Monday, June 21, 2021

Catatan Buku: Palagan Hamka dan Lentera “Pram”

Rama Prabu
oase.kompas.com
 
PECAHNYA peperangan Bintang Timur-“Lentera”/Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu panglimanya di medio 1962-1964 dengan HAMKA itu memercikan darah polemik baru berlabel Plagiasi pada karya Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Dan ketika membaca buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat karya Muhidin M Dahlan (2011) kembali kita diingatkan bahwa prilaku tidak terpuji itu ternyata di Indonesia sudah dimulai jauh-jauh hari. Dan akhir-akhir ini banyak kasus Plagiat baik soal Cerpen sampai pada Karya Ilmiah di beberapa Universitas yang dilakukan oleh mereka yang ingin disebut penulis dan peneliti itu tidak terlepas dari lemahnya negara memberi batasan dan ukuran serta takaran dalam mendefinisi mana saduran, mencontek atau mencontoh hingga plagiat dalam beragam ukuran.
 
Seorang pemerhati sastra Indonesia A. Teeuw pernah menulis “bahwa di Indonesia dari dahulu masalah keorisinilan dalam penciptaan sastra belum ada; perbedaan antara pencipta, penyadur, penerjemah, penjiplak adalah perbedaan yang modern; menulis seringkali adalah menulis kembali dengan varian-varian yang terserah pada pengarang, dan yang penilaiannya terserah pada pendengar atau pembaca. Demikian pula naskah seringkali bersifat anonim, atau seandainya ada nama penulis tidak jelas apakah dia penulis “asli” atau “penyadur” atau pula “penyalin” pertanyaan semacam itu dianggap kurang relevan. Perkara ini sangat sensitif bahkan cenderung banyak yang akhirnya dianggap “kampanye hitam” untuk membunuh karir seseorang.
 
Tapi untuk soal Hamka, saya sependapat dengan buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (AMHP) bahwa buku “ini menjadi semacam pengantar ala kadarnya untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya disembelih oleh Gestok 1965 dan diantara mere di-Buru-kan. Buku ini menyambung niat yang tenggelam bersama kapal sejarah sastra Indonesia yang muda usia oleh politik dan fraksi militer yang kemudian diwariskan dengan perasaan was-was bergenerasi-gererasi”.
 
Dan yang paling penting dari buku ini adalah, Muhidin (Gus Muh) kembali mengingatkan pada khayalak bahwa pernah ada polemik/palagan dalam istilahnya yang harus diketahui oleh generasi sekarang. Buku yang layak dan harus menjadi bacaan wajib para penggiat sastra ini salah satunya telah menggiring saya pribadi sebagai kolektor untuk kembali “gerilya” mencari semua buku-buku tentang Hamka dan buku yang Hamka tulis, ini salah satu dampak ikutan yang baik terlebih karena kepentingan Sidang Buku Indonesia Buku. Dan setelah membaca Magdalena (Terjemahan A.s. Alatas dan M. Junus Amir Hamzah) dari karya Majdulin Al-Manfaluthi dimana beliau terjemahkan dari Karya Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleus, kemudian membaca naskah yang menjadi polemik Tenggelamnya Kapak van der Wijk –Hamka serta setelah mengengok detail-detail yang coba dibuktikan dalam buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (Gus Muh) saya berkesimpulan bahwa karya Hamka ini memang terlalu naif dan terlalu tidak jujur jika Hamka tidak mengakui bahwa bukunya memang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan lebih dekat dari urat lehernya karya terjemahan Manfaluthi. Untuk tidak merendahkan beliau yang diakui sebagai seorang agamawan dan pengarang dengan karya yang banyak, saya lebih setuju buku Tenggelamnya Kapal van der Wijk itu dikategorikan sebagai saduran.
 
Hamka telah mengakui dalam pendaluan untuk cetakan keempat bahwa “di dalam usia 31 tahun (1938), masa darah muda cepat alirnya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, di waktu itulah “ilham” Tenggelamnya Kapan Van der Wijk ini mulai kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin, Pedoman Masyarakat”. Sepertinya “ilham dan kata sentimen” inilah yang hendak dijadikan pembela karangannya, walau dengan tulisannya (maka ketika membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang menjadi inti buku, tidaklah diubah-ubah. Sebab dia adalah puncak kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman sebelum suasana merdeka) Hamka seperti sedang menampar muka sendiri dari pada kata “bercermin air”.
 
Walau H.B Jassin menjadi salah satu pembela Hamka dengan mengatakan “pada Hamka ada pengaruh al-Manfaluthi. Ada garis-garis tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapannya sendir demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka terlalu gegabah untuk menuduh Hamka Plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen”. Tapi dari tulian ini saya meyakini Jassin tak sepenuh hati membela dan mempelajari polemik yang terjadi, karena Jassin juga bukan orang yang memakai kacamata kuda dalam menilai walau dia bilangbahwa Hamka adalah gurunya, yang sangat di hormati. Dia sudah baca semua bukunya, ikuti dan menyimpan semua tulisannya dalam majalah dan surat kabar. Tapi dalam hal kesusastraan mengenai fungsi pengarang, kebebasan mencipta, dan fungsi karya sastra, antara Jassin dan Hamka ada beberapa perbedaan pendapat.
 
Satu kasus, kerasnya Jassin dalam membela perkara “Langit Makin Mendung” (Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, H.B. Jassin, 1983) menilai bahwa Hamka mengatakan melihat cerita itu seolah-olah suatu laporan sejarah dan pelajaran agama, yang karena dan berbeda atau bertentangan dengan kenyataannya dan kaidah agama, ditolaknya. Hal ini bisa Jassin mengerti, karena beliau adalah orang yang telah memilih karier sebagai ahli agama dan mubalig. Ia tidak bisa lain dari keyakinannya dan kalau ia hendak menikmati suatu hasil karya, haruslah yang konform dengan keyakinannya. Ini adalah hak beliau. akan tetapi tak dapat dibantah bahwa imajinasi manusia bebas, sekalipunn ia mempunyai suatu keyakinan. Dan kebebasan imajinasi inilah yang hendak dikekang oleh Hamka pada ajaran-ajaran agama. Jassin tidak berpendirian demikian. Sebagai manusia beragama, punya keyakinan. Tapi juga mengakui adanya imajinasi yang bebas.
 
Jassin pun mengatakan bahwa “Inilah bahayanya kalau pikiran kita sudah terarah dengan mutlak dalam menghadapi suatu karya. Kita kita hanya mencari apa yang cocok dengan kita dan tidak coba mengerti kemungkinan-kemungkinan lain dari dari apa yang kita kehendaki. Dengan demikian dunia ini tetap sempit saja. Inilah caranya orang mengganggap hasil sastra sebagai dogma. Sebagai ulama, Hamka katanya metasa tersinggung oleh cerita “Langit Makin Mendung” dan menganggap dosa si pengarang begitu besar, sehingga sepantasnya ia dibunuh; halal darahnya menurut Islam, katanya. Hamka membantah hasil imajinasi pengatang dengan mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis, seolah-olah pengarang adalah seorang ulama yang telah memberikan fatwa-fatwa agama yang keliru dan akan menyesatkan umat.
 
Jassin mengerangkan, bahwa pengarang bukanlah ulama, tapi orang awam dalam hal agama, namun dengan imajinasinya yang awam mencoba mendekatkan diri kepada Tuhan. Kalau seorang penghuni planet Senen sampai pada imajinasi Tuhan dengan caranya sendiri, saya menaruh hormat. Bagi Hamka seorang pengarang haruslah menggambar manusia dan peristiwa-peristiwa sesuai dengan keyakinannya.
 
Hamka memestikan tokoh-tokohnya menganut pikiran-pikiran dan melakukan perbuatan-perbuatan yang cocok dengan Hamka sebagai orang yang taat beragama. Maka akan didapatlah tokoh-tokoh yang stereotip, gagasan-gagasan yang stereotip, peristiwa-peristiwa yang stereotip, jalan pikiran yang stereotip, jalan cerita yang stereotip. Tokoh-tokohnya bukan tokoh-tokoh merdeka, tapi tokoh-tokoh yang telah terbelenggu oleh pikiran-pikiran pengarang atau pembaca yang menginginkan mereka demikian. Hamka hendak membelenggu imajinasi kepada akidah, meskipun dia tahu bahwa imajinasi sifatnya bebas. Imajinasi tidak terikat pada akidah, seperti mimpi tidak terikat kepada hukum lazim dalam kenyataan.
 
Dan buku AMHP menghimpunnya dengan cukup baik untuk soal bukti-bukti pragiat ini dari berbagai macam sudut pandang dan cara menakar, kegundahan Ki. Harkono Kamajaya (Pemimpin Umum UP. Indonesia) yang salah satu petinggi Majelis Luhur Tamansiswa yang menerbitkan cetakan ketiga (1985) buku Magdalena yang mengatakan bahwa “polemik itu niscaya tidak akan mencapai penyelesaian, sebab orang tidak dapat membenarkan atau membantah tuduhan plagiat tersebut sebelum membaca buku Majdulin” dan buku AMHP melengkapi pembenaran ini.
 
Seharusnya Hamka pun melakukan hal yang sama seperti Manfaluthi ‘tawadhu” dalam berkarya, walau kata Teeuw “Teks adalah milik bersama, bebas untuk dimanipulasi, dicocokkan, diciptakan kembali, sesuai dengan keperluan dan kemampuan para penyusun yang menganggap dari pencipta (seringkali juga sekaligus menjadi penyanyi dan penggelarnya), dan dengan minat pendengar dan penonton. Tapi kosep teks sebagai milik pencipta pertamanya, yang harus dihormati dan diabadikan dalam bentuk aslinya, pada umumnya tidak diketahui di Indonesia.
 
Manfaluthi mengatakan “saya menjaga jiwa aslinya sepenuh-penuhnya dan mengikat diri saya sekeras-kerasnya. Saya tidak menyimpang kecuali dalam membuang beberapa kalimat yang tidak penting, menambah beberapa kalimat yang terpaksa saya tambahkan karena kaharusan terjemahan, pengolahan, penyesuaian tujuan dan maksud-maksud tanpa mengurangi nilai aslinya atau keluar dari lingkungannya”. Jadi saya kembali berharap kedepan tak ada lagi karya sastra yang kembar identik seperti yang terjadi pada karya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk-Hamka dengan Majdulin/terjemahan Manfaluthi dari [Sous les Tilleus karya alphonse Karr] karena itu selain merendahkan proses penciptaan pada akhirnya juga menghinakan diri didepan sidang pembaca buku di seluruh dunia.
***

*) Rama Prabu, Direktur Dewantara Institute, 20 Maret 2012 http://sastra-indonesia.com/2012/03/catatan-buku-palagan-hamka-dan-lentera-pram/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar