Bernando J. Sujibto *
SASTRA humanistik yang berakar kepada konteks kehidupan akar rumput, sebuah
upaya berkesenian yang kembali kepada fitrahnya (baca: littérature engagée),
meminjam istilah Jean-Paul Sartre (Paris, 21 Juni 1905 – id. 15 April 1980),
sastrawan eksistensialis Prancis, akan dengan mudah ditemukan dalam diri sosok
sastrawan-novelis Y.B. Mangunwijaya. Posisi kesastrawanannya—dengan bergerak di
ranah novel—menjadi media dalam melakukan refleksi tajam dan implementasi ruh
kemanusiaan ke dalam kehidupan bersama rakyat kecil (wong cilik: Jawa)
sehari-hari. Jadi tidak aneh jika hampir seluruh hidupnya selalu ditemukan di
antara para gelandangan dan anak jalanan di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah,
tempat paling banyak dihabiskannya untuk bekerja dalam panggilan kemanusiaan.
Sosok Y.B. Mangunwijaya (1929-1999) telah menjadi saksi sejarah bukan hanya
untuk masyarakat Yogyakarta (baca: Jawa) tetapi bagi segenap bangsa Indonesia.
Beliau telah melaksanakan misi kemanusiaan dengan gigih. Hari meninggalnya Romo
Mangun, sapaan akrab sosok bersehaja yang pernah dimiliki bangsa ini, pada 10
Februari 2008 menjadi penting dihadirkan kembali di tengah kondisi bangsa dan
negara yang kian rapuh dan tragis dengan persoalan-persoalan laten.
Di samping itu, Romo Mangun juga menjadi sosok ‘kebangkitan’ bangsa di
tengah seabad Kebangkitan Nasional (1908-2008), sebuah momen yang
dicita-citakannya menjadi semangat baru bagi kaum muda bangkit dan berjuang
untuk bangsa ini.
Pejuang kemanusiaan bernama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya ini lahir
di Ambaraawa, Semarang 6 Mei 1929 dan meninggal dunia di Jakarta, Rabu
(10/02/1999) pukul 14.15 WIB. Predikat lain yang mendukung tersohornya Romo
Mangun adalah sebagai budayawan, arsitek, penulis, dan rohaniwan. Anak sulung
dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah
ini juga dikenal sebagai ikon penulis novel berlatar sejarah dalam konteks Jawa
dengan wahana kebudayannya. Hal itu dibuktikan dengan dua novel magnum opus-nya
yaitu Burung-burung Manyar (1982) (mendapatkan penghargaan sastra se-Asia
Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996) dan novel triloginya Roro Mendut,
Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1987).
Semangat pro-rakyat Romo Mangun terbangun sejak ia menjadi anggota Tentara
Pelajar (TP) yang berjuang melawan penjajah. Di samping titisan darah sang Ayah
yang menjadi DPRD Magelang pada masa revolusi fisik, spirit humanisme Romo
Mangun tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan rakyat kecil yang malang
melintang dalam kehidupan kesehariannya.
Kedekatan Romo Mangun dengan rakyat kecil (wong cilik/grass roots)
ditunjukkan dalam aktivitas kesehariannya seperti ketika dia membela nasib
rakyat yang menjadi korban pembangunan waduk Kedungombo, Jawa Tengah, serta
memperjuangkan nasib penduduk miskin di pinggiran kali Code, Yogyakarta.
Berkat perjuangannya bersama wong cilik di kali Code—dengan merancang
pemukiman sepanjang tepi sungai itu—anak sulung dari 12 bersudara ini
mendapatkan anugerah Aga Khan Award, penghargaan tertinggi karya arsitektural
di dunia berkembang, yang meneguhkannya sebagai Bapak arsitektur modern
Indonesia.
Secara prinsipil ruh perjuangan sang Romo dapat ditemukan dalam Roro
Mendut, novel tetralogi yang semkain meneguhkan konteks perjuangannya setelah
novel Burung-burung Manyar. Representasi Roro Mendut, cerita rakyat Jawa
berlatar abad 17-an, merupakan ranah gender yang menjadi persoalan rentan
kemanusiaan di masa-masa penjajahan itu, di mana perempuan selalu menjadi
korban kehidupan kemanusiaan waktu itu.
Keberanian Roro Mendut (perempuan molek yang tak ayal menjadi pusat mata
para tentara Belanda dan petinggi kaum Pribumi) dalam menentukan masa depan dan
pilihan hidupnya mempunyai nuansa pencerahan setidaknya dalam konteks itu.
Mendut rela menderita mempertahankan cinta pilihannya sendiri dari pada
menerima Wiroguno, lelaki kuat dan penguasa masa itu.
Kebebasan memilih hidup itulah yang menjadi warna dominan dalam novel yang
mengajarakan tentang landasan nilai bagi kebebasan manusia (L’homme est
condamné à être libre) untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Kebangkitan
Namun, dalam seperempat akhir hayatnya Romo Mangun dihadapkan dan
tersadarkan dengan kondisi kebangsaan yang terus merapuh. Semua itu ia suarakan
dalam esai-esainya. Konteks kebangsaan yang menjadi perhatian dalam masa
akhir-akhir karirnya sebenarnya sudah menjadi darah kehidupan sang Romo
semenjak dia menjadi pembela tanah air dengan menjadi salah satu anggota TP di
Jawa Tengah. Panggilan hidupnya yang semakin luhur itu menjadi renungan penting
dalam konteks kehidupan kali ini.
Melalui tulisan esai-esainya yang tajam terutama masalah kebangkitan
generasi muda dengan wawasan kebangsaannya yang berpijak kepada demokrasi yang
konsisten, seperti diungkapkan oleh Catherine Mills, salah satu penulis tesis
dengan mengangkat sipak terjang Romo Mangun di Curtin University, Perth,
Australia, Romo Mangun selalu mengajak generasi bangsa Indonesia kembali
merilis ulang spirit perjuangan yang telah dibuktikan oleh kaum muda pada masa
penjajahan demi memperuangkan tanah airnya.
Dalam salah satu refleksi kritisnya tentang masa depan bangsa Romo Mangun
menuliskan ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda
Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (Y.B. Mangunwijaya, 1999: 7).
Ia merepresentasikan simbol tahun-tahun di atas bukan sebuah omong kosong.
Karena bagi yang sadar sejarah, simbol angka di atas, khususnya 2028 dan 2045,
adalah titik pijakan—atau embrio gerakan kebangkitan nasional—bagi bangsa Indonesia
sehingga bisa terbebas dari “ketakutan-ketakutan” akibat penjajahan.
Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan 1945) telah melahirkan spirit Indonesia
baru yang gemilang.
Hasil renungan tajam dan mendalam Romo Mangun tersebut adalah kado spesial
buat generasi muda demi menyongsong tahun 2045, di mana Indonesia memasuki
seabad HUT kemerdekaan yang diimpikan Romo Mangun kita (semua bangsa Indonesia)
dapat memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan,
bebas dari ketakutan-ketakutan.
Kesadaran demikian tumbuh dan berkembang dari kultur dan tradisi Jawa yang
kuat dalam kehidupan Romo Mangun. Ia seolah meneruskan spirit pemuda Boedi
Oetomo (BO). Pendekatan kultur-budaya hingga lahir kesadaran ‘menjadi satu
bangsa’ dilakukan oleh pendiri BO Dr. Radjiman dalam menggalang rasa kebangsaan
yang berlandaskan kepada pola budaya tradisional. Sebagaimana disinyalir Robert
Van Niel dalam tulisannya berjudul The Course of Indonesian History, pada
awalnya tujuan mendirikan BO adalah mengembangkan kebudayaan Jawa (to promote
Javanese cultural ideals). Tetapi pada gilirannya langkah BO telah menggugah
spirit nasionalisme kepada semua rakyat Indonesia yang terkapar di bawah
penjajah waktu itu. Latar belakang kearifan budaya lokal (Jawa) menjadi sarana
Romo Mangun dalam menafsir wawasan nasionalisme dan demokrasi sejati bagi
bangsa dan negara.
Berhubungan dengan isu Kebangkitan Nasional di atas menarik membaca ulang
analisis yang ditandaskan oleh Sri Sultan HB X tentang seabad Kebangkitan
Nasional, ihwal simbol tahun 2008 yang genap 100 tahun menjadi momen
Kebangkitan Nasional, sekaligus 80 tahun Soempah Pemoeda dan bertepatan dengan
10 tahun reformasi yang secara resultantif, tahun 2008 seharusnya menjadi momen
penting bagi pemuda untuk memprakarsai sebuah kebangkitan baru. Jika momen 1908
menyemaikan kemerdekaan, 1928 mempertegas bingkai cita-cita itu, 1945 memancang
tonggak perwujudan cita-cita itu, maka pertanyaanya, momen 2008 akan menyemai
apa, dan mewujudkan apa? Pertanyaan Sri Sultan HB X ini tentu harus menjadi
perenungan panjang yang menuntut kesolidan sosok generasi muda bangsa yang
cakap dan mumpuni dalam semua lini kehidupan yang sedang dibutuhkan dalam
membangun masa depan bangsa dan negara.
Cita-cita Romo Mangun buat pemuda dan juga ‘kado’ dari sang Sultan di atas
akan menjadi ironi yang menggodam ketika dihadapkan dengan realitas kehidupan
generasi penerus bangsa yang cenderung rejuvenasi dan mengalami degradasi
secara total—mencerminkan generasi sakit dan lumpuh seperti fenomena akhir-akhir
ini!
(06-02-08)
*) Bernando J. Sujibto lahir di Sumenep, 24 Februari 1986. Menulis puisi,
esai, cerpen, artikel dan resensi di berbagai media massa lokal dan nasional.
Karya-karyanya dapat ditemukan dalam beberapa antologi bersama. Aktif di
sejumlah komunitas seperti Komunitas Kutub dan Teater ESKA UIN Yogyakarta.
Setelah menyelesaikan studi sarjananya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia
melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Selcuk, Turki. Saat ini ia
tercatat sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Buku-bukunya yang
telah terbit antara lain: Aku Mendengarmu, Istanbul (Diva Press, 2018), Harun
Yahya Undercover (Ircisod, 2018), Turki Yang Tak Kalian Kenal! (Ircisos, 2017),
Seribu Warna Turkiye (Ircisod, 2018), dan Rumbalara Perjalanan: Kumpulan Puisi
(Diva Press, 2017). http://sastra-indonesia.com/2008/09/romo-mangun-dalam-kacamata-saya-yang-tebal/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
A Kholiq Arif
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A'yat Khalili
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Kirno Tanda
Abdullah Harahap
Acep Zamzam Noor
Adi Toha
Adrian Balu
Afri Meldam
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Dermawan T.
Agus Hernawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agusri Junaidi
Ahid Hidayat
Ahmad Baedowi
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Khadafi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Ali Audah
Alunk Estohank
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Amir Hamzah
Ana Mustamin
Anam Rahus
Andari Karina Anom
Andi Achdian
Andra Nur Oktaviani
Anindita S Thayf
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Apresiasi Sastra (APSAS)
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Aryadi Mellas
AS Laksana
Asarpin
Asep Sambodja
Asrul Sani
Astree Hawa
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Ngashim
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Darto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Berita
Berita Duka
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Cak Sariban
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Dandy Bayu Bramasta
Dani Sukma Agus Setiawan
Daniel Dhakidae
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Rina Cahyani
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dick Hartoko
Djajus Pete
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Donny Anggoro
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Faizin
Eko Nuryono
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Endang Susanti Rustamadji
Erwin Setia
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Idawati
Evi Sukaesih
F. Rahardi
Fadhila Ramadhona
Fadly Rahman
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Faisal Fathur
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Farid Gaban
Fariz al-Nizar
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Fina Sato
Fitri
Franz Kafka
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Hairus Salim
Hamdy Salad
Happy Salma
Hardi Hamzah
Hardjono WS
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasif Amini
HB Jassin
Hendy Pratama
Henry Nurcahyo
Herman Syahara
Hernadi Tanzil
Heru Nugroho
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Gusti Ngurah Made Agung
Iberamsyah Barbary
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idrus
Ignas Kleden
Ilham
Imam Muhayat
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imelda Bachtiar
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indria Pamuhapsari
Indrian Koto
Inung AS
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
Iva Titin Shovia
Iwan Nurdaya-Djafar
Iwan Simatupang
Jabbar Abdullah
Jakob Oetama
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rakhmat
Jaleswari Pramodhawardani
James Joyce
Jansen H. Sinamo
Januardi Husin
Jauhari Zailani
JJ. Kusni
John H. McGlynn
Joko Budhiarto
Joko Pinurbo
Joni Ariadinata
Juan Kromen
Junaidi Khab
Kahfie Nazaruddin
Kamajaya Al. Katuuk
Khansa Arifah Adila
Kho Ping Hoo
Khoirul Abidin
Ki Supriyoko
Kiagus Wahyudi
Kitab Para Malaikat
Knut Hamsun
Koh Young Hun
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kunni Masrohanti
Kurniawan
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leo Tolstoy
Lesbumi Yogyakarta
Levi Silalahi
Linda Sarmili
Lukisan
Lutfi Mardiansyah
M Shoim Anwar
M. Aan Mansyur
M. Abdullah Badri
M. Adnan Amal
M. Faizi
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Marianne Katoppo
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Mashuri
Max Arifin
MB. Wijaksana
Melani Budianta
Mohammad Yamin
Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mustamin Almandary
Mustiar AR
Musyafak Timur Banua
Myra Sidharta
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nawal el Saadawi
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurur Rokhmah Bintari
Oka Rusmini
Onghokham
Otto Sukatno CR
Pakcik Ahmad
Pameran
Parakitri T. Simbolon
Pattimura
Pentigraf
Peter Handke
Petrik Matanasi
Pramoedya Ananta Toer
Prima Sulistya
Priyo Suwarno
Prosa
Puisi
Purwanto
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Ng. Ronggowarsito
R. Timur Budi Raja
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Rama Prambudhi Dikimara
Ramadhan KH
Rambuana
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Raudal Tanjung Banua
Raymond Samuel
Reko Alum
Remmy Novaris DM
Remy Sylado
Resensi
Rey Baliate
Ribut Wijoto
Riduan Situmorang
Rikard Diku
Riki Dhamparan Putra
Riri Satria
Rizki Alfi Syahril
Robert Adhi KS
Roland Barthes
Ronggowarsito
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rozi Kembara
Rumah Kreatif Suku Seni Riau (RK – SSR)
Rusdy Nurdiansyah
Rusydi Zamzami
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safar Nurhan
Sajak
Samsul Anam
Santi T.
Sapardi Djoko Damono
Sari Novita
Sarworo Sp
Sasti Gotama
Sastra Luar Pulau
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekar Sari Indah Cahyani
Selendang Sulaiman
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Setiyardi
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sobih Adnan
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Sonia
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sri Wintala Achmad
Stephen Barber
Subagio Sastrowardoyo
Sugito Ha Es
Sukron Ma’mun
Sumargono SN
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
T. Sandi Situmorang
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Toeti Heraty
Tri Umi Sumartyarini
Ulfatin Ch
Umbu Landu Paranggi
Usman Arrumy
Wahyu Dhyatmika
Wahyu Hidayat
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wicaksono Adi
Willem B Berybe
WS. Rendra
Y.B. Mangunwijaya
Yohanes Sehandi
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusi A. Pareanom
Zainal Arifin Thoha
Zehan Zareez
Zen Rachmat Sugito
Zeynita Gibbons
Zulfikar Akbar
No comments:
Post a Comment