Monday, June 21, 2021

Sastra Indonesia, Soal Sastra yang Belum Dikenal Dunia

Zulfikar Akbar
 
Jika pagi ini berkesempatan untuk membuka koran lama, maksud saya tidak terlalu lama juga, sekitar jelang pertengahan tahun lalu, 2011. Kompas yang terbit pada tanggal 21 Mei ketika itu menurunkan berita kecil di sisi salah satu pojok. Judul berita itu adalah: Sastra Indonesia Tidak Dikenal.
 
Menariknya, bidikan soal kondisi sastra Indonesia yang diisyaratkan dari judul begitu rupa, mencuat dari peluncuran sebuah buku bertitel: Modern Library of Indonesia, yang dibarengi dengan sebuah diskusi Kebangkitan Sastra Indonesia di Panggung Dunia.
 
Pada ketika itu (19/5-2011), hadirlah beberapa figur yang disebut-sebut oleh sekian pegiat sastra sebagai sosok-sosok yang sudah malang melintang di jagad sastra nusantara, atau setidaknya pernah bersentuhan lama dengannya. Taruhlah misal Putu Wijaya, Mira Lesmana, dan Dewi Lestari.
 
Putu, di sana mengatakan, karya sastra Indonesia berbahasa Inggris penting untuk menunjukkan eksistensi. Menurutnya lagi, menghubungkan dengan kemungkinan laku tidaknya karya tersebut di luar, “itu tak perlu dipersoalkan.”
 
Menarik karena Putu sangat realistis mengisyaratkan kemungkinan nasib karya anak negerinya jika harus dilempar ke pasar lebih luas yang menjangkau benua lainnya. Meski saya tidak bermaksud menuding bahwa Putu pada saat itu ingin menunjukkan skeptisisme atas posisi buah tangan pegiat sastra negeri ini disandingkan dengan orang-orang luar sana. Bahkan, ia juga mendorong pemerintah untuk mendukung upaya peng-inggris-an karya sastra dari Indonesia—yang lahir dan mengangkat berbagai lekuk liku tubuh Indonesia, lepas dari masih elok atau tidaknya.
 
“Tidak bisa lagi pakai diplomasi gaya lama,” tegas Putu,”Pemerintah harus menyadari ini dan mendorong penerjemahan semua karya sastra.”
 
Menyimak ulang kalimat itu, saya tercenung, benarkah semua karya sastra? Apakah tidak perlu dispesifikkan karya sastra dengan standar seperti apa? Toh, sampai hari ini saja, mereka yang gaek di sastra pun masih kelimpungan jika harus dihadapkan pada soal standar. Atau, jangan-jangan tidak perlu ada standar-standaran? Tapi jika ini jadi pilihan, apakah tidak justru membawa aroma borok ke luar negeri? Bukankah jika ingin memberi—jika ‘ekspor’ karya sastra adalah pemberian—maka idealnya pemberian itu adalah yang terbaik?
 
Atau, boleh jadi juga, itu terpaksa dilontarkan Putu disebabkan rasa kalap. Sebab, pada ketika itu, ia juga bercerita tentang pengalamannya saat mengikuti festival sastra di Horisonte, Berlin, Jerman, pada tahun 1985. Katanya, dalam kunjungan tersebut ia tercekat saat seorang penyair Amerika Serikat menyatakan kaget dan baru tahu di Indonesia ternyata ada sastrawan.
 
“Ia kira kita hanya punya seni pertunjukan,” cerita Putu Wijaya mengisyaratkan perasaan miris.
 
Sedikit saya menaruh heran, kenapa Putu tidak mengijinkan diri saja untuk berburuk sangka kalau penyair dari negeri yang konon super power itu mungkin bukan sosok yang rajin membaca?
 
Di moment yang serupa pula—pada peluncuran Modern Library of Indonesia— John McGlynn yang juga merupakan Chairman Yayasan Lontar sekaligus penyunting seri Modern Library, menyebutkan bahwa pembaca asing tak hanya bisa mengikuti perkembangan sastra Indonesia, tetapi juga menghayati kekuatan politik sosial pembentuk Indonesia.
 
Keniscayaan itu–yang disebut McGlynn—tak bisa ditampik, tapi saya jadi terbetik tanya, sastra harus mengabdi pada siapa?
 
Baik, taruhlah kita menerima tawaran Putu, atau dukungan tersirat dari McGlynn, untuk bisa ‘menendang’ bola sastra yang awalnya hanya bergulir dari kampung ke kampung—andai boleh menafikan penyebutan kota—kemudian harus melesat ke luar lapangan awal. Saya kira soal eksistensi bukan suatu hal yang terlalu penting. Apalagi, pegiat sastra saya kira bukanlah mereka yang terlalu memberhalakan soal dipandang eksis ataukah tidak. Sebab, tanpa mengutip teori siapa-siapa, sastra itu memang bukan barang yang harus demikian rupa dijajakan; memberi laba, membuat kaya.
 
Hanya saja, bagaimana menyelesaikan pekerjaan rumah di rumah kita sendiri yang sampai hari ini belum selesai; soal seberapa dikenal sastra Indonesia oleh anak bangsa sendiri, seberapa berpengaruh karya sastra yang ada di tengah kalangan masyarakat sendiri. Dan semua itu sampai sekarang belum ada jawaban yang tegas.
 
Entah harus percaya atau tidak, hari ini sastra di Indonesia, oleh sebagian kalangan masih dipandang sebagai hal yang tidak penting. Karena tidak memberi jawaban laiknya kajian-kajian akademisi dan cendekiawan di berbagai kampus-kampus ternama, sebagai buah dari kerelaan mereka merontokkan rambut sendiri menjawab persoalan bangsa.
 
Ideal untuk disahuti, jika itu sudah lebih berkuku dan sudah benar-benar mencengkeram kuat di tanah-tanah negeri ini, atau kelak harus menerima cibiran. Saya tidak tahu, apakah mereka di luar sana juga suka mencibir ataukah tidak. Tapi soal membawa “semua” karya sastra yang lahir di negeri memang seyogianya harus dikaji ulang.
 
Alasan yang bisa saya sebutkan tidak terlalu jauh dari; realitas bahwa ada masih banyak sekat-sekat yang diindahkan sedemikian rupa dan dituangkan ke dalam sekian banyak karya sastra. Entah sekat dengan alasan agama, suku, gender, dan sebagainya. Mengumbar hal itu ke luar, hanya membuat sastra menjadi pembarter untuk sebuah stempel bertulis: picik!
 
Ah, akhirnya, saya sendiri berharap tidak ada yang akan indahkan pesimisme saya ini.
 
07 February 2012

*) Pegiat media, copy writer, content writer. Tertarik pada masalah-masalah sosial, sastra, juga budaya masyarakat nusantara. Selain juga berminat pada Sufistik dan Zen. http://sastra-indonesia.com/2012/03/sastra-indonesia-soal-sastra-yang-belum-dikenal-dunia/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar