Thursday, June 17, 2021

Bentrok Tafsir dalam Kajian Akademis Sastra

Arif Bagus Prasetyo *
Kompas, 07 Mei 2016
 
Baru-baru ini terbit buku Sastra dan Politik: Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru (2015) karya Yoseph Yapi Taum. Buku ini menyoroti politik ingatan Orde Baru tentang tragedi 1965. Secara besar-besaran, sistematis, dan kontinu, rezim Orba menciptakan dan memasyarakatkan berbagai representasi tentang tragedi 1965, mulai dari pemberitaan G30S di harian Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata, penerbitan buku sejarah, sampai produksi film Pengkhianatan G30S/PKI.
 
Dalam berbagai representasi resmi itu, komunis ditabalkan sebagai pengkhianat bangsa, tragedi 1965 diingat secara terbatas pada pembunuhan petinggi militer pada 30 September 1965, dan pembantaian massal terhadap tersangka komunis serta pelanggaran hak asasi manusia pasca G30S dilupakan.
 
Sastra bangkit melawan politik ingatan Orba itu. Dalam kajian Yoseph, sepuluh cerpen bertema tragedi 1965 yang muncul pada 1966-1970 melakukan perlawanan gelombang pertama, terdiri dari “perlawanan keras”, “perlawanan pasif”, dan “perlawanan humanistik”. Perlawanan dilancarkan dengan “memberikan simpati yang sangat tinggi terhadap orang-orang komunis atau mereka yang memiliki kaitan dengan orang-orang komunis”.
 
“Secara umum,” simpul Yoseph, “sastra Indonesia pada periode 1966-1970 menampilkan sikap yang berbeda dari sikap aparat dan mainstream pada waktu itu, yang secara gencar melakukan pembunuhan dengan sistem ‘tumpas kelor’ (pembasmian sampai ke akar-akarnya) terhadap anggota PKI dan keluarganya.. Yang mencuat secara sangat dominan dalam karya-karya sastra 1966-1970 adalah konstruksi wacana tandingan yang melakukan perlawanan terhadap hukuman, siksaan, dan pembunuhan anggota PKI, khususnya pembunuhan terhadap orang-orang yang dipandang tidak bersalah. Wacana tandingan menolak dan memprotes pembunuhan yang kejam itu disampaikan melalui sudut pandang tokoh-tokoh cerita.”
 
Yoseph bukan sarjana pertama yang membahas cerpen-cerpen tragedi 1965 pada periode 1966-1970. Dua tahun sebelum buku Sastra dan Politik terbit, empat dari cerpen-cerpen yang dibahas Yoseph telah dianalisis oleh Wijaya Herlambang dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013). Empat cerpen itu adalah “Pada Titik Kulminasi” (Satyagraha Hoerip, 1966), “Perempuan dan Anak-anaknya” (Gerson Poyk, 1966), “Perang dan Kemanusiaan” (Usamah, 1969), dan “Ancaman” (Ugati, 1969).
 
Meskipun spirit ideologis dan sebagian isi buku Wijaya mirip dengan buku Yoseph, analisis Wijaya terhadap empat cerpen itu menghasilkan simpulan yang mutlak bertentangan dengan simpulan Yoseph. Menurut Wijaya, keempat cerpen tersebut (ditambah dua cerpen lagi yang tidak dibahas Yoseph) “adalah bentuk justifikasi atas kekerasan yang dialami kaum komunis, dengan cara memanipulasi gagasan humanisme yang didasarkan pada konflik psikologis para tokohnya, untuk membuat pembaca bersimpati kepada para pembunuh ketimbang pada para korbannya”.
 
Sama seperti Yoseph, Wijaya memusatkan analisis cerpen pada sudut pandang tokoh cerita. Ia membedah konflik psikologis dan membongkar manipulasi ideologis dalam empat cerpen itu. Namun, apa yang dilihat oleh Yoseph secara positif sebagai simpati yang sangat tinggi dari para cerpenis terhadap korban tragedi 1965 justru dipandang negatif oleh Wijaya.
 
“Dengan menggambarkan tokoh-tokoh anti komunis itu sebagai kaum humanis sejati yang bersimpati dan menolong keluarga komunis, sementara pada saat yang sama menghujat komunisme dan simpatisannya, karya-karya ini memaksa pembaca untuk menerima bahwa pahlawan yang sesungguhnya adalah mereka yang terlibat dalam pembunuhan massal kaum komunis,” kata Wijaya. “Apa yang terlihat sebagai simpati kepada keluarga korban pembantaian ternyata merupakan simpati terhadap penderitaan psikologis pelaku pembantaian sendiri yang disebabkan oleh kesaksian mereka terhadap siksaan yang mereka lakukan terhadap para korban.”
 
Dua kajian
 
Dua kajian dari dua sarjana tentang cerpen-cerpen yang sama ternyata membuahkan hasil yang tidak saja berbeda, tetapi bahkan berkebalikan secara sempurna, bagaikan bumi dan langit. Sastra dan Politik dan Kekerasan Budaya sama-sama kritis terhadap hegemoni politik-budaya rezim Orba, sama-sama buku yang berasal dari disertasi doktoral di perguruan tinggi ternama (Universitas Gadjah Mada dan University of Queensland, Australia), dan sama-sama menganalisis sudut pandang tokoh cerpen terhadap tragedi 1965. Namun, kesamaan itu ternyata justru membuka jalan bagi perbedaan tafsir yang sangat tajam tentang makna karya sastra yang sama. Bagaimana kita mesti menanggapinya?
 
Para penganut paham “kematian pengarang” Barthes pasti menganggap wajar kasus bentrok tafsir ini atau bahkan meniscayakannya. Setelah Barthes (dan Derrida), makna suatu teks (karya sastra) bukanlah sesuatu yang ditanam pengarang dalam karyanya, melainkan diproduksi oleh pembaca melalui praktik pembacaan. Produktivitas teks inilah yang membuka kemajemukan tafsir karena tafsir yang berbeda-beda dari setiap pembaca niscaya merupakan bagian integral dari produksi makna teks. Suatu teks tidak pernah bermakna tunggal dan tidak ada satu makna yang dapat diklaim paling benar atau lebih benar daripada makna lain.
 
Namun, terlepas dari filosofi Barthesian atau Derridaian yang merayakan pluralitas makna, rasanya ada yang meresahkan dalam kasus bentrok tafsir cerpen tragedi 1965 antara Yoseph dan Wijaya. Pasalnya, perbedaan tafsir mereka memiliki efek etis. Tragedi 1965 adalah petaka kemanusiaan mahadahsyat yang meminta begitu banyak korban manusia dan dampak buruknya terasakan sampai hari ini. Secara tidak langsung tafsir Yoseph meletakkan para sastrawan penulis cerita tragis itu di barisan “pahlawan kemanusiaan”, sedangkan tafsir Wijaya menaruh mereka di deretan “penjahat kemanusiaan”. Situasinya lebih merisaukan lagi jika kita ingat bahwa kini para pengarang tersebut telah “tiada”, dalam arti wafat atau tidak kedengaran lagi gaungnya, dan cerpen mereka pun sulit diakses publik. Untuk menambah masalah, baiklah kita ingat juga bahwa baik Yoseph maupun Wijaya adalah pendidik sehingga berpotensi mengajarkan “kebenaran” tafsir masing-masing yang berseberangan itu kepada anak didik.
 
Kasus bentrok tafsir Yoseph versus Wijaya secara dramatis menunjukkan bahwa kajian akademis yang menelaah karya sastra, tanpa menyelidiki riwayat pengarang, ternyata berpotensi menerakan moralitas tertentu pada pengarang. Mungkin kalangan akademis perlu memikirkan kembali model kajian sastra “politis”, seperti yang diterapkan Yoseph dan Wijaya, dan konsekuensi moral-etisnya.
 
Mungkin Yoseph dan Wijaya perlu dipertemukan dalam diskusi terbuka agar masyarakat dapat lebih arif menyikapi temuan ilmiah mereka tentang cerpen tragedi 1965. Sayang sekali, Wijaya telah berpulang ke haribaan Tuhan, hanya selang dua bulan setelah buku Yoseph terbit.
***

*) Arif Bagus Prasetyo, sastrawan kelahiran Madiun, Jawa Timur, 30 September 1971. Namanya dikenal luas sebagai penyair, kritikus sastra, dan penerjemah. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar, dan terhimpun di beberapa antologi puisi. Tahun 2018, dipercaya menjadi salah satu anggota dewan juri Kusala Sastra Khatulistiwa. http://sastra-indonesia.com/2020/05/bentrok-tafsir-dalam-kajian-akademis-sastra/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar