojo telah melakukan
perbuatan sewenang-wenang terhadap Gotar.
Pembangunan jembatan ternyata tidak selancar yang diduga. Besi-besi dan
emas bahan jembatan banyak yang hilang, termasuk besi seberat empat ton tanpa
diketahui yang mengambil Hilangnya bahan-bahan untuk jembatan itu baru terkuak
setelah Kyai Zuber diikuti Kodrat, Sonto Kasbi dan Markut bersemedi di tempat
dibangunnya jembatan. Ternyata barang-barang itu hilang dicuri dhemit. Dhemit
dalam cerpen “Kreteg Emas Jurang Gupit” bukanlah dhemit sesungguhnya, oleh
karena itu Kyai Zuber mengatakan bahwa itu bukan garapannya, tidak akan mempan
oleh doa dan sarana yang bersifat mistik. Menurut Kyai Zuber ada yang lebih
berhak menangani masalah itu. Dhemit dalam cerpen itu mengacu pada koruptor.
Pihak yang berhak menangani koruptor seperti yang dikatakan oleh Kyai Zuber
adalah penegak hukum.
e. Unsur Simbolis dalam Cerpen “Tikus lan Kucinge Penyair”
Tikus dan kucing dua binatang yang tidak pernah hidup bersama. Tikus
merupakan binatang yang merugikan manusia, karena dapat merusak apa saja yang
ditemui. Sebaliknya Kucing merupakan binatang jinak yang menjadi piaraan dan
kesayangan tuan rumah. Setiap menjumpai tikus, kucing berusaha menangkapnya
untuk dimakan. Di mana pun tmpatnya, tikus selalu ketakutan melihat kucing.
Tikus dan kucing tidak ubahnya dengan hitam dan putih, sama halnya dengan
keburukan dan kebaikan. Tikus laki-laki diberi nama Kuslan, sedang tikus
perempuan diberi nama Istik. Kata Kuslan merupakan akronim dari tikus lanang
yang berarti tikus laki-laki, atau tikus jantan. Istik bermakna isteri tikus,
yaitu isteri Kuslan.. Kuslan sebagai tikus yang paling tuwa punya banyak
pengalaman, pernah hidup di kantor, di sekolah, di gudang, pasar, setasiyun,
terminal, pelabuhan, gudhang dholog dan tempat-tempat lainnya. Tikus di mana
pun tempatnya akan selalu menyusahkan yang ditempati. Tikus yang cenderung
dekat dengan warna hitam, mengacu pada dunia kejahatan dengan manusia sebagai
pelakunya. Kuslan sebagai tikus jantan simbol dari kejahatan seorang laki-laki.
Kuslan identik dengan penjahat profesional yang dapat beroperasi di mana saja,
di terminal, di kantor, terminal, gudang, pasar dan sebagainya.
Kucing dan tikus sebenarnya sama-sama mewakili manusia dengan karakter yang
berbeda. Diantara kucing yang ditakuti tikus adalah kucing candramawa. Sudikan
(1996:94) menyatakan bahwa tokoh tikus sebagai lambang untuk mengkritik oknum
yang memanfaatkan kesempatan untuk melakukan korupsi, sedang kucing sebagai
lambang alat negara untuk memberantas korupsi. Dalam cerpen itu dikisahkan
hanya dengan pandangan matanya saja kucing candramawa dapat membuat tikus tak
berdaya. Oleh karena itu untuk memberantas tikus sebagai koruptor diperlukan
kucing candramawa. Kucing candramawa adalah alat negara yang berwibawa, yang
disegani oleh koruptor karena kejujurannya. Kucing candramawa tidak akan
memakan tikus. Ia sekedar mengalahkannya. Kucing yang mau memakan tikus dikisahkan
sebagai kucing biasa yang rakus yang juga mau makan katak dan kadal. Kucing
yang rakus merupakan gambaran alat negara yang suka memeras musuhnya. Setelah
memahami makna yang ada di balik simbol tikus dan kucing ternyata cerpen “Tikus
lan Kucinge Penyair” ternyata banyak mengandung kritik sosial yang ditujukan
kepada perilaku manusia.
f. Unsur simbolis dalam cerpen “Petruk”
Petruk tokoh punakawan dalam keluarga Pandawa dalam wayang kulit
digambarkan bertubuh jangkung, berhidung mancung, dan berkuncir. Sebagai
punakawan anak Semar ia berperilaku kocak dan lucu. Petruk beserta Semar
ayahnya, dan dua orang saudara gareng dan Bagong selalu mengikuti Arjuna kemana
pun pergi. Tetapi Petruk dalam sunggingan Dalang Ki Darman lain. Petruk dalam
sunggingan Ki Darman bertubuh bongkok menyedihkan. Tubuh yang bongkok Petruk
hasil sunggingan Ki Darman bukanlah tanpa sebab. Anjing-anjing memperebutkan
kulit bahan Petruk itu beramai-ramai, sehingga koyak-koyak. Sunggingan Petruk
yang setengah jadi itu rusak, pundhak, bagian belakang kepalahancur. Pucuk
hidungnya sobek. Akhirnya hasil sunggingan Ki Darman tidak menampilkan sosok
Petruk yang tinggi semampai dan mengundang banyak tertawa karena kocaknya,
tetapi justru bongkok menyedihkan mengundang belas kasihan.
Makna simbolis Petruk sebagai punakawan, sebagai abdi, gambaran dari rakyat
kecil. Ia menderita akibat ulah anjing-anjing yang rakus. Dalam “Petruk”
pengarang ingin menceritakan penderitaan rakyat akibat ulah penguasa, sehingga
ia menjadi bongkok menyedihkan. Pengarang menggambarkan karakter anjing sebagai
berikut.
“Watege swara asu, gampang narik kawigatene asu-asu liya. Asu-asu saka
papan adoh padha mara gemrudug. Kempyung melu rayahan, cathek-cathekan, kaya
wedi ora keduman. Pating jregug! Pating kraing! Ambegane ngosos pating
krenggos. Ilate abang pating klewer” (hal. 60).
Terjemahan: Sifat suara anjing, mudah menarik perhatian anjing-anjing yang
lain. Anjing-anjing dari tempat lain datang berbondong-bondong. Ramai berebut,
saling menggigit, seperti takut tidal mendapat bagian. Saling melolong! Saling
menyalak! Nafasnya mendesis tersengal-sengal. Lidahnya merah menjulur.
Sifat anjing yang digambarkan oleh pengarang di atas merupakan simbol dari
sifat penguasa. Bila mendengar ada orang yang dapat dijadikan objek pemerasan
datang beramai-ramai ikut memeras, saling berebut, berkelai takut tidak
mendapat bagian. Cerpen Djajus Petememang banyak mengandung kritik sosial
(Rahus,2001:26). Petruk sebagai simbol rakyat yang telah menderita lebih
menderita lagi karena menjadi bahan rebutan anjing-anjing. Diceritakan bahwa
tempat sekitar Petruk sudah sempit, sudah rusak. Petruk terjepit, kehilangan
tempat buat hidup. Paparan itu merupakan simbol bahwa rakyat kecil yang
diwakili Petruk sudah tidak ada tempat untuk hidup.Tempat sekitar sudah sangat
sempit, sudah rusak. Petruk terjepit, kehilangan tempat buat hidup.
D. Simpulan
Cerpen-cerpen Djajus Pete yang terkumpul dalam Kreteg Emas Djurang Gupit
ternyata tidak semuanya menganut aliran simbolis-surealis. Sebagian cerpen dalam
kumpulan itu ternyata menganut aliran realis. Cerpen-cerpen yang sesuai dengan
aliran realis ialah “Bedhug”, “Kakus”, “Rajapati” dan “Pasar Rakyat”. Namun
demikian cerpen-cerpen itu tetap memakai gaya simbolis. Unsur surealis dalam
cerpen-cerpen Djajus Pete merupakan akibat begitu leluasanya imaji pengarang
dalam mengembangkan cerita pendek yang ditulisnya, sehingga dapat menembus
batas bentuk-bentuk konvensional dalam cerita pendek.
Unsur surealis dalam cerpen “Dasamuka” tampak dalam penyimpangan alur cerita
dan “pakem” dalam pakiliran. Dalam cerpen itu Dewi Sinta yang diculik Dasamuka
justru jatuh cinta dan hamil dengan Dasamuka. Unsur surealis dalam cerpen
“Kadurjanan” tampak dalam terjadinya dialog antara tokoh dalam cerita dengan
pengarang. Gaya semacam ini merupakan inovasi Djajus Pete. “Kreteg Emas Jurang
Gupit” imajinasi Djajus berkembang menembus gaya realis, dengan pembangunan
sebuah jembatan yang dibuat dengan emas, meskipun pembangunan jembatan itu
banyak mengalami kendala. Dalam cerpen “Petruk”, Petruk versi Djajus seorang
Petruk yang bongkok dan menimbulkan iba.Cerpen Djajus Pete yang lain yang
menembus batas konvensional sebagai cerpen realis adalah cerpen “Setan-Setan
dan “Tikus lan Kucinge Penyair”.
Unsur simbolis dalam kumpulan cerpen Kreteg Emas Jurang Gupit”
terselubungnya protes sosial dalam cerpen-cerpen Djajus dalam bentuk
simbol-simbol dengan gaya yang kocak. Ia membuat simbol suara bedug untuk
tingkat keimanan seseorang, Dasamuka untuk keangkaramurkaan, kakus dan Petruk
untuk gambaran kesengsaraan rakyat kecil, serta tikus dan kucing untuk
orang-orang yang merugikan rakyat dan negara serta penegak hukum. Cerpen-cerpen
djajus Pete hampir semuanya menggambarkan suasana rakyat kecil di pedesaan dengan
problema kehidupannya.
***
Daftar Pustaka:
Barthes, Roland. 1996. “Unsur-Unsur Semiologi: Langue dan Parole”. Dalam
Serba-Serbi Semiotika. Penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest. Jakarta:
Gramedia.
Hutomo, Suripan Sadi. Telaah Kesusaasteraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan bahasa Depdikbud.
______. “Pengaruh Timbal Balik Sastra Melayu (Indonesia) dengan Sastra
Jawa. Dalam Problematik Sastra Jawa. Oleh Suripan Sadi Hutomo dan Setyo Yuwono
Sudikan. Surabaya:Jurusan bahasa dan sastra Indonesia FBS IKIP Surabaya.
Krampen, Martin. 1996. “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi”.
Dalam Serba Serbi Semiotika Penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest.
Jakarta: Gramedia.
Pete, Djajus. 2001. Kreteg Emas Djurang Gupit: Kumpulan Crita Cekak.
Surabaya: Yayasan Pinang Sirih & Dewan Kesenian Jawa Timur.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan
Semiotik”. Dalam Metodologi Penelitian Sastra. Jabrohim (Ed). Jogjakarta:
Hanindita Graha Widya.
Rahus, Anam. 2001. “Djajus Pete lan Crita Cekake” dalam Panyebar Semangat
No. 49. Surabaya, 8 Desember 2001.
Sudikan, Setya Yuwana dkk. 1996. Memahami Cerpen Djajus Pete. Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suwondo, Tirto. 2001. “Analisis Struktural Salah Satu Model Pendekatan
dalam Penelitian Sastra”. Dalam Metodologi Penelitian Sastra. Jabrohim (Ed).
Jogyakarta: Hanindita Graha Widya.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment