Thursday, May 6, 2021

Bahasa Daerah, Karya Sastra, Amnesia

Ahmad Syubbanuddin Alwy
cetak.kompas.com
 
Setiap bahasa-sebutlah bahasa Sunda, Jawa, Batak, Belanda, dan lain-lain-adalah produk pengalaman sejarah yang terpisah. Ia merupakan produk organisasi-organisasi masyarakat, sastra, spesialisasi budaya, dan pandangan-pandangan metafisik. (Prof Benedict Anderson)
 
Susastra atau kesusastraan merupakan bagian penting dari implementasi salah satu unsur eksploratif bahasa, dalam konteks bahasa mana pun. Tak terelakkan juga, kelak susastra menjadi instrumen pergumulan proses kreatif dari mana bahasa itu tumbuh sekaligus dikembangkan. Kehadiran karya-karya sastra di situ kemudian menandai berbagai aktivitas penciptaan gagasan ataupun pencapaian artistik para pengguna bahasa. Dalam perspektif ini, teks karya sastra menegaskan eksistensi bahasa yang mempertemukan interaksi teks dari sosial, politik, budaya, tradisi, hingga religiositas serta representasi sejumlah tafsir terhadap perubahan zaman.
 
Karya sastra berbahasa daerah tidak saja berfungsi serta berposisi sebagai wilayah dialektis yang mengukuhkan energi tekstual dengan realitas teks-teks di luar dirinya. Namun, kehadiran genre karya sastra ini juga merupakan transformasi dari konstruksi pemikiran yang meletakkan bahasa “berkuasa” mengantarkan ide-ide lebih bermakna. Bagaimana bahasa masih menyisakan percik kekuatan nalar serta memori latar sosial yang dibawanya dan karena itu tidak hanya berdiri menjadi konfigurasi estetika kata-kata?
 
Bahasa daerah
 
Fenomena bahasa daerah, terlebih karya sastranya, kini berhadapan dengan realitas publik yang serba terbatas. Bahasa Cirebon, juga rumpun dialek-idioleknya, misalnya, dihidupkan dengan mengikuti jejak “selera massa” yang dibentuk secara pragmatis dalam genjrang- genjreng kemasan musik. Peran sosialnya sebagai teks bercampur begitu rupa dengan bahasa Indonesia, melengkapi harmoni syair-syair dan lagu dangdut pesisiran itu, terkadang dengan simplifikasi seolah tidak diketahui padanan katanya.
 
Bahasa dan karya sastra Cirebon tidak lagi berfungsi secara literal sebagai gugusan teks yang independen, tetapi juga berdesakan dan berhamburan keluar dari koridor teks-teks bacaan, beralih ke khazanah nonliteral, merayakan booming industri hiburan semata.
 
Di tengah ingar-bingar kapitalisasi budaya massa sekarang ini, perlahan-lahan bahasa Cirebon, seperti bahasa daerah lain yang kehilangan otoritas publiknya, menjadi teks yang terkesan sangat eksklusif. Bagaimana bahasa dan karya sastra yang semula mampu mendistribusikan makna dan wacana sosialnya tampak dinegasikan? Bahasa daerah, sekali lagi bahasa Cirebon, dengan artikulasi unsur-unsur lokalitas, semestinya dapat membentuk gagasan lebih luas. Namun, kenyataannya, bahasa itu justru telah mengalami pergeseran berbagai orientasi secara acak. Masyarakat Cirebon yang caruban (campuran), berada di antara pusaran arus geokultural Sunda dan Jawa, dan terbuka terhadap penetrasi kebudayaan dari arah mana pun.
 
Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini, adakah karya sastra yang ditulis dalam format bahasa daerah, dalam konteks ini bahasa Cirebon, mampu merefleksikan berbagai pemikiran yang mendeskripsikan kekuatan unsur-unsur tekstualitas suatu momentum sosial publik para pembacanya? Adakah bahasa Cirebon dalam konteks itu berhasil menjembatani tradisi kelisanan memasuki gerbang keberaksaraan di mana kesadaran berbahasa daerah ditumbuhkan dan dengan begitu kelak berkembang dalam ekspresi ruang akademis? Ruang menyempit
 
Puluhan bahasa daerah kita memang menghadapi situasi sosial, politik, dan budaya yang sama, yaitu terseret dalam entakan globalisasi budaya instan. Bahasa-bahasa daerah itu mengalami reduksi dan perlahan-lahan ditinggalkan penuturnya dalam lingkup pergaulan ataupun mekanisme sosial bahasa tersebut berasal. Agaknya, melalui ketaksadaran semantik-linguistik, bahasa itu digantikan dengan bahasa yang didesakkan secara visual dalam mobilisasi sistem teknologi kapitalisme yang datang kemudian. Bahasa daerah itu, terlebih karya sastranya, dinisbikan. Para penutur bahasa daerah sendiri merasakan ruang komunikasi yang semakin menyempit.
 
Mula-mula para penutur bahasa daerah dihinggapi sikap rendah diri. Penggunaan bahasa daerah dalam momentum tertentu tidak lagi menandai sistem sosial yang padu dan berkesinambungan. Akan tetapi, hal itu menghadapkan sikap perlawanan yang oleh beberapa lapisan masyarakat dikesankan kampungan, menjauhkan diri dari sistem pergaulan masyarakat kota yang secara simbolik beradaptasi dengan penggunaan bahasa dalam pencanggihan produk kapitalisme. Bahasa bukan lagi alat komunikasi an sich, melainkan cara pandang yang mendikotomisasi spirit berbahasa memasuki lorong gelap interpretasi. Ironisnya, secara masif hal itu seakan dilegitimasi.
 
Dengan kata lain, bahasa daerah seperti kehilangan dimensinya sebagai mata rantai dalam siklus kebudayaan yang menyusun kekuatan akar, latar, dan nalarnya sendiri. Kita agaknya telanjur mengabaikan betapa bahasa daerah demikian strategis dalam konteks kehidupan global sekarang ini. Justru karena bahasa daerah telah menandai bagaimana semakin terpinggirkannya kebudayaan lokal, ia masih memberikan spirit untuk menyelam ke dasar sumur sejarah yang menjadi kesadaran serta keteguhan kita menghikmati eksplorasi sosialnya ke depan.
 
Ia bukan sekadar akumulasi dari endapan peristiwa yang kehilangan memori dan momentum sejarah yang melahirkannya. Ia juga bukan sebentuk amnesia. Ia bukan pula sekumpulan luka yang menyurutkan kita, masyarakat dari berbagai penjuru negeri ini, takluk serta bertekuk lutut menghadapi gagap budaya (culture shock) di hamparan kehidupan yang sangat terbuka.
 
Titik orientasi Lomba Maca Puisi Basa Cerbon 3 di Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang, Cirebon, 24-25 Februari 2010, yang diselenggarakan Yayasan Dewan Kesenian Cirebon dan Lingkar Studi Sastra bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat serta Pemerintah Kabupaten/Kota Cirebon menyodorkan ruang alternatif yang membuka bahasa daerah untuk diapresiasi.
 
Dalam konteks luas, hal itu telah meyakinkan kami, para penyelenggara, kembali menghidupkan solidaritas sosial, kearifan lokal, dan keberagaman kultural yang mengantarkan bangsa ini dapat berdiri dan berdampingan dengan bahasa-bahasa lain di belahan dunia. Bahasa yang menggoreskan limpahan cahaya, mencerahkan publiknya, dan menyusun transformasi kebudayaan yang kian kompleks.
***

*) AHMAD SYUBBANUDDIN ALWY Penyair, Tinggal di Cirebon. http://sastra-indonesia.com/2010/06/bahasa-daerah-karya-sastra-amnesia/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar