Tuesday, June 1, 2021

Berita Puisi tentang Manusia

Ribut Wijoto
sinarharapan.co.id
 
Apa yang terjadi dengan manusia? Bagaimanakah manusia memahami dan menghayati lingkungannya, juga dirinya? Kiranya, ini sebuah persoalan pelik. Jawaban pasti mesti ditunda. Ada kesejarahan panjang dalam pribadi kemanusiaan.
 
Dulu kala, di Abad Pertengahan, Galileo Galilei menyatakan, “barang siapa hendak membaca buku; aksara-aksaranya ialah bentuk-bentuk segitiga, lingkaran, dan empat per segi”. Galilei, filsuf yang hidupnya diakhiri di tiang gantungan ini, mengingatkan bahwa dunia akan lebih bisa dipahami melalui gejala-gejala primernya. Berat, warna, volume, suhu, panjang, atau hal-hal yang berkaitan dengan pancaindera. Lebih khusus lagi, matematika. Saat itu, Galilei sedang memberi dasar bagi suatu peradapan yang dikemudian periode amat menguasai masyarakat: ilmu pengetahuan. Sebuah dasar yang lantas disempurnakan oleh Isaac Newton. Kepastian akan adanya hukum-hukum: manusia dan lingkungannya digerakkan oleh suatu logika kepastian, ialah hukum alam.
 
Lantas, bagaimanakah pengaruh penerapan hukum alam bagi kemanusiaan? Ada baiknya, di sini, patut diperhatikan pengakuan Heri Latief melalui puisi “Mama” (antologi Ilusiminimalis, 2003): Umur yang kita rancang ternyata bukan punya kita, milik kita hanyalah ingatan, kenangan yang tak habis dimakan sunyi, di sini kita memandang langit sehabis hujan, berwarna kelabu, tempat berkumpulnya titik-titik embun. Ada banyak hal yang bisa cermati dari larik-larik puisi Latief. Penyair yang juga salah satu pendiri situs Cybersastra ini seperti memasang semacam lonceng; berdentang mewartakan soal genting. Degradasi kemanusiaan. Ialah ketika manusia hanya mampu memiliki sedikit bagian dari dirinya sendiri. Mengapa? Kiranya, ia berkaitan dengan dasar-dasar pembangunan Galilei, hukum pancaindera.
 
Pada kesehariannya, manusia dipahami sebagai struktur-struktur sosial dan materi, yaitu peranan manusia di dalam masyarakat: apa yang seseorang kerjakan, bagaimana prestasi kerjanya, kedudukannya, hobi, pendidikan. Selebihnya, manusia dipahami sebagai tumpukan materi. Corak rambut, cara berpakaian, jenis kelamin, tinggi badan, warna kulit, atau hal-hal yang berkaitan dengan “kartu tanda penduduk”. Organisasional dan material.
 
Manusia diatur dalam peran-peran sosial. Sebagai suatu aset yang mesti bermanfaat. Menghasilkan barang-barang atau jasa. Tanpa itu, manusia belum bisa dianggap manusia. Perihal perilaku, manusia dihadapkan pada berbagai petunjuk bertele-tele mengenai kesantunan dan kesusilaan. Macam-macam perilaku dibungkam. Pamali. Semisal tentang seksualitas.
 
Wilayah seksualitas hanya boleh diperkatakan di ruang-ruang tersembunyi. Ia hanya boleh dibicarakan akrab oleh pasangan suami-istri. Atau, sengaja diciptakan ruang khusus yang di sana orang bebas membicarakan seks. Pelacuran. Hanya saja, ruang tersebut secara norma sosial telah dinilai bejat. Dan, kalau diperkatakan saja sudah mesti berhadapan dengan banyak aturan, maka dalam tingkat tindakan, berlaku aturan-aturan yang lebih kaku lagi. Segalanya mesti terkontrol. Terkondisikan agar lebih bisa dinilai sebagai manusia normal.
 
Dan begitulah, puisi Latief mempersoalkan inti dari kemanusiaan. Sublimitas. Sejauh mana seseorang punya makna dalam kehidupan. Dengan rada sinis, Latief memberi catatan: Bukankah mereka juga mengerti, tiap manusia yang rada waras, pasti suka bicara memakai logika-cinta, karena moral ternyata susah diukur (puisi “Nyamuk”).
 
Heri Latief, penyair yang pernah tinggal di negeri Belanda ini, menggiring persoalan pemahaman diri (manusia) melalui hal yang lebih mendalam. Moralitas. Logika cinta. Keduanya berlawanan dengan pemikiran Galilei berkenaan “pemahaman atas manusia”. Pemikiran Galilei meyakini bahwa identitas manusia diperoleh dari situasi sosial. Berada di luar manusia. Sedangkan yang diyakini Latief, identitas bersifat personal. Berkaitan dengan kenangan, moralitas, cinta. Berada dalam diri manusia. Sifatnya metafisik. Apa yang tampak belum tentu merepresentasikan kenyataan diri. Dengan begitu identitas sosial, yaitu identitas yang biasa dilekatkan masyarakat kepada seseorang, itu hanya kulit luarnya saja. Sebab identitas sosial berasal dari apa-apa yang tampak. Sebuah identitas empiris. Satu misal paling gampang adalah pemakaian aksesoris. Suatu kali, seseorang memakai kalung yang berbandul logam berbentuk silang. Maka, orang-orang akan dengan mudah menjatuhkan klaim, dia seorang nasrani. Atau seseorang memakai tato bergambar pedang di lengan, maka orang-orang akan berusaha menjaga jarak dengan dirinya. Tato menciptakan identitas bernuansa buruk bagi seseorang. Lantas, apakah itu merupakan kebenaran identitas manusia.
 
Bersandar pada puisi Latief, kiranya terlalu mudah untuk cepat-cepat menjatuhkan putusan. Masalah identitas diri adalah masalah dunia dalam, metafisika. Berakar pada hakikat kemanusiaan. Di mana manusia bisa dengan secara tegas terbedakan dengan benda-benda atau dengan para hewan.
 
Pada manusia ada terletak pikiran, perasaan, imajinasi, cinta, dan obsesi terhadap fantasi. Di situ, manusia mempertaruhkan kesadaran, kebebasan, pilihan hidup, tanggung jawab. Titik tolaknya pada kesadaran diri. Sehngga persoalannya bukan pada penolakan partisipasi peran sosial, tetapi pada terciptanya relasi etis antara peran sosial dengan hakikat kemanusiaan. Dituliskannya oleh Latief dalam puisi “Egoisme”: Itulah harapan kita, tanpa topeng ada wajah yang asli, lihatlah kejujuran memang membosankan.
 
Identitas asli seperti bayang-bayang dapat dilihat tapi sulit dipastikan, apalagi keasliannya. Ilmu alam sebagaimana disorongkan Galilea hanya mampu menyoroti bentuk luar dari bayang-bayang. Sedangkan hal-hal yang membentuk bayang-bayang, yaitu manusia itu sendiri, berdiri jauh di balik pancaindera. Pengenalan hanya bisa dilakukan melalui penghayatan yang intens. Melelahkan, menjemukan, dan bagi ilmu alam yang mengagungkan efisiensi, bisa jadi ia mendekati sia-sia. Juga bagi orang-orang lain, masyarakat, publik. Identitas manusia lebih mudah diberikan dari luar daripada digali dari dalam. Seseorang adalah ilmuwan berprestasi, seseorang adalah pemain sepak bola nasional, pedagang buah, petani miskin, pejabat berpakaian rapi.
 
Klaim-klaim tentang identitas manusia berseliweran dari berbagai arah. Saling merangsek untuk dipasrahi. Karena, masyarakat punya kekuatan untuk membentuk sanksi. Seorang pegawai perusahaan akan ditertawakan atau malah di-phk bila berani memakai baju senam saat tugas kantor. Mengenaskan, seseorang dicela atau dihormati karena sesuatu di luar dirinya. Kemanusiaan terpasung di situ. Kebebasan dalam mengekspresikan diri terpagari oleh aturan-aturan penuh sanksi.
 
Begitulah, sebagian besar umur manusia bukanlah milik dirinya. Umur atau waktu, menjadi milik peran-peran yang mesti disandang manusia. Tinggal dijalani, dan tak mudah diberontaki. Yang tersisa bagi manusia hanya ingatan, kenangan yang tak habis dimakan sunyi. Di situ, manusia jadi terasingkan dari dirinya sendiri. Merasa diri kurang punya makna.
 
Kehadiran diri hanya bisa dipenuhi oleh peranan-peranan dari luar. Ia sebagai bagian dari sesuatu yang lebih luas. Diposisikan, ditugasi, dinilaikan, dan dikekang. Sebab, ia bukan milik dirinya. Ia milik aturan-aturan. Kurang lebih sama dengan benda-benda. Di tingkat ini, ketika kesadaran diri telah bangkit, dua pilihan buruk bisa terwujud. Pilihan pertama, tindakan agresif brutal. Bersifat menyerang, merusak, dan dorongan untuk menguasai orang-orang lain. Suatu keinginan untuk balas dendam atau keinginan untuk membalik keadaan. Pilihan kedua, tindakan apatis. Kepercayaan terhadap orang lain, bahkan kepercayaan kepada diri sendiri, telah sirna. Ia merasa tidak lagi punya makna. Juga dunia tidak punya makna. Tiada perlu lagi beraktivitas. Atau bisa jadi, menganggap tiada perlu lagi melanjut hidup. Bunuh diri sosial, ataupun bunuh diri nyata. Lenyap. Mati, sendiri, dan tak terpahami.
 
Hukum alam, ah logika ini memang penting bagi peradapan. Tentang kemutlakannya, beberapa ihwal masih perlu dipertimbangkan. Berita-berita dari puisi, semacam berita puisi Heri Latief sungguh patut untuk diberi perhatian, diberi tempat berbiak. Dengan harapan sederhana: agar kelak, anak-anak kita masih bisa membaca hakikat cinta, dan manusia masih ada.
***
 
Studio Gapus, Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2009/12/berita-puisi-tentang-manusia/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar