Monday, June 21, 2021

PETER HANDKE DAN MAGSAYSAY UNTUK PRAMOEDYA

Anindita S Thayf *
Jawa Pos, 01/12/2019
 
Peter Handke, sastrawan asal Austria, diganjar penghargaan Nobel Sastra 2019 oleh Akademi Swedia. Belum sampai sepekan setelah kabar itu tersiar, polemik bermunculan. Selebriti sastra dunia Salman Rushdie dan filsuf Slavoj Zizek mengajukan keberatan atas penganugerahan untuk Handke. Selain itu, muncul pula petisi online yang menggugat keputusan Akademi Swedia tersebut. Alasan semuanya sama: Handke dianggap pendukung pemimpin Serbia, Slobodan Milosevic—orang yang dianggap sebagai penjahat perang Yugoslavia pada 1990.
 
Polemik Nobel Sastra untuk Handke ini mengingatkan pada hiruk pikuk serupa yang pecah ketika Pramoedya Ananta Toer memperoleh Hadiah Magsaysay pada 1995. Para sastrawan yang dulu tergabung dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) langsung meneriakkan penolakan. Mereka menggugat keputusan Yayasan Hadiah Magsaysay kala itu. Mochtar Lubis yang pernah menerima penghargaan tersebut juga bereaksi. Dia mengembalikan piagam Magsaysay karena permintaannya agar penghargaan kepada Pramoedya dibatalkan tidak dipenuhi.
 
Kita bisa menyimak kembali alasan penolakan kelompok Manikebu kala itu. Dalam pernyataannya, kedua puluh enam seniman yang dipelopori Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail ini berargumen, antara lain: “Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia [Pramoedya] memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.” Di Filipina, tempat dimana Yayasan Hadiah Magsaysay berada, sastrawan F. Sionil Jose turut membuat pernyataan yang tidak kalah garang. Dia menyatakan bahwa memberikan Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya sama saja dengan memberikan penghargaan kepada diktator Ferdinand Marcos (Polemik Hadiah Magsaysay, 1995).
 
Bila disimak baik-baik, irama tabuhan gendang penolakan itu, baik terhadap Handke maupun Pramoedya, memainkan tuduhan senada, yaitu mempermasalahkan masa lalu si pengarang. Bagi pihak penggugat, masa lalu seorang pengarang adalah tolak ukur yang sangat penting dalam menentukan apakah dia layak menerima penghargaan semacam Nobel Sastra atau Magsaysay. Para penggugat ini menghadirkan diri mereka layaknya “Polisi Moral” yang merasa berhak mengukur moralitas dan pilihan politik seorang pengarang di masa lalu. Bagi mereka, moralitas pengarang menentukan moralitas karyanya; bila moralnya baik maka karyanya mesti baik pula.
 
Bilapun kita mencoba mengikuti argumentasi yang ada, sebagaimana yang disampaikan Salman Rushdie, umpamanya, hal itu bisa saja berubah menjadi senjata makan tuan. Yaitu, ketika suatu hari nanti Rushdie terpilih menerima Nobel Sastra. Sebagian besar umat muslim, terutama di Iran, barangkali akan langsung melayangkan gugatan berjamaah kepada Akademi Swedia. Bagi mereka, Rushdie pengarang Islamophobia karena karyanya, Ayat-Ayat Setan, dianggap menghina Nabi Muhammad. Di mata mereka, Salman Rushdie tidak layak menerima Nobel Sastra.
 
Seorang pengarang tentu memiliki alasan tersendiri perihal pilihan moral dan keberpihakan politiknya. Ketika Gunter Grass bergabung dengan Nazi, Pramoedya menjadi anggota Lekra yang berafiliasi dengan PKI, dan Handke mendukung temannya, Slobodan Milosevic, semua itu adalah pilihan pribadi. Namun, hanyalah suatu penilaian cacat yang akan dihasilkan jika benar-salahnya pilihan tersebut dinilai oleh pihak lain yang jelas berada pada posisi berseberangan. Dan, adalah gegabah jika pilihan politik seorang pengarang dihubung-hubungkan dengan baik-buruknya karya si pengarang dan pantas-tidak pantasnya dia mendapat penghargaan atas karyanya.
 
Sastra, Ya Sastra
 
Hal penting yang seolah terlupakan dari argumen para penggugat Pramoedya dan Handke adalah bahwa Hadiah Magsaysay dan Nobel Sastra merupakan penghargaan untuk karya sastra. Artinya, yang dinilai adalah karya sastra, bukan pengarangnya (moralitas, pilihan politiknya). Yang dilihat adalah teks sastra, bukan biografi individu pengarangnya. Maka, sungguh tepatlah pernyataan Gus Dur ketika dimintai pendapat terkait polemik Hadiah Magsaysay yang diberikan kepada Pramoedya, “Kalau saya sih menilai sastra, ya sastra (Polemik Hadiah Magsaysay, 1995).”
 
Kejelasan posisi Nobel Sastra dan Hadiah Magsaysay sebagai bentuk penghargaan terhadap karya sastra bisa dilihat dari argumentasi pihak penyelenggara. Akademi Swedia berpendapat Handke berhak menerima Nobel Sastra karena “karya Peter Handke sukses mempengaruhi ilmu linguistik dan mengeksploitasi berbagai pengalaman manusia.” Adapun alasan Yayasan Magsaysay memberikan penghargaan dalam bidang Jurnalisme, Sastra dan Seni Komunikasi kepada Pramoedya adalah karena “telah menghasilkan karya-karya unggul mengenai kebangkitan sejarah dan pengalaman modern masyarakat Indonesia.”
 
Terlepas dari apakah suatu penghargaan bisa dibatalkan atau tidak, perdebatan yang terjadi mestinya berpusar pada karya/teks sastra. Misalnya, kita bisa mempertanyakan dan mengkritisi ukuran apa yang dipakai pihak penyelenggara sehingga sebuah karya layak mendapat penghargaan. Dengan demikian, polemik yang terlahir akan lebih cerdas, bukan sesuatu yang banal.
 
Pemberhalaan terhadap pengarang memang acap kali terjadi. Gampang didapati pembaca lebih mengidolakan seorang pengarang dibandingkan karyanya. Dalam kosakata kita, sebagaimana terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sastra diartikan sebagai “bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari)”, dan orang yang menghasilkan karya sastra disebut pujangga. Sebagai orang yang menghasilkan “bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab”, seorang pujangga dianggap sebagai orang yang mempunyai kedudukan tinggi, baik dari segi moralitas maupun sebagai “ahli pikir” atau “ahli sastra”. Seorang pujangga sertamerta pula dipandang sebagai bujangga, yaitu “pendeta, petapa; orang cerdik pandai.” Pandangan semacam inilah yang membuat pujangga/bujangga/sastrawan diberhalakan dan tidak disapih dari karyanya.
 
Seorang pengarang bisa saja menulis sembari menenggak abshinte dan menghisap ganja di dalam salah satu kamar rumah bordil, tapi sukses menghasilkan karya yang lebih bagus daripada seorang pengarang saleh yang minim kemampuan pertukangan menulis. Seorang pengarang yang mendukung temannya, yang penjahat perang, bisa saja menghasilkan karya humanis bernilai tinggi ketimbang pengarang yang sepanjang hidupnya menjadi jurnalis atau aktivis atau SJW namun kurang kreatif dan imajinatif. Sekali lagi, Nobel Sastra diperuntukkan untuk sastrawan yang karyanya dianggap terbaik oleh Akademi Swedia, bukan untuk memilih sastrawan malaikat terbaik sedunia.
***

*) Anindita S. Thayf lahir pada 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara I lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014). Novel terbarunya “Ular Tangga” (GPU, 2018). http://sastra-indonesia.com/2019/12/peter-handke-dan-magsaysay-untuk-pramoedya/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar