Friday, June 4, 2021

Sastra Mutakhir: Sastra Eksklusif

Alunk Estohank *
riaupos.co
 
ADA kerisauan ketika harus memikirkan nasib sastra Indonesia, sastra yang semakin hari semakin tidak jelas juntrungnya. Ada apa sebenarnya dengan sastra Indonesia dewasa ini, bukankah seringkali kita temui buku-buku sastra terbit tiap tahunnya, dan bahkan ada yang satu tahun dapat menerbitkan dua buku sastra bahkan ada yang lebih. Kenapa mesti dirisaukan, bukankah itu semua menjadi nilai plus dari sastra itu sendiri.
 
Jika merujuk pada perkembangan terbitnya buku sastra indonesia, seperti antologi puisi, antologi cerpen, dan novel, memang sastra Indonesia tidak perlu di khawatirkan. Karena belakangan telah banyak penerbit-penerbit yang siap menerbitkan karya sastra dengan mudah. Hanya bermodalkan uang sedikit saja buku sastra akan terbit. Yang lebih parah lagi adalah penerbit-penerbit itu berlomba-lomba meminta karya sastra kepada penulis sastra agar karyanya di terbitkan. Entah itu kepentingan penerbit untuk merawat sastra Indonesia atau malah hanya ingin eksis atau bahkan hanya ingin profit? Semua itu tidak ada yang tahu kecuali Tuhan dan redakturnya (C.O penerbitnya).
 
Kemudian, tiba-tiba saya teringat pada perkataan Mario Vergas Llora, peraih nobel sastra tahun 2010 yang lalu, bahwa saat ini sastra diperlukan hanya sebagai produk konsumsi, hiburan remeh-temeh, dan sumber informasi yang cepat basi. Saya kira ungkapan Mario Vergas Llora ini bukan hanya omong kosong belaka terhadap dinamika kesusastraan. Namun semua itu merupakan tamparan kritis atas fenomena kesusastraan sekarang yang dilanda kerisauan, kerisauan dan kegelisahan tersebut dapat kita lihat dari bergesernya kesusastraan dunia dan khususnya sastra indonesia pada kemelut pasar.
 
Jika berbicara pasar maka yang tampak adalah berbagai kepentingan dan profit. Kalau demikian maka sastra indonesia berada dalam kemelut dan kepentingan-kepantingan tangan pemodal. Tidak salah kemudian jika sastra dibilang sebagai sebuah ruang yang eksklusif, yang di dalamnya hanya orang-orang sastra saja yang dapat menikmatinya, sedangkan khalayak ramai tidak termasuk dalam bagiannya. Kalau begitu maka tidak salah kiranya masyarakat beranggapan kalau dunia sastra tidak ada gunanya, tidak penting, dan tidak ada manfaatnya.
 
Pertanyaannya kemudian adalah “kenapa karya sastra yang terbit dewasa ini begitu eksklusif? Adakah satu dua buku sastra yang terbit belakangan ini yang tidak eksklusif? Jika ada, kenapa karya sastra sekarang tidak begitu menggugah pembaca atau apakah pembaca yang tidak paham terhadap karya sastra, hingga karya sastra khusus bagi orang yang menulis sastra. Jika demikian maka apa yang ditulis para sastrawan hanya berkutat pada remeh-temeh kehidupan pribadinya. Bukankah Rendra juga disebut sastrawan tapi kenapa puisi-puisinya begitu dekat dengan masyarakat bawah, petani, dan orang-orang tertindas?
 
Tampaknya kita mesti berpikir ulang tentang kesusastraan dewasa ini, jangan sampai kesusastraan saat ini beralih pada hiburan dan profit belaka. Sebab merujuk pada perkataan baudrillard bahwa konsumsi telah menjadi dasar utama tatanan sosial. Peran utama manusia yang semestinya untuk masyarakat luas, hanya akan berada dalam kotak-kotak dunia yang menyihir manusia untuk menjadi konsumen. Sedangkan tanggung jawab moral terhadap semua masyarakat hilang. Dan sepenuhnya tanpa dinyana kita terbawa arus hidonisme, hura-hura, dan karaya sastra di dalamnya hanya sebagai lahan (kemegahan pasar) belaka.
 
Dalam hal ini saya tidak ingin menyalahkan penerbit-penerbit yang bermunculan belakangan, semua itu sah-sah saja dan terserah mau menerbitkan 100 karya sastra dalam setahun pun tidak masalah jika memang yang penerbit inginkan adalah profit. Cuma masalahnya adalah bagaimana karya sastra itu bisa kembali normal seperti dahulu, yang mana sering kita dengar bahwa karya sastra dulu sangat mulya bahkan hampir setara dengan kitab suci. Bukan hanya itu, John F. Kennedy pernah mengatakan “jika politik bengkok, puisi akan meluruskannya”.
 
Sebegitu pentingnya sebuah karya sastra hingga jika politik bengkok sastra dapat meluruskannya, tapi apakah pada kali ini karya sastra telah meluruskan politik itu sendiri atau jangan-jangan tidak sama sekali.
 
Sebagai pembaca dan penikmat karya sastra, saya hanya berharap karya sastra tidak hanya menceritakan tentang kehidupan pribadinya, di kamar tidur, di kafe, di pantai dan di samping istri/pacarnya. Berceritalah sedikit tentang ilmu pengetahuan, bencana alam, penggusuran, korban banjir, longsor, pembacokan, korupsi, demo, agama yang dikomodifikasi, janji-janji pejabat yang sengaja di lupakan atau nasib orang-orang yang kelaparan di pinggir jalan, atau nasib TKI kita yang bertambah banyak tiap tahun di berbagai negara tetangga, dan lain sebagainya.
 
Kalau buku-buku sastra yang terbit membicarakan permasalahan sosial seperti yang penulis sebut di atas, maka saya pikir karya sastra tidak akan menjadi eksklusif lagi, dia (karya sastra) akan menjadi bagian dari kehidupan sosial dan akan menjadi tonggak atau suara masyarakat tertindas. Maka seberapa pun karya sastra yang terbit tiap tahunnya akan lebih bernilai ketimbang yang hanya bercerita tentang rumah tangga dan kehidupan dapurnya. Setidaknya tidak terlalu kentara kalau penerbit ada hanya untuk sebuah kepentingan atau lebih tepatnya profit.
 
Dengan begitu, ada yang bisa kita banggakan dan tidak malu terhadap perkataan Franz Kafka, bahwa sebuah buku harus seperti kapak untuk membelah lautan beku dalam diri kita. Jangan hanya menjadi bunga-bunga yang cepat layu lalu membusuk.
***

*) Alunk Estohank, tinggal di Yogyakarta. Sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). http://sastra-indonesia.com/2017/09/sastra-mutakhir-sastra-eksklusif/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar