Thursday, May 6, 2021

WAYANG BEBER HANYA ADA DI DAERAH PEGUNUNGAN

; “Pusaka Budaya” Peninggalan Zaman Majapahit
 
Sarworo Sp, Joko Budhiarto
kr.co.id
 
WAYANG beber merupakan seni pertunjukan tradisional yang dapat dikategorikan kurang populer dan publiknya sangat terbatas. Secara umum, wayang beber termasuk jenis seni pertunjukan tradisional yang fenomenal. Pertama, jenis wayang tersebut termasuk peninggalan budaya yang telah berusia tua, karena pusaka budaya ini merupakan peninggalan zaman Majapahit. Kedua, jenis wayang ini hanya ditemukan di daerah pegunungan Jawa bagian tengah dan selatan, khususnya di Gunungkidul (DIY) dan Pacitan (Jawa Timur).
 
Nasib serupa juga dialami kesenian Dhalang Jemblung (Banyumas Jawa Tengah) dan Kentrung (Blora Jawa Tengah). Seni pertunjukan langka ini jarang dipentaskan dan kurang populer. Praktisi seni yang mampu memainkan atau mementaskannya sangat terbatas, publik yang bisa mengapresiasinya juga relatif terbatas.
 
Kondisi wayang beber, kentrung dan dhalang jemblung, memang sangat kontras bila dibandingkan kesenian tradisional lainnya, seperti wayang kulit purwa, ketoprak, dan ludruk. Selama ini, wayang beber hanya diulas sepintas dalam literatur pewayangan. Salah satunya adalah, karya budayawan Jawa RM Sayid dari Surakarta, berupa buku tipis terbitan tahun 1980-an dan hanya dicetak stensil.
 
Di Karangmojo Gunungkidul dan di Pacitan Jawa Timur, keberadaan wayang beber masih dianggap benda keramat. Bila hendak dipentaskan, serangkaian upacara harus diadakan, dengan segenap sesaji dan ubarampe. Demi menjaga kelestariannya, setiap saat jenis wayang tadi harus “dibersihkan” dan dirawat dengan disertai upacara tradisi. Saat ini juga sangat jarang orang yang nanggap wayang beber. Padahal jenis wayang ini termasuk pusaka budaya yang “dikeramatkan”.
 
Berbeda dengan wayang kulit purwa yang ceritanya bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana, dengan segenap cerita carangan-nya, wayang beber hanya membeber cerita Panji. Oleh karena itu kadang-kadang jenis wayang ini juga dinamakan wayang beber gedhog. Yakni jenis wayang yang ceritanya bersumber dari cerita Panji, bisa berupa wayang golek, wayang dari kulit maupun wayang dari kayu.
 
Dalam khazanah sastra Jawa, cerita Panji termasuk jenis cerita yang lahir dan berkembang di era sastra Jawa Pertengahan, yakni karya sastra Jawa yang diciptakan pada zaman Majapahit. Jenis cerita ini tidak hanya tersebar di Jawa, Madura, Bali dan Lombok, melainkan juga sampai di wilayah Melayu (Palembang, Jambi dan Riau), bahkan sampai ke Semenanjung Melayu (Malaysia).
***
 
SEJARAH kelahiran wayang beber memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kerajaan Majapahit. Wayang jenis ini dikenal pertama kali pada masa Majapahit, tepatnya saat kerajaan di Bumi Trowulan itu dipimpin Raden Jaka Susuruh. Raja ini bergelar Prabu Bratana. Hal itu ditunjukkan dengan candrasengkala pembuatan wayang beber pada masa itu, yakni gunaning bhujangga sembahing dewa, yang menunjukkan tahun Saka 1283 (1361 M).
 
Saat itu wayang beber masih mengambil cerita wayang purwa. Bentuk wayang beber purwa sudah seperti yang ditemukan sekarang, yakni dilukis di atas kertas. Ketika dipergelarkan, kertas berlukiskan wayang tersebut digelar (Jawa: dibeber), dan bila sudah selesai digulung kembali untuk disimpan.
 
Pada zaman Majapahit, pergelaran wayang beber purwa di lingkungan istana sudah menggunakan iringan gamelan. Sementara pertunjukan wayang beber di luar istana, tepatnya di lingkungan masyarakat biasa, hanya diiringi rebab (alat musik gesek khas Jawa). Di lingkungan kraton, pertunjukan wayang beber diadakan dalam rangka acara-acara khusus, seperti ulang tahun raja, perkawinan putra-putri raja dan sebagainya. Sementara di tengah-tengah rakyat kebanyakan, pergelaran wayang beber di masa itu diadakan untuk kepentingan ritual, seperti ruwatan.
 
Saat Majapahit diperintah Prabu Brawijaya, tepatnya tahun 1378, bentuk wayang beber mengalami penyempurnaan. Brawijaya termasuk raja yang memiliki perhatian besar terhadap wayang beber. Ia memerintahkan kepada salah satu anaknya yang memiliki kepandaian melukis, yakni Raden Sungging Prabangkara, untuk menyempurnakan penampilan wayang beber. Lukisan wayang yang semula hanya hitam putih, oleh Sungging Prabangkara dibuat menjadi berwarna, sehingga penampilan wayang beber menjadi lebih hidup dan menarik. Proses penyempurnaan wayang beber ini terjadi tahun 1378 Masehi.
 
Wayang beber yang mengambil cerita Panji diperkirakan baru muncul pada zaman Mataram (Islam), tepatnya pada masa pemerintahan Kasunanan Kartasura. Kala itu raja yang memerintah adalah Amangkurat II (1677-1703). Hal itu juga disebutkan dalam salah satu tembang Kinanthi yang ada di Serat Centhini (lihat ilustrasi).
 
Wayang beber di zaman Mataram Kartasura dibuat dari kertas lokal, yakni kertas Jawa dari Ponorogo. Cerita yang ditampilkan antara lain Jaka Kembang Kuning, salah satu episode cerita Panji. Kemudian pada masa pemerintahan Amangkurat III atau Sunan Mas, dilakukan penyempurnaan lagi terhadap lukisan wayang beber. Wajah dan pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh utama, seperti Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana, disesuaikan dengan penampilan Arjuna dan tokoh perempuan yang cantik sebagaimana tokoh-tokoh wayang purwa.
 
Selanjutnya para era pemerintahan Sunan Paku Buwono II lukisan wayang beber diubah lagi, terutama pada ilustrasi yang melatarbelakangi penampilan tokoh. Ilustrasi yang ada dikurangi dan disederhanakan, sehingga penampilan wayang beber menjadi lebih klasik dan tidak rumit. Sosok tokoh menjadi kelihatan menonjol. Kisah cinta Panji Asmarabangun, oleh Paku Buwono II dibuat menjadi lakon Remeng Mangunjaya.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/06/wayang-beber-hanya-ada-di-daerah-pegunungan/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar