Thursday, June 17, 2021

KASUS POLITIK DALAM SEJARAH KESUSASTRAAN INDONESIA

Maman S. Mahayana *
Surabaya Post, 24 Okt 1993
 
Pembicaraan mengenai sejarah kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bukanlah sekadar berisi pemaparan mengenai sejumlah karya pengarang Indonesia berikut ulasan dan biodata pengarangnya, melainkan juga menyangkut berbagai hal yang melatarbelakanginya. Proses penciptaan, latar sosio-budaya, situasi sosial yang terjadi pada zamannya, peranan penerbit, reaksi masyarakat, dan hubungannya dengan politik pemerintah, merupakan masalah yang mestinya diungkapkan atau disinggung dalam pembicaraan sejarah kesusastraan. Apa yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia merupakan contoh kasus bahwa persoalan sosial-budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra, tidak dapat diabaikan begitu saja. Ternyata bahwa masalah tersebut, khasnya yang berkaitan dengan politik kolonial Belanda, sedikit-banyaknya telah ikut mewarnai “bahkan menentukan” perjalanan kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya hingga dewasa ini.
 
Adanya kaitan yang erat antara sastra dan politik yang lalu menimbulkan berbagai reaksi, sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Masalahnya, karya sastra diciptakan oleh pengarang selaku anggota masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada norma yang harus dipatuhi anggotanya. Jika ada pelanggaran terhadap norma itu, maka masyarakat atau pemerintah akan menjatuhkan sanksi. Jadi, manakala terjadi konflik antara isi karya sastra dengan norma masyarakat, saat itulah akan timbul reaksi. Sampai kapan pun dan di mana pun juga, kesusastraan akan menghadapi persoalan-persoalan seperti itu. Kasus yang menimpa Madame Bovary karya Gustave Flaubert, misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa karya sastra tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kehidupan sosial politik zamannya. Kasus novel Salman Rusdhie, Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) merupakan contoh betapa hubungan sastra dan norma masyarakat (agama), acap kali menimbulkan masalah sosial-politik.
***
 
Hubungan kesusastaan dan politik dalam sejarah perjalanan kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bermula justru sebelum Balai Pustaka lahir. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Tirto Adisuryo, serta karya-karya pengarang peranakan, baik peranakan Cina maupun Indo-Belanda, sebenarnya termasuk ke dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Pemerintah kolonial Belanda waktu itu menganggap bahwa karya-karya mereka -terutama karya pengarang yang secara jelas menyuarakan aspirasi politik tertentu, seperti Semaun, Mas Marco, dan Tirto Adisuryo- dapat berakibat buruk pada kehidupan kemasyarakatan waktu itu. Oleh karena itu, pemerintah Belanda menyebut karya-karya mereka sebagai “bacaan liar” yang dikarang oleh para “agitator” dan diterbitkan oleh para penerbit yang “tidak bertanggung jawab dan tidak suci hatinya.”
 
Kasus tersebut jelas memperlihatkan bahwa hubungan politik dan sastra pada masa itu telah menyebabkan pemerintah Belanda merasa perlu mendirikan Balai Pustaka. Jadi, kelahirannya lebih banyak dilatarbelakangi oleh masalah politik waktu itu. Oleh karena itu, seyogyanya pembicaraan mengenai awal lahirnya kesusastraan Indonesia, mesti mengungkapkan juga karya-karya yang terbit sebelum Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.
 
Masalahnya menjadi jelas apabila kita menghubungkannya dengan kebijaksanaan kolonial Belanda. Seperti telah disebutkan, salah satu alasan berdirinya Balai Pustaka adalah untuk membendung pengaruh bacaan yang berisi propaganda politik yang diterbitkan pihak swasta. Dalam hal ini, Balai Pustaka hendak dimanfaatkan untuk kepentingan pihak Belanda di tanah jajahan. Dengan demikian, karya-karya yang diterbitkannya, sudah tentu harus sejalan dengan kebijaksanaan kolonial. Keadaan tersebut dengan sendirinya ikut pula mempengaruhi isi karya yang diterbitkan oleh lembaga itu.
 
Sedikitnya ada tiga novel Indonesia yang terbit sebelum perang yang dapat kita jadikan semacam contoh adanya hubungan yang erat antara kesusastraan dan politik.
 
Pertama, novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Jamil Bakar, dan kawan-kawan (1985), Syafi’i St. Rajo Batuah (1964), B.S. (1954), dan Bakir Siregar (1964) menyebutkan bahwa novel Salah Asuhan sedikitnya telah mengalami dua kali “revisi” yang justru mengubah makna dan amanat novel itu secara keseluruhan. Disebutkan bahwa dalam naskah aslinya, Corrie adalah Indo-Belanda bukan Indo-Prancis. Demikian juga, pecahnya hubungan Hanafi dan Corrie sebenarnya akibat sikap Corrie yang terlalu mengumbar keseronokan dan sering berhubungan dengan lelaki lain, sehingga Hanafi tidak tahan dengan kelakuan istrinya. Akibat perbuatan itu, Corrie akhirnya mati ditembak seorang pelaut ketika ia baru saja berhubungan gelap dengan lelaki pelaut itu. Dalam naskah pertama, konon Corrie mati akibat penyakit kelamin.
 
Dengan adanya perubahan tersebut, maka citra Corrie sebagai wanita Indo-Prancis dipandang tidak akan mempengaruhi citra wanita Belanda. Apalagi gambaran Corrie dalam novel itu sama sekali tidak mengesankan sebagai wanita “nakal”. Sebaliknya, Hanafi justru tampil sebagai sosok pemuda angkuh yang tidak mau menghormati tradisi leluhurnya.
 
Kedua, novel Di Luar Garis (Buiten het Gareel) (1941)) karya Suwarsih Djojopuspito. Novel yang kemudian diterbitkan Penerbit Djambatan (1975) berjudul Manusia Bebas itu sebenarnya selesai ditulis naskahnya dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, tetapi kemudian ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisma. Baru pada tahun 1941, novel itu diterbitkan di Utrecht, Belanda dengan kata pengantar diberikan oleh E. Du Perron, berjudul Buiten het Gareel.
 
Kasus ini juga mengisyaratkan bahwa terbit tidaknya sebuah karya sastra sering dihubungkaitkan dengan persoalan politik. Hal yang hampir sama, juga terjadi pada novel Belenggu (1940) karya Armijn Pane. Novel ini juga ditolak Balai Pustaka karena isinya dipandang tidak sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Novel ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat dengan menyertakan beberapa tanggapan pembaca atas novel tersebut yang menyangkut dua hal. Pertama, ceritanya tidak dapat diterima akal; kedua, ceritanya dianggap tidak bermoral, bertentangan dengan susila bangsa Indonesia.
 
Dalam konteks hubungan sastra dan politik, kita juga dapat menengok jauh ke belakang pada karya-karya sastra keagamaan. Konflik ideologi antara Nurrudin ar-Raniri yang menentang Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dibakar dan dimusnahkan. Bahkan lebih daripada itu, konflik tersebut telah membawa tragedi berdarah.
***
 
Selepas merdeka, kesusastraan Indonesia banyak mengalami gejolak yang justru ditimbulkan lantaran masalah politik masuk ke dalam wilayah kesusastraan; atau sebaliknya, manakala kesusastraan akan ditingkahi oleh berbagai gejolak.
 
Tahun 1960-an, misalnya, kesusastraan Indonesia memasuki zaman “kekacauan” dalam pengertian tidak adanya ukuran atau kriteria yang jelas untuk menentukan karya sastra yang baik. Adanya pengkotak-kotakan golongan sastrawan, antara lain, Lekra dan Lesbumi, merupakan tanda betapa dunia kesenian, khususnya kesusastraan, pada masa itu diwarnai oleh kepentingan ideologi tertentu. Pengkotak-kotakan ini juga tidak hanya mencerminkan telah terjadinya perpecahan dalam kehidupan berkesenian di Indonesia, tetapi juga mempertegas adanya tarik-menarik kepentingan dan pengaruh-pengaruh kelompok tertentu.
 
Kemudian peristiwa Manifes Kebudayaan yang ditandatangani di Jakarta tanggal 17 Agustus 1963, dan disiarkan dalam lembaran budaya Berita Republik 19 Oktober 1963 dan dalam Majalah Sastra, September-Oktober 1963, merupakan contoh lain dari reaksi adanya hubungan sastra dan politik. Tanggal 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Para penandatanganannya dinyatakan telah bertindak tidak sejalan dengan semangat revolusi.
***
 
Selepas pecah pemberontakan PKI 1965, kehidupan politik Indonesia memasuki babak baru. Tetapi kehidupan kesusastraan Indonesia masih belum sepenuhnya dapat dipahami sebagai karya kreatif imajinatif. Atau ukuran norma masyarakat tidak jarang sangat menentukan keberadaan karya sastra.
 
Kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin merupakan contoh betapa masalah sosial politik masih saja mewarnai perjalanan kehidupan kesusastraan Indonesia. Cerpen yang dimuat Majalah Sastra, Agustus 1968 telah menyeret H.B. Jassin sebagai penanggung jawab majalah itu berhadapan dengan pihak pengadilan. Dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia, masalah hubungan agama dan kesusastraan tidak jarang pula menjadi masalah yang amat rawan.
 
Begitulah perjalanan kesusastraan Indonesia ternyata tidak pernah sepi dari masalah-masalah sosial politik. Pelarangan novel empat serangkai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh lain, bahwa masalah politik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kesusastraan dan kesenian pada umumnya.
 
Keadaan tersebut ternyata telah membuat sejunlah penerbit mempertimbangkan berbagai kemungkinan adanya cekal (cegah tangkal) dari pihak pemerintah. Sekadar menyebut beberapa kasus, dapat dikemukakan di sini perubahan nama tokoh dalam novel Kubah (1980), hilangnya sekitar 25-an halaman naskah dalam Jantera Bianglala (1986), keduanya karya Ahmad Tohari serta hilangnya beberapa bagian dalam novel Warisan (1979) karya Chairul Harun. Demikianlah sekilas perjalanan kesusastraan Indonesia dalam hubungannya dengan masalah politik yang sering menimbrunginya. Sangat boleh jadi, persoalan ini akan terus berlanjut sampai entah kapan, makala muncul karya sastra atau karya apapun yang dianggap bertentangan dengan norma masyarakat dan politik pemerintah.
 
Masalahnya kini, bagaimana pengarang kita mampu menyiasati dan menyembunyikan amanatnya sedemikian rupa, sehingga kritik sosial yang disampaikannya begitu rapi. Pengarang-pengarang besar umumnya mampu melakukan itu, betapapun karyanya berisi kritik sosial yang amat pedas. Jadi, masalah sebenarnya bergantung pada kepiawaian dan kecendekiaan sastrawannya sendiri, bagaimana memanfaatkan licentia poetica atau kebebasan kreatifnya menjadi karya yang sarat makna, sehingga pembaca memakainya dengan berbagai tafsiran.
***

http://sastra-indonesia.com/2008/12/kasus-politik-dalam-sejarah-kesusastraan-indonesia/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar