Monday, May 10, 2021

Romo Mangun dalam Kacamata Saya yang Tebal

Bernando J. Sujibto *
 
SASTRA humanistik yang berakar kepada konteks kehidupan akar rumput, sebuah upaya berkesenian yang kembali kepada fitrahnya (baca: littérature engagée), meminjam istilah Jean-Paul Sartre (Paris, 21 Juni 1905 – id. 15 April 1980), sastrawan eksistensialis Prancis, akan dengan mudah ditemukan dalam diri sosok sastrawan-novelis Y.B. Mangunwijaya. Posisi kesastrawanannya—dengan bergerak di ranah novel—menjadi media dalam melakukan refleksi tajam dan implementasi ruh kemanusiaan ke dalam kehidupan bersama rakyat kecil (wong cilik: Jawa) sehari-hari. Jadi tidak aneh jika hampir seluruh hidupnya selalu ditemukan di antara para gelandangan dan anak jalanan di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah, tempat paling banyak dihabiskannya untuk bekerja dalam panggilan kemanusiaan.
 
Sosok Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) telah menjadi saksi sejarah bukan hanya untuk masyarakat Yogyakarta (baca: Jawa) tetapi bagi segenap bangsa Indonesia. Beliau telah melaksanakan misi kemanusiaan dengan gigih. Hari meninggalnya Romo Mangun, sapaan akrab sosok bersehaja yang pernah dimiliki bangsa ini, pada 10 Februari 2008 menjadi penting dihadirkan kembali di tengah kondisi bangsa dan negara yang kian rapuh dan tragis dengan persoalan-persoalan laten.
 
Di samping itu, Romo Mangun juga menjadi sosok ‘kebangkitan’ bangsa di tengah seabad Kebangkitan Nasional (1908-2008), sebuah momen yang dicita-citakannya menjadi semangat baru bagi kaum muda bangkit dan berjuang untuk bangsa ini.
 
Pejuang kemanusiaan bernama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini lahir di Ambaraawa, Semarang 6 Mei 1929 dan meninggal dunia di Jakarta, Rabu (10/02/1999) pukul 14.15 WIB. Predikat lain yang mendukung tersohornya Romo Mangun adalah sebagai budayawan, arsitek, penulis, dan rohaniwan. Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah ini juga dikenal sebagai ikon penulis novel berlatar sejarah dalam konteks Jawa dengan wahana kebudayannya. Hal itu dibuktikan dengan dua novel magnum opus-nya yaitu Burung-burung Manyar (1982) (mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996) dan novel triloginya Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1987).
 
Semangat pro-rakyat Romo Mangun terbangun sejak ia menjadi anggota Tentara Pelajar (TP) yang berjuang melawan penjajah. Di samping titisan darah sang Ayah yang menjadi DPRD Magelang pada masa revolusi fisik, spirit humanisme Romo Mangun tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan rakyat kecil yang malang melintang dalam kehidupan kesehariannya.
 
Kedekatan Romo Mangun dengan rakyat kecil (wong cilik/grass roots) ditunjukkan dalam aktivitas kesehariannya seperti ketika dia membela nasib rakyat yang menjadi korban pembangunan waduk Kedungombo, Jawa Tengah, serta memperjuangkan nasib penduduk miskin di pinggiran kali Code, Yogyakarta.
 
Berkat perjuangannya bersama wong cilik di kali Code—dengan merancang pemukiman sepanjang tepi sungai itu—anak sulung dari 12 bersudara ini mendapatkan anugerah Aga Khan Award, penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, yang meneguhkannya sebagai Bapak arsitektur modern Indonesia.
 
Secara prinsipil ruh perjuangan sang Romo dapat ditemukan dalam Roro Mendut, novel tetralogi yang semkain meneguhkan konteks perjuangannya setelah novel Burung-burung Manyar. Representasi Roro Mendut, cerita rakyat Jawa berlatar abad 17-an, merupakan ranah gender yang menjadi persoalan rentan kemanusiaan di masa-masa penjajahan itu, di mana perempuan selalu menjadi korban kehidupan kemanusiaan waktu itu.
 
Keberanian Roro Mendut (perempuan molek yang tak ayal menjadi pusat mata para tentara Belanda dan petinggi kaum Pribumi) dalam menentukan masa depan dan pilihan hidupnya mempunyai nuansa pencerahan setidaknya dalam konteks itu. Mendut rela menderita mempertahankan cinta pilihannya sendiri dari pada menerima Wiroguno, lelaki kuat dan penguasa masa itu.
 
Kebebasan memilih hidup itulah yang menjadi warna dominan dalam novel yang mengajarakan tentang landasan nilai bagi kebebasan manusia (L’homme est condamné à être libre) untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
 
Kebangkitan
 
Namun, dalam seperempat akhir hayatnya Romo Mangun dihadapkan dan tersadarkan dengan kondisi kebangsaan yang terus merapuh. Semua itu ia suarakan dalam esai-esainya. Konteks kebangsaan yang menjadi perhatian dalam masa akhir-akhir karirnya sebenarnya sudah menjadi darah kehidupan sang Romo semenjak dia menjadi pembela tanah air dengan menjadi salah satu anggota TP di Jawa Tengah. Panggilan hidupnya yang semakin luhur itu menjadi renungan penting dalam konteks kehidupan kali ini.
 
Melalui tulisan esai-esainya yang tajam terutama masalah kebangkitan generasi muda dengan wawasan kebangsaannya yang berpijak kepada demokrasi yang konsisten, seperti diungkapkan oleh Catherine Mills, salah satu penulis tesis dengan mengangkat sipak terjang Romo Mangun di Curtin University, Perth, Australia, Romo Mangun selalu mengajak generasi bangsa Indonesia kembali merilis ulang spirit perjuangan yang telah dibuktikan oleh kaum muda pada masa penjajahan demi memperuangkan tanah airnya.
 
Dalam salah satu refleksi kritisnya tentang masa depan bangsa Romo Mangun menuliskan ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (Y.B. Mangunwijaya, 1999: 7). Ia merepresentasikan simbol tahun-tahun di atas bukan sebuah omong kosong. Karena bagi yang sadar sejarah, simbol angka di atas, khususnya 2028 dan 2045, adalah titik pijakan—atau embrio gerakan kebangkitan nasional—bagi bangsa Indonesia sehingga bisa terbebas dari “ketakutan-ketakutan” akibat penjajahan. Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan 1945) telah melahirkan spirit Indonesia baru yang gemilang.
 
Hasil renungan tajam dan mendalam Romo Mangun tersebut adalah kado spesial buat generasi muda demi menyongsong tahun 2045, di mana Indonesia memasuki seabad HUT kemerdekaan yang diimpikan Romo Mangun kita (semua bangsa Indonesia) dapat memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan, bebas dari ketakutan-ketakutan.
 
Kesadaran demikian tumbuh dan berkembang dari kultur dan tradisi Jawa yang kuat dalam kehidupan Romo Mangun. Ia seolah meneruskan spirit pemuda Boedi Oetomo (BO). Pendekatan kultur-budaya hingga lahir kesadaran ‘menjadi satu bangsa’ dilakukan oleh pendiri BO Dr. Radjiman dalam menggalang rasa kebangsaan yang berlandaskan kepada pola budaya tradisional. Sebagaimana disinyalir Robert Van Niel dalam tulisannya berjudul The Course of Indonesian History, pada awalnya tujuan mendirikan BO adalah mengembangkan kebudayaan Jawa (to promote Javanese cultural ideals). Tetapi pada gilirannya langkah BO telah menggugah spirit nasionalisme kepada semua rakyat Indonesia yang terkapar di bawah penjajah waktu itu. Latar belakang kearifan budaya lokal (Jawa) menjadi sarana Romo Mangun dalam menafsir wawasan nasionalisme dan demokrasi sejati bagi bangsa dan negara.
 
Berhubungan dengan isu Kebangkitan Nasional di atas menarik membaca ulang analisis yang ditandaskan oleh Sri Sultan HB X tentang seabad Kebangkitan Nasional, ihwal simbol tahun 2008 yang genap 100 tahun menjadi momen Kebangkitan Nasional, sekaligus 80 tahun Soempah Pemoeda dan bertepatan dengan 10 tahun reformasi yang secara resultantif, tahun 2008 seharusnya menjadi momen penting bagi pemuda untuk memprakarsai sebuah kebangkitan baru. Jika momen 1908 menyemaikan kemerdekaan, 1928 mempertegas bingkai cita-cita itu, 1945 memancang tonggak perwujudan cita-cita itu, maka pertanyaanya, momen 2008 akan menyemai apa, dan mewujudkan apa? Pertanyaan Sri Sultan HB X ini tentu harus menjadi perenungan panjang yang menuntut kesolidan sosok generasi muda bangsa yang cakap dan mumpuni dalam semua lini kehidupan yang sedang dibutuhkan dalam membangun masa depan bangsa dan negara.
 
Cita-cita Romo Mangun buat pemuda dan juga ‘kado’ dari sang Sultan di atas akan menjadi ironi yang menggodam ketika dihadapkan dengan realitas kehidupan generasi penerus bangsa yang cenderung rejuvenasi dan mengalami degradasi secara total—mencerminkan generasi sakit dan lumpuh seperti fenomena akhir-akhir ini!
 
(06-02-08)
 
*) Bernando J. Sujibto lahir di Sumenep, 24 Februari 1986. Menulis puisi, esai, cerpen, artikel dan resensi di berbagai media massa lokal dan nasional. Karya-karyanya dapat ditemukan dalam beberapa antologi bersama. Aktif di sejumlah komunitas seperti Komunitas Kutub dan Teater ESKA UIN Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi sarjananya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Selcuk, Turki. Saat ini ia tercatat sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: Aku Mendengarmu, Istanbul (Diva Press, 2018), Harun Yahya Undercover (Ircisod, 2018), Turki Yang Tak Kalian Kenal! (Ircisos, 2017), Seribu Warna Turkiye (Ircisod, 2018), dan Rumbalara Perjalanan: Kumpulan Puisi (Diva Press, 2017). http://sastra-indonesia.com/2008/09/romo-mangun-dalam-kacamata-saya-yang-tebal/

No comments:

Post a Comment

A Kholiq Arif A. Anzieb A. Muttaqin A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A'yat Khalili Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Kirno Tanda Abdullah Harahap Acep Zamzam Noor Adi Toha Adrian Balu Afri Meldam Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Dermawan T. Agus Hernawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agusri Junaidi Ahid Hidayat Ahmad Baedowi Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Khadafi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Ali Audah Alunk Estohank Amien Kamil Amien Wangsitalaja Amir Hamzah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andi Achdian Andra Nur Oktaviani Anindita S Thayf Anton Kurnia Anton Kurniawan Apresiasi Sastra (APSAS) Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Aryadi Mellas AS Laksana Asarpin Asep Sambodja Asrul Sani Astree Hawa Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Ngashim Badaruddin Amir Balada Bambang Darto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Berita Berita Duka Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Budi Darma Bustan Basir Maras Cak Sariban Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Christine Hakim Cinta Laura Kiehl Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Dandy Bayu Bramasta Dani Sukma Agus Setiawan Daniel Dhakidae Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Rina Cahyani Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dick Hartoko Djajus Pete Djoko Pitono Djoko Saryono Donny Anggoro Dwi Fitria Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Eduard Tambunan Edy Firmansyah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Faizin Eko Nuryono Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Endang Susanti Rustamadji Erwin Setia Esai Esha Tegar Putra Evi Idawati Evi Sukaesih F. Rahardi Fadhila Ramadhona Fadly Rahman Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Faisal Fathur Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Farid Gaban Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Fina Sato Fitri Franz Kafka Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Hairus Salim Hamdy Salad Happy Salma Hardi Hamzah Hardjono WS Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasif Amini HB Jassin Hendy Pratama Henry Nurcahyo Herman Syahara Hernadi Tanzil Heru Nugroho Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur I Gusti Ngurah Made Agung Iberamsyah Barbary Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idrus Ignas Kleden Ilham Imam Muhayat Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imelda Bachtiar Imron Rosyid Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indria Pamuhapsari Indrian Koto Inung AS Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS Iva Titin Shovia Iwan Nurdaya-Djafar Iwan Simatupang Jabbar Abdullah Jakob Oetama Jakob Sumardjo Jalaluddin Rakhmat Jaleswari Pramodhawardani James Joyce Jansen H. Sinamo Januardi Husin Jauhari Zailani JJ. Kusni John H. McGlynn Joko Budhiarto Joko Pinurbo Joni Ariadinata Juan Kromen Junaidi Khab Kahfie Nazaruddin Kamajaya Al. Katuuk Khansa Arifah Adila Kho Ping Hoo Khoirul Abidin Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kitab Para Malaikat Knut Hamsun Koh Young Hun Kritik Sastra Kucing Oren Kunni Masrohanti Kurniawan Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leo Tolstoy Lesbumi Yogyakarta Levi Silalahi Linda Sarmili Lukisan Lutfi Mardiansyah M Shoim Anwar M. Aan Mansyur M. Abdullah Badri M. Adnan Amal M. Faizi M.D. Atmaja Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Marianne Katoppo Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Mashuri Max Arifin MB. Wijaksana Melani Budianta Mohammad Yamin Muhammad Ainun Nadjib Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Mulyadi SA Munawir Aziz Mustamin Almandary Mustiar AR Musyafak Timur Banua Myra Sidharta Nara Ahirullah Naskah Teater Nawal el Saadawi Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurur Rokhmah Bintari Oka Rusmini Onghokham Otto Sukatno CR Pakcik Ahmad Pameran Parakitri T. Simbolon Pattimura Pentigraf Peter Handke Petrik Matanasi Pramoedya Ananta Toer Prima Sulistya Priyo Suwarno Prosa Puisi Purwanto Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya R Sutandya Yudha Khaidar R. Ng. Ronggowarsito R. Timur Budi Raja Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prabu Rama Prambudhi Dikimara Ramadhan KH Rambuana Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Raudal Tanjung Banua Raymond Samuel Reko Alum Remmy Novaris DM Remy Sylado Resensi Rey Baliate Ribut Wijoto Riduan Situmorang Rikard Diku Riki Dhamparan Putra Riri Satria Rizki Alfi Syahril Robert Adhi KS Roland Barthes Ronggowarsito Rony Agustinus Royyan Julian Rozi Kembara Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR) Rusdy Nurdiansyah Rusydi Zamzami S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safar Nurhan Sajak Samsul Anam Santi T. Sapardi Djoko Damono Sari Novita Sarworo Sp Sasti Gotama Sastra Luar Pulau Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekar Sari Indah Cahyani Selendang Sulaiman Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Setiyardi Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sobih Adnan Soegiharto Sofyan RH. Zaid Sonia Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sri Wintala Achmad Stephen Barber Subagio Sastrowardoyo Sugito Ha Es Sukron Ma’mun Sumargono SN Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani T. Sandi Situmorang Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Toeti Heraty Tri Umi Sumartyarini Ulfatin Ch Umbu Landu Paranggi Usman Arrumy Wahyu Dhyatmika Wahyu Hidayat Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wicaksono Adi Willem B Berybe WS. Rendra Y.B. Mangunwijaya Yohanes Sehandi Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusi A. Pareanom Zainal Arifin Thoha Zehan Zareez Zen Rachmat Sugito Zeynita Gibbons Zulfikar Akbar